Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kiprah Timnas Indonesia di Piala AFF 2018

25 November 2018   15:50 Diperbarui: 25 November 2018   16:05 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timnas Indonesia (indosport.com/Luqman Nurhadi Arunanta)

Siapa yang tidak bangga bahwa kita memiliki pemain-pemain yang kembali menghiasi klub-klub Asia Tenggara dengan bergabung di Liga Malaysia, Thailand, atau Timor Leste misalnya. Fakta itu harus kita ketahui dan kita ingat.

Berkat keberadaan pemain yang berkarir di luar kompetisi Indonesia, secara pasti akan membentuk pengalaman dan pengetahuan baru dalam menumbuhkan permainan yang bagus dan dapat menyejajarkan potensi pemain timnas Indonesia dengan timnas negara lain. Di sinilah kita bisa mengakui bahwa timnas Indonesia bisa dikatakan berkembang. Meski, tak sedikit orang-orang yang berupaya terlihat nasionalis akan mengatakan bahwa timnas tidak butuh pemain yang berkarir di luar dan timnas tidak begitu perlu memanggil pemain naturalisasi. 

Tapi buktinya, kita bisa kompetitif karena keberadaan mereka; Andik Vermansyah, Evan Dimas, Victor Igbonefo, Greg Nwokolo, dan yang paling fenomenal adalah Cristian Gonzales. Pemain-pemain ini membuat warna baru di timnas, dan menjadi penyeimbang keadaan ketika timnas membutuhkan pemain dengan pengetahuan dan pengalaman lain secara internasional. 

Ketika para pemain Indonesia (yang murni hanya berkompetisi di Indonesia dan asli putra bangsa) sudah menjadi legenda, merekalah yang sejatinya akan berupaya menggantikannya---dengan cara yang baru. Bersama mereka, kita bisa melihat permainan yang baru dan segar---yang akhirnya dianggap sebagai wajah sepakbola kita.

Permainan dari kaki ke kaki, menguasai permainan, kerapatan dan kekompakan dalam bertahan, penggunaan satu penyerang tunggal yang tak gentar berduel dengan dua bek tengah lawan, dan sabar dalam mengantisipasi permainan lawan adalah beberapa hal yang sudah menjadi sajian menarik ketika timnas Indonesia bermain dan itu terjadi di masa kini. 

Tapi inkonsistensi dan cepat 'demam panggung' seringkali menjadi batu sandungan. Ketika menang, penyanjungannya melampaui batas, dan ketika kalah penghujatannya bertubi-tubi. Mungkin ini kemudian dijadikan alasan dari kegagalan timnas---meski tidak sepolos itu juga.

Banyak faktor kegagalan timnas yang sudah berkali-kali. Media memang salah satu yang bertanggungjawab. Apalagi semakin banyak vlogger atau youtuber di masa kini, membuat data permainan dan seluk-beluk timnas mudah untuk diakses dan membuat tim lawan mudah mempelajari permainan timnas. Ini juga negatif. Tapi, tanpa media yang sangat apresiatif itu, kita akan kehilangan suatu kebaikan yang sangat dibutuhkan, yaitu pengakuan dan penghargaan. Bagaimanapun juga jika ada yang berprestasi, sudah sewajarnya kita banggakan---dengan caranya masing-masing (termasuk mereka yang aktif nge-vlog).

Selain itu, seperti faktor yang sudah sangat klise di masyarakat gibol Indonesia. Yaitu, federasi. Entah sudah berapa ratus atau ribu pemberitaan tentang 'keajaiban' dari federasi sepakbola Indonesia. Di sini, kita seperti sangat susah bernafas lega ketika federasi tersebut melakukan pergantian pemimpin dan pengurus. Seolah-olah masalah akan selalu ada, dan memang faktanya demikian. 

Tapi yang menjadi persoalannya adalah kita seperti memiliki suatu keinginan kuat untuk berubah, membuat kita harus bertahan meski badai dan tsunami sudah menerjang. Kita tetap diam saja, karena kita yakin dapat bertahan dan nanti akan kembali baik lagi. Contohnya saja begini, di federasi sepakbola di luar negeri sebenarnya tidak semuanya adem ayem (kita saja yang kurang tahu). 

Federasi sepakbola di Italia, Spanyol, dan negara-negara lain juga memiliki permasalahan yang pelik. Spanyol gagal berbicara banyak di Piala Dunia kemarin juga karena ada permasalahan antara pelatih dengan federasi. Begitu pula di Italia yang kisruh karena timnasnya gagal ke Piala Dunia 2018. Tapi, mereka menghadapinya dengan kebertanggungjawaban yang logis. Kalau salah berarti mengaku salah, dan berani untuk mundur. 

Mundur dan meletakkan jabatan itu bukan suatu kesalahan yang merujuk pada pecundang. Tapi itu upaya untuk segera mempercayakan kepada orang lain yang lebih baik dan bisa membawa perbedaan. Inilah yang kemudian menjadi beda jika ditafsirkan ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia termasuk di federasi sepakbolanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun