Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kiprah Timnas Indonesia di Piala AFF 2018

25 November 2018   15:50 Diperbarui: 25 November 2018   16:05 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timnas Indonesia (indosport.com/Luqman Nurhadi Arunanta)

Permainan kasar, selalu memprotes keputusan wasit, dan stamina cepat anjlok di 30 menit terakhir adalah bagian dari permasalahan di masa lalu, dan kita seolah lupa atau mungkin tidak tahu. Sehingga, ketika kini menyaksikan timnas bermain buruk, mendadak kita berbondong-bondong menjadi pengenang pahlawan dengan menyebutkan pemain-pemain lawas seperti kita sedang berkabung. Padahal mereka yang dikenang pada saat itu juga menjadi sasaran kritikan juga ketika masih aktif bermain (sama seperti timnas sekarang), dan gagal mempersembahkan juara.

Inilah yang kemudian harus kita resapi terlebih dahulu. Bahwa kita masih harus berani dengan fair untuk mengakui fakta. Tak hanya yang buruk saja, tapi juga yang baik---meskipun lebih (sangat) sedikit. Dengan begitu, langkah untuk mencari cara memperbaiki kegagalan yang sekian kalinya ini, bisa ditemukan (segera).

Sudah banyak dan sudah biasa bagi kita untuk menilai kesalahan orang lain, menilai si A-B-C bodoh, tidak becus, banyak alasan, dan lain-lain. Tapi, bagaimana dengan fakta bahwa mereka yang sekarang dihujat itu pada awalnya juga didukung dan didoakan (terlepas dari mekanisme seperti apa dalam pemilihannya) agar dapat mengemban amanah dengan baik. Itu artinya, kita tidak tahu masa depan, bukan? Lalu, apakah fair jika kemudian kita menyalahkan dan menyesalkan yang sudah terjadi?

Persoalan utamanya adalah di Indonesia terlalu terbiasa dengan kebiasaan berkompromi. Apapun itu harus dirundingkan baik-baik, dan harus menemukan kesepakatan bersama tanpa saling melukai satu sama lain. 

Logika semacam ini bisa dicurigai akan terpraktekkan juga secara tersirat bahwa segala aturan yang ada di liga nasionalnya dapat dinegosiasikan oleh pihak-pihak yang merasa keberatan. Kebiasaan ini kemudian juga merambah ke pola pembentukan skuad timnas Indonesia, yang dari tahun 2010-2018 ini masih selalu berkutat pada permasalahan tentang persiapan (pemilihan skuad, pelatih, hingga masa training camp). 

Biasanya hal ini bisa terjadi karena kegagalan dalam memberikan ketegasan (yang dapat dimengerti) terhadap klub mengenai pilihan pemain yang dibutuhkan timnas. Lalu ada kekurang meyakinkannya dalam mengikat kontrak pelatih utamanya, sehingga kadang pilihannya terkesan random dan kemudian asal pasang target tinggi kepada pelatihnya namun tidak dibarengi dengan dukungan proses yang benar.

Itu artinya, secara mendasar, timnas masih belum bisa dipersiapkan dengan matang. Lalu bagaimana bisa mengalahkan timnas lain yang sangat serius mempersiapkan timnya dengan jangka waktu yang sudah ideal? Bahkan ini masih berbicara soal kompetisi di Asia Tenggara, belum ke Asia, apalagi dunia. 

Satu-satunya kemungkinan Indonesia berpartisipasi di ajang yang besar adalah dengan menjadi tuan rumah yang menghelat kompetisi tersebut. Karena, sepertinya untuk urusan seperti itu, Indonesia memang luar biasa. Tapi itu bukan karena sepakbola atau federasinya, tapi itu karena kehebatan orang kreatif di bidang event organizer (EO) dan bisnis. 

Mungkin karena itu pula, sepakbola Indonesia mulai diajak untuk berada di sana---menjadi ladang bisnis dan kompromi (biar sama-sama untung). Padahal ini adalah sepakbola yang mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Bahkan meski dengan hasil imbang selama 90 menit, pada akhirnya di pertandingan final tetap harus diputuskan siapa yang juara dengan adu penalti atau sistem agregat (gol tandang yang seperti diberlakukan di Piala AFF)

Berbicara soal persiapan timnas yang demikian uniknya juga membuat kita membayangkan, bahwa seolah-olah sepakbola berbicara tentang jampi-jampi dari dukun dan pawang hujan yang bisa secara magis dapat membuat bola bergerak ajaib ke arah yang tidak diinginkan oleh lawannya. 

Dari sana, kita bisa mengetahui bahwa di timnas sebenarnya masih belum bisa dikatakan berkembang secara sistem. Namun secara SDM (pemilihan pelatih dan pemain), seharusnya sudah dapat diapresiasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun