Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Aksi Menyita Harus Diikuti Aksi Membaca

29 Desember 2018   10:03 Diperbarui: 29 Desember 2018   14:36 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apa bedanya Komunisme dengan Liberalisme, Kapitalisme, dan Pancasilaisme?"

---
Masyarakat Indonesia kembali mendengar kabar hangat nan unik tentang penyitaan buku yang menonjolkan sosok-sosok penggerak paham komunis seperti Muso, Aidit, Tan Malaka, sampai sang sesepuh Lenin. Kabar ini juga sangat viral di kalangan masyarakat Jawa Timur. Karena, secara kebetulan, kabar penyitaan tersebut memang berasal dari Pare, Kediri. Penyitaan ini kabarnya dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Luar biasa.

Kabar yang sangat menarik dan membuat orang yang sangat faham betul tentang seluk-beluk 'isme-isme' yang berada di penjuru dunia ini akan merasa mahfum dan geli.

Mengapa?

Karena, ini terjadi di tahun 2018---menjelang 2019---namun, masih terlihat adanya ketakutan-ketakutan terhadap sebuah ideologi.

Di sini, kita akan membahas fenomena ini dengan sudut pandang pembelajar dari salah satu ilmu sosial, yaitu SOSIOLOGI.

Mungkin sudah banyak orang tak lagi asing dengan nama ilmu pengetahuan ini. Karena, ilmu pengetahuan ini juga sudah dijadikan sebuah jurusan di jenjang pendidikan tinggi, maka, nama Sosiologi seharusnya sudah tidak terlalu 'aneh' di Indonesia.

Walau, jika dibandingkan ilmu yang lain, bahkan ilmu yang sebenarnya merupakan ilmu terapan, seperti Ilmu Komunikasi, Sosiologi rupanya masih lumayan keteteran untuk mengejar popularitasnya---khususnya di Indonesia. Namun, Sosiologi tidak akan kehilangan minat. Ilmu ini sebenarnya sangat penting bagi masyarakat Indonesia---agar dewasa ini tak mudah untuk diprovokasi.
Mengapa?

Agar pemikiran kita tak lagi hanya sekedar melakukan apa yang sudah ada. Namun, juga berani 'menggebrak dunia' dengan pemikiran yang inovatif dan terbuka.

Hal inilah yang sulit dilakukan dewasa ini bagi masyarakat Indonesia---baik elit dan non elit.

Kita sangat perlu berpikir luas, dan membuka kemungkinan-kemungkinan jika hal ini atau itu dapat dijadikan sebagai bagian dari landasan berpikir. Di situlah letak peran Sosiologi.

Sampai di sini, mungkin ada yang kemudian bertanya-tanya tentang arah tulisan ini.

Inilah arah tulisannya, yaitu menjelaskan Sosiologi dan Komunisme seringkas dan sesederhana mungkin. Supaya dapat dipahami oleh kita yang belum terlalu kenal keduanya, walau hal ini pastinya sudah pernah diketahui saat masih di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).

Lalu apa itu komunisme dan mengapa dia mendapatkan perlakuan 'istimewa' di Indonesia?
Kita mengenal Pancasila, bukan?
Mengenal Liberalisme?
Kapitalisme?
Lalu, bagaimana dengan Komunisme?
Pasti sudah mendengarnya juga saat masih berseragam putih abu-abu.

Ya, komunisme adalah sebuah paham/ideologi yang dapat dijadikan landasan berpikir oleh suatu kelompok, masyarakat, sampai lingkup negara yang menjunjung tinggi adanya kesetaraan hak antara kaum proletar dengan kaum borjuis. Artinya, komunisme sama seperti liberalisme, kapitalisme, sosialisme---walau tak lagi terdengar, dan juga Pancasila. Komunisme 'hanya' sebuah pemikiran untuk membuat suatu kehidupan yang dinilai lebih ideal dari ideologi lainnya, yaitu Kapitalisme.

Komunisme lahir sebagai antitesis dari kapitalisme. Artinya, komunisme hadir untuk mencegah adanya perluasan dari pengaruh kapitalisme yang saat itu---di Jerman---terlihat semakin menyengsarakan kaum proletar/kaum kelas menengah kebawah. Kemudian, komunisme juga sebenarnya dapat dikatakan sebagai anak dari sosialisme. Yaitu, semacam faham yang sangat pro masyarakat dan menginginkan adanya sistem pemerintahan yang berangkat dari kesejahteraan masyarakat. Mudahnya seperti kehidupan negara berasas pada tujuan bersama.

Hal ini mirip dengan komunisme. Perbedaannya hanya pada pewujudannya yang cenderung mengotakkan status sosial di masyarakat. Atau membuat kelompok-kelompok menjadi semakin terlihat jelas. Hal ini dapat dilihat dari adanya penggolongan kaum borjuis/kaum kelas atas dengan kaum proletar. Di sini juga ada pengelompokan bagi mahasiwa yang disebut sebagai borjuis kecil/muda. Keberadaan mahasiswa inilah yang kemudian diharapkan dapat 'menyelamatkan' aspirasi dan hak bagi kaum proletar.

Secara pelaksanaannya, komunisme menginginkan adanya penyatuan golongan. Seperti kaum proletar yang harus bersatu untuk dapat melawan kaum borjuis. Hal ini kemudian merambah pada ranah politik yang kemudian membentuk semacam partai yang dapat menjadi wadah suara yang kuat dan dapat menggulingkan pemahaman kapitalisme yang sebelumnya sangat dominan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat---negara-negara yang sedang mengalami fase keberhasilan bangkit dari masa kegelapan.

Walau secara pemikiran dan tindakan di antara keduanya terlihat saling sikut, namun, sebenarnya, komunisme juga sama seperti kapitalisme, sebagai bagian dari ideologi yang dibaca dan dipelajari di dalam mata pelajaran dan jurusan Sosiologi. Jadi, jika buku tentang paham komunis disita, lalu bagaimana nasib para pelajar/mahasiswa Sosiologi? Bukankah mereka adalah salah satu aktor utama yang dapat bersentuhan dengan segala ideologi tersebut---termasuk komunisme?

Jika Indonesia sangat takut dengan PKI yang disebut-sebut sebagai penganut pemahaman komunisme, bagaimana dengan mahasiswa atau murid SMA yang mempelajari Sosiologi dan kemudian menemukan kata-kata komunisme dan penjelasan tentang komunisme---yang detail dan sebenar-benarnya?

Apakah Sosiologi juga akan ditutup dan buku-buku yang memuat komunisme disita?

Jika, hal ini bersangkut-paut pada aksi propaganda, maka, yang ditindaklanjuti seharusnya bukan buku, namun, orang-orang yang melakukan aksi tersebut. Itu akan terlihat jauh lebih tepat sasaran.

Contohnya begini, jika ada mahasiswa yang mengakui pemikiran komunisme yang digagas oleh Karl Marx---yang sebelumnya diawali dengan sosialismenya Lenin---tersebut adalah pemikiran yang ideal, apakah dia termasuk calon kuat pengguling kekuasaan dan penyebar paham komunisme terhadap masyarakat?

Banyak mahasiswa Sosiologi yang jangankan menyebarkan suatu ideologi, memahami satu ideologi saja susah---bahkan bisa jadi tak paham ideologi negaranya sendiri. Apalagi sampai menyebarkannya. Artinya apa? Pemahaman komunisme itu sama seperti pemahaman ideologi yang lain. Susah! Jadi, tak mudah bagi orang-orang yang mempelajari suatu ideologi dapat membuat suatu hal untuk benar-benar dapat mempengaruhi orang lain.

Suatu hal lainnya yang patut dicermati adalah semua ideologi itu hadir sebagai bagian dari hasil berpikir yang kemudian mencoba membantu masyarakat untuk membangun bentuk kehidupan yang ideal menurut masing-masing ideologi tersebut. Sama seperti kapitalisme dan yang lainnya.

Bahkan, jika kita berani jujur, apakah Indonesia murni hanya menjalankan kehidupannya hanya dengan ideologi Pancasila?

Bagaimana dengan kehidupan masyarakat kelas atas yang setiap hari dapat keluar masuk showroom mobil-mobil terbaru dan terkenal, hingga memiliki banyak rumah/apartemen?

Bukankah itu gaya kehidupan masyarakat Eropa Barat dan Amerika Serikat yang berpaham kapitalisme dan liberalisme---walau saat ini semua negara nyaris menyuarakan ideologi negaranya dengan awalan demokratik (demoratik-kapitalisme dan/atau demokratik-liberalisme).

Lalu, bagaimana dengan sistem pendidikan saat ini yang semakin mendorong peserta didik untuk lebih giat lagi belajar namun justru minim implementasi di kehidupan sosial? Bukankah itu mirip dengan pemahaman rasionalisme intrumentalis ala Max Weber?

Artinya, secara realitas, Indonesia memiliki segalanya dalam berpemahaman dan perwujudan. Namun, itu semua berada di dalam kostum Pancasila. Yaitu, kita dapat mengambil dan mengolah pemikiran dari 'dunia' lain dengan budaya dan kearifan lokal kita. Untuk itulah mengapa, kita tidak seharusnya takut terhadap pemahaman sebuah ilmu.

Komunisme itu 'hanya' bagian dari ilmu sosial. Bagian dari pola pikir. Bagian dari cara menyatukan bangsa.

Komunisme hanya bertujuan untuk menggerakan kaki-kaki lusuh kaum proletar agar tidak lagi tertindas oleh kesewenang-wenangan kaum borjuis. Artinya, komunisme hanya mengharapkan adanya upaya untuk mempertipis jarak kesenjangan sosial, ekonomi dan lainnya.

Bukankah itu pemikiran yang mulia?

Lalu, untuk apa ditakuti?

Jika pemikiran seperti ini dimasukkan ke bagian tubuh Pancasila bersama segala undang-undang dan peraturan pemerintahannya tersebut, justru akan dapat menghasilkan sebuah gagasan untuk dapat menipiskan angka kemiskinan, bukan?

Kemiskinan memang tidak akan bisa hilang 100%, namun kesenjangan yang terlalu besar itulah yang menjadi pokok persoalan, dan seharusnya ditindak.

Jarak antara si kaya dengan si miskin sangat terlihat---dan hal ini bahkan sudah diketahui oleh masyarakat luar negeri. Seandainya program pembangunan di Papua tidak berwujud seperti saat ini, jelas, bahwa Indonesia hanya menghasilkan orang (sangat) kaya di Pulau Jawa bukan di pulau lainnya. Bahkan, Kalimantan dan Sumatra yang penghasil minyak dan sawit saja, level ekonomi dan status sosial masyarakatnya masih terlihat tak begitu menonjol. Hal ini bisa terjadi karena besaran pasak sama dengan tiang. Artinya, gaji di sana memang tinggi, namun harga makanan juga mahal.

Lalu, bagaimana dengan di Jawa?

Sangat variatif. Sehingga, si kaya masih bisa bernafas lebih lega. Karena, jika ingin mengurangi besaran pengeluaran, hanya cukup dengan mencari tempat-tempat yang disediakan untuk mahasiswa/anak kost-kostan. Maka, pengeluaran mereka pasti terjamin akan cukup ringan. Walau di sisi lain, ini sangat bergantung pada karakter orang tersebut. Jika, orangnya memang bertipe sosialita, akan mustahil untuk mau masuk ke tempat-tempat yang low-budget.

Artinya, kehidupan masyarakat Indonesia itu sudah sangat variatif. Termasuk soal pemahaman.

Di sinilah kemudian, ada satu pertanyaan yang sangat penting untuk dikaji oleh para ahli, termasuk ahli Sosiologi Indonesia.

Yaitu, apakah mungkin, jika PKI terlahir kembali, Indonesia akan hancur?

Jika komunisme ditakuti, bukankah dia akan semakin besar pengaruhnya terhadap masyarakat?

Ingat! Ini 2018, bahkan sudah menjelang 2019. Pemikiran masyarakat sudah jauh lebih 'menarik' dibandingkan dahulu.
Jika kapitalisme dan hedonisme bisa merasuk ke gaya kehidupan masyarakat elit, bagaimana dengan masyarakat non elit?

Ke manakah otak mereka untuk berpikir dan bersuara demi perut mereka yang kadangkala kosong, di saat kaum elit sedang berfoya-foya dan jalan-jalan ke luar negeri setiap akhir pekan---bahkan sampai berbulan-bulan tak pulang?

Itulah yang menjadi keunikan dari peristiwa ini. Kita selalu cenderung menakuti hal yang sebenarnya tak perlu ditakuti. Karena, Indonesia masih punya undang-undang yang berlandaskan Pancasila yang memiliki banyak butir-butir yang kini bahkan sudah tak banyak orang dapat menghafalnya---mbah Google buka 24 jam.

Artinya, kehidupan masyarakat Indonesia sudah tidak seperti dulu yang bisa asal digali lalu ditutup tanpa banyak orang tahu saat bangun pagi.


Indonesia sudah seharusnya (lebih) cerdas.

Sebagai bagian dari penutup, dihadirkan sebuah kutipan (secara bebas) yang merupakan pemikiran dari Max Weber---salah satu kompatriot Marx, walau beda pemikiran---yaitu, "Semakin kau berusaha rasional, semakin dekat dirimu pada irrasional."

Artinya jika dikaitkan dengan peristiwa saat ini adalah, semakin kita berusaha menyingkirkan sesuatu, maka, semakin besar sesuatu tersebut mengeksistensi dirinya.

Seperti PKI dan Komunisme. Semakin kita menjauhinya tanpa ada alasan yang masuk akal, semakin besar kehadirannya dalam kehidupan kita. Karena, mereka sebenarnya sama seperti (ideologi) yang lain, mereka hanya cukup ada. Itu saja.

Jika semakin berlebihan dalam menanggulangi PKI dan Komunisme, semakin besar masyarakat yang sudah tahu apa itu Komunisme untuk 'tertawa geli nan lantang'. Jika hal ini terjadi, maka semakin terlihat bahwa Indonesia masih kuno, sedangkan lagu Garuda Pancasila semakin terdengar gegap gempita saat dinyanyikan oleh anak-anak SD.

Tidak malukah kita dengan anak-anak SD tersebut?

Malang, 29 Desember 2018
Deddy Husein S. (mahasiswa Sosiologi yang belum lulus. Wkwkwk)

.

.
.
Tambahan untuk direnungkan:

Kenalilah Komunisme dengan membaca buku Karl Marx.

Temukan apa gagasan Karl Marx.

Di sanalah letak 'pelita' yang sebenarnya.

PKI hanya bagian dari aktor politik di Indonesia. Apa bedanya dengan partai nasionalis dan partai berbasis agama?

Mungkin cara Muso, Aidit, dan para pejuang Indonesia yang berpaham Komunisme gagal mengenalkan ideologi tersebut ke masyarakat Indonesia. Namun, mereka juga bagian dari pahlawan negara ini. Mereka ikut berjuang, walau akhirnya harus berselisih paham dengan para nasionalis. Seharusnya buku-buku tentang mereka adalah bagian dari jendela dunia. Untuk mengetahui bahwa putra-putra bangsa ini juga memiliki daya tawar yang lain.

Buku hanya sebagai 'teman tidur'.

Mereka yang melakukan propaganda belum pasti memahami apa itu komunisme dan mengenal Marx seperti apa.

Sama seperti kita membenci artis gimmick, tapi kita tidak tahu kehidupan sebenarnya artis tersebut yang harus gimmick supaya dapat uang.

Apakah kita mau menerima fakta itu? Mereka juga berjuang demi keluarganya, demi perutnya.

Sama seperti para penggerak garis kiri (oposisi), bahwa sekontra-kontranya pemikiran mereka dengan 'mayoritas', mereka tetaplah harus diingat sebagai bagian dari putra-putri bangsa yang ingin negerinya makmur---dengan cara yang mereka pahami.
...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun