Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kiprah Timnas Indonesia di Piala AFF 2018

25 November 2018   15:50 Diperbarui: 25 November 2018   16:05 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timnas Indonesia (indosport.com/Luqman Nurhadi Arunanta)

Kegagalan (lagi) Timnas Indonesia di Piala AFF 2018

"Salah siapa?"

Biasanya kita akan menganggap sesuatu yang di depan adalah harapan, sedangkan yang di belakang adalah kenangan. Harapan penuh dengan teka-teki, sedangkan kenangan penuh dengan bukti. Teka-teki membuat kita dapat berharap dengan keyakinan yang tinggi. Bukti membuat kita tak bisa mengelak apa yang sudah terjadi. Jika buktinya bagus, maka kita harus menjaga dan mengembangkannya. Kalau buktinya buruk, maka kita harus memperbaikinya---melakukan perubahan.

Hal ini juga terjadi di sepakbola yang sudah menjadi bagian dari nafas kehidupan manusia. Sepakbola tak hanya bicara soal olahraga, namun juga harga diri dan misi. Bersama sepakbola, kita tak perlu perang dengan senjata untuk bersaing menjadi yang terbaik. Cukup dengan sepakbola, maka gengsi suatu negara dapat sedikit terangkat.

Kita tak bisa memungkiri bahwa negara seperti Argentina dan Brazil secara ekonomi nasionalnya tidak begitu baik jika dibandingkan dengan negara maju seperti Korea Selatan dan Inggris. Tapi secara prestasi sepakbola, mereka dapat bersaing, bahkan bisa lebih baik---dilihat di ranking FIFA untuk tim nasionalnya (timnas). Bahkan, pemain-pemain sepakbola di dua negara Amerika Latin tersebut jauh lebih dikenal dibandingkan pemain-pemain dari Jepang, Singapura, Rusia, ataupun Australia. Karena memang, negara ini berhasil menyadari di mana letak potensi mereka untuk dapat diperhitungkan di dunia.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia dapat menjadi negara yang dapat diperhitungkan, setidaknya dalam dunia sepakbola?

Berbicara soal sepakbola Indonesia tentu tak bisa lepas dari masa penjajahan kolonial Belanda. Selama sekitar 3,5 abad, orang-orang Belanda seperti hidup di negaranya sendiri saat berada di Indonesia. Termasuk dalam kehidupan bermain sepakbola. Mengingat secara sejarah, sepakbola memang berasal dari tanah Eropa sehingga tidak menutup peluang bagi Belanda untuk memperkenalkan sepakbola ke masyarakat Indonesia.

Dari sinilah, kemudian sepakbola dapat hidup sampai tahun ini kita masih punya kesempatan menyaksikan sepakbola di Indonesia yang (sebenarnya) sedang berkembang---meski secara perlahan (sekali). Termasuk  perkembangan pada timnas sepakbola Indonesia. Bagi yang mengikuti kiprah skuad Garuda minimal sejak tahun 2000-an tentu akan mengatakan bahwa timnas Indonesia mengalami perkembangan.

Perkembangannya di  mana?

Paling pertama adalah dari gaya permainan. Jika dilihat dengan rekaman yang jauh ke belakang, permainan timnas saat ini sebenarnya sudah cukup baik. Koordinasi, komunikasi, dan pengendalian emosi dapat dijalankan di lapangan dengan sangat bertanggungjawab oleh para pemainnya. 

Memang kita boleh mengatakan bahwa legenda si A adalah pemain yang dirindukan, legenda si B pencetak gol ulung dan sekarang tidak ada yang sepertinya, atau legenda si C yang sangat kuat dalam bertahan dan punya kharisma luar biasa. Tapi secara permainan terkadang mereka masih sering rusak oleh peluapan emosi yang tak mampu dikendalikan dan dapat berujung pada performa yang mengecewakan.

Permainan kasar, selalu memprotes keputusan wasit, dan stamina cepat anjlok di 30 menit terakhir adalah bagian dari permasalahan di masa lalu, dan kita seolah lupa atau mungkin tidak tahu. Sehingga, ketika kini menyaksikan timnas bermain buruk, mendadak kita berbondong-bondong menjadi pengenang pahlawan dengan menyebutkan pemain-pemain lawas seperti kita sedang berkabung. Padahal mereka yang dikenang pada saat itu juga menjadi sasaran kritikan juga ketika masih aktif bermain (sama seperti timnas sekarang), dan gagal mempersembahkan juara.

Inilah yang kemudian harus kita resapi terlebih dahulu. Bahwa kita masih harus berani dengan fair untuk mengakui fakta. Tak hanya yang buruk saja, tapi juga yang baik---meskipun lebih (sangat) sedikit. Dengan begitu, langkah untuk mencari cara memperbaiki kegagalan yang sekian kalinya ini, bisa ditemukan (segera).

Sudah banyak dan sudah biasa bagi kita untuk menilai kesalahan orang lain, menilai si A-B-C bodoh, tidak becus, banyak alasan, dan lain-lain. Tapi, bagaimana dengan fakta bahwa mereka yang sekarang dihujat itu pada awalnya juga didukung dan didoakan (terlepas dari mekanisme seperti apa dalam pemilihannya) agar dapat mengemban amanah dengan baik. Itu artinya, kita tidak tahu masa depan, bukan? Lalu, apakah fair jika kemudian kita menyalahkan dan menyesalkan yang sudah terjadi?

Persoalan utamanya adalah di Indonesia terlalu terbiasa dengan kebiasaan berkompromi. Apapun itu harus dirundingkan baik-baik, dan harus menemukan kesepakatan bersama tanpa saling melukai satu sama lain. 

Logika semacam ini bisa dicurigai akan terpraktekkan juga secara tersirat bahwa segala aturan yang ada di liga nasionalnya dapat dinegosiasikan oleh pihak-pihak yang merasa keberatan. Kebiasaan ini kemudian juga merambah ke pola pembentukan skuad timnas Indonesia, yang dari tahun 2010-2018 ini masih selalu berkutat pada permasalahan tentang persiapan (pemilihan skuad, pelatih, hingga masa training camp). 

Biasanya hal ini bisa terjadi karena kegagalan dalam memberikan ketegasan (yang dapat dimengerti) terhadap klub mengenai pilihan pemain yang dibutuhkan timnas. Lalu ada kekurang meyakinkannya dalam mengikat kontrak pelatih utamanya, sehingga kadang pilihannya terkesan random dan kemudian asal pasang target tinggi kepada pelatihnya namun tidak dibarengi dengan dukungan proses yang benar.

Itu artinya, secara mendasar, timnas masih belum bisa dipersiapkan dengan matang. Lalu bagaimana bisa mengalahkan timnas lain yang sangat serius mempersiapkan timnya dengan jangka waktu yang sudah ideal? Bahkan ini masih berbicara soal kompetisi di Asia Tenggara, belum ke Asia, apalagi dunia. 

Satu-satunya kemungkinan Indonesia berpartisipasi di ajang yang besar adalah dengan menjadi tuan rumah yang menghelat kompetisi tersebut. Karena, sepertinya untuk urusan seperti itu, Indonesia memang luar biasa. Tapi itu bukan karena sepakbola atau federasinya, tapi itu karena kehebatan orang kreatif di bidang event organizer (EO) dan bisnis. 

Mungkin karena itu pula, sepakbola Indonesia mulai diajak untuk berada di sana---menjadi ladang bisnis dan kompromi (biar sama-sama untung). Padahal ini adalah sepakbola yang mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Bahkan meski dengan hasil imbang selama 90 menit, pada akhirnya di pertandingan final tetap harus diputuskan siapa yang juara dengan adu penalti atau sistem agregat (gol tandang yang seperti diberlakukan di Piala AFF)

Berbicara soal persiapan timnas yang demikian uniknya juga membuat kita membayangkan, bahwa seolah-olah sepakbola berbicara tentang jampi-jampi dari dukun dan pawang hujan yang bisa secara magis dapat membuat bola bergerak ajaib ke arah yang tidak diinginkan oleh lawannya. 

Dari sana, kita bisa mengetahui bahwa di timnas sebenarnya masih belum bisa dikatakan berkembang secara sistem. Namun secara SDM (pemilihan pelatih dan pemain), seharusnya sudah dapat diapresiasi. 

Siapa yang tidak bangga bahwa kita memiliki pemain-pemain yang kembali menghiasi klub-klub Asia Tenggara dengan bergabung di Liga Malaysia, Thailand, atau Timor Leste misalnya. Fakta itu harus kita ketahui dan kita ingat.

Berkat keberadaan pemain yang berkarir di luar kompetisi Indonesia, secara pasti akan membentuk pengalaman dan pengetahuan baru dalam menumbuhkan permainan yang bagus dan dapat menyejajarkan potensi pemain timnas Indonesia dengan timnas negara lain. Di sinilah kita bisa mengakui bahwa timnas Indonesia bisa dikatakan berkembang. Meski, tak sedikit orang-orang yang berupaya terlihat nasionalis akan mengatakan bahwa timnas tidak butuh pemain yang berkarir di luar dan timnas tidak begitu perlu memanggil pemain naturalisasi. 

Tapi buktinya, kita bisa kompetitif karena keberadaan mereka; Andik Vermansyah, Evan Dimas, Victor Igbonefo, Greg Nwokolo, dan yang paling fenomenal adalah Cristian Gonzales. Pemain-pemain ini membuat warna baru di timnas, dan menjadi penyeimbang keadaan ketika timnas membutuhkan pemain dengan pengetahuan dan pengalaman lain secara internasional. 

Ketika para pemain Indonesia (yang murni hanya berkompetisi di Indonesia dan asli putra bangsa) sudah menjadi legenda, merekalah yang sejatinya akan berupaya menggantikannya---dengan cara yang baru. Bersama mereka, kita bisa melihat permainan yang baru dan segar---yang akhirnya dianggap sebagai wajah sepakbola kita.

Permainan dari kaki ke kaki, menguasai permainan, kerapatan dan kekompakan dalam bertahan, penggunaan satu penyerang tunggal yang tak gentar berduel dengan dua bek tengah lawan, dan sabar dalam mengantisipasi permainan lawan adalah beberapa hal yang sudah menjadi sajian menarik ketika timnas Indonesia bermain dan itu terjadi di masa kini. 

Tapi inkonsistensi dan cepat 'demam panggung' seringkali menjadi batu sandungan. Ketika menang, penyanjungannya melampaui batas, dan ketika kalah penghujatannya bertubi-tubi. Mungkin ini kemudian dijadikan alasan dari kegagalan timnas---meski tidak sepolos itu juga.

Banyak faktor kegagalan timnas yang sudah berkali-kali. Media memang salah satu yang bertanggungjawab. Apalagi semakin banyak vlogger atau youtuber di masa kini, membuat data permainan dan seluk-beluk timnas mudah untuk diakses dan membuat tim lawan mudah mempelajari permainan timnas. Ini juga negatif. Tapi, tanpa media yang sangat apresiatif itu, kita akan kehilangan suatu kebaikan yang sangat dibutuhkan, yaitu pengakuan dan penghargaan. Bagaimanapun juga jika ada yang berprestasi, sudah sewajarnya kita banggakan---dengan caranya masing-masing (termasuk mereka yang aktif nge-vlog).

Selain itu, seperti faktor yang sudah sangat klise di masyarakat gibol Indonesia. Yaitu, federasi. Entah sudah berapa ratus atau ribu pemberitaan tentang 'keajaiban' dari federasi sepakbola Indonesia. Di sini, kita seperti sangat susah bernafas lega ketika federasi tersebut melakukan pergantian pemimpin dan pengurus. Seolah-olah masalah akan selalu ada, dan memang faktanya demikian. 

Tapi yang menjadi persoalannya adalah kita seperti memiliki suatu keinginan kuat untuk berubah, membuat kita harus bertahan meski badai dan tsunami sudah menerjang. Kita tetap diam saja, karena kita yakin dapat bertahan dan nanti akan kembali baik lagi. Contohnya saja begini, di federasi sepakbola di luar negeri sebenarnya tidak semuanya adem ayem (kita saja yang kurang tahu). 

Federasi sepakbola di Italia, Spanyol, dan negara-negara lain juga memiliki permasalahan yang pelik. Spanyol gagal berbicara banyak di Piala Dunia kemarin juga karena ada permasalahan antara pelatih dengan federasi. Begitu pula di Italia yang kisruh karena timnasnya gagal ke Piala Dunia 2018. Tapi, mereka menghadapinya dengan kebertanggungjawaban yang logis. Kalau salah berarti mengaku salah, dan berani untuk mundur. 

Mundur dan meletakkan jabatan itu bukan suatu kesalahan yang merujuk pada pecundang. Tapi itu upaya untuk segera mempercayakan kepada orang lain yang lebih baik dan bisa membawa perbedaan. Inilah yang kemudian menjadi beda jika ditafsirkan ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia termasuk di federasi sepakbolanya.

Seolah-olah pergi adalah bentuk aksi dari pecundang sedangkan ketika bertahan malah tidak memberikan perbaikan yang signifikan---hanya modal ngotot. Lalu perdebatan semakin alot dan meruncing ketika masing-masing saling melemparkan upaya pembenaran. 

Di sinilah kenapa atmosfer sepakbola Indonesia menjadi susah untuk kondusif. Tak ada pemakluman atas kesalahan (salahnya sudah kelewatan), karena keinginan mutlaknya adalah hasil sempurna dan orang-orang federasi sepakbola Indonesia gagal memahami itu. Sehingga mereka seolah-olah menjadi semakin terlihat sempoyongan karena semakin tak ada suara yang mendukung kicauannya. 

Jadi untuk apa terus bertahan? Mengemban amanah? Amanah yang dijaga tanpa ada perbaikan dalam kinerjanya untuk apa? Bukankah lebih baik menjadi pecundang namun dimaklumi dan membiarkan (memberi peluang) mereka yang mengkritisi yang akan mengambil alih dan dilihat bagaimana kinerjanya. Apakah bisa lebih baik? Jika bisa, maka orang yang mundur (sebenarnya juga) adalah salah satu yang berjasa terhadap pemberian tongkat estafet itu---meski tidak akan dikenang seperti itu.

Inilah yang seharusnya kita sadari bersama, bahwa Indonesia memiliki kultur yang unik dan membuat kita juga harus membuat keunikan terhadap sepakbola Indonesia dan timnas. Yaitu, berupa dukungan yang selalu besar di setiap menatap kompetisi yang diikuti oleh timnas. Bagaimanapun juga timnas adalah wajah kita, wajah sepakbola kita, baik atau buruk ya itulah wajah kita.

Malang, 25 November 2018

Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun