Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

"DreadOut"

24 November 2018   12:14 Diperbarui: 2 Desember 2018   16:56 1156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
DreadOut Trailer. (Youtube.com/dreadout)

Menelaah keberadaan Game

"Game: teman sekaligus musuh?"

Sudah banyak sumpah serapah yang dialamatkan pada game, baik itu game di smartphone  (hp) maupun personal computer (pc). Bahkan game di warung internet (warnet) sampai detik ini masih belum sepi peminatnya. 

Kebanyakan orang yang menjauhi game adalah orang tua ataupun orang yang hidupnya sudah penuh dengan kesibukan yang lebih berarti daripada duduk dan mengomel ngalor-ngidul sambil asyik memainkan game kesukaannya---tak hanya pekerjaan, olahraga, dan hal-hal lainnya yang harus dilakukan dengan kesukaan. 

Bermain game nyatanya juga mengharuskan kita untuk memilih permainannya berdasarkan kesukaan. Karena intuisi untuk dapat menilai sesuatu hal selalu dimiliki dan digunakan oleh manusia kapan pun dan termasuk saat harus bersama game.

Lalu, apakah game itu seperti kata orang-orang yang jauh terhadap game, bahwa game itu memberikan banyak dampak negatif daripada positifnya?

Pertama, game hadir sebagai bagian dari kebutuhan manusia, yaitu hiburan---sesuatu yang sangat dibutuhkan manusia. Membangun perasaan senang dan melupakan perasaan sedih, bahkan bisa sedikit mengusir kecapekan. Walau bermain game terkadang juga malah dapat menguras tenaga dan pikiran. Namun, game hadir sebagai sesuatu yang berbeda dibandingkan hal lainnya. 

Game hadir untuk mereka yang 'ikhlas' meluangkan waktunya untuk bermain game. Sehingga, tak ada yang bakal mengeluh (selain mengeluh kekalahan) setelah bermain game. Kalau ada yang mengeluh, tentu dia akan sedikit malu, karena dia bermain game adalah untuk kesukaannya sendiri, bukan untuk orang lain. Artinya konsekuensi bermain game harus ditanggung penuh oleh pemain game tersebut.

Kedua, game bisa menjadi media alternatif sebagai penghilang kepenatan. Bahkan terkadang game dapat bertindak seperti buku yang ketika membacanya perlahan namun pasti akan dapat menghadirkan rasa kantuk (otak menjadi rileks), sehingga setelah main game, suatu hal yang sangat cocok untuk dilakukan adalah istirahat. 

Walau ada juga yang setelah bermain memilih untuk makan. Ada juga yang setelah bermain game, pergi mandi---kalau ini tipe gamers (pecinta game) yang peduli dengan kebersihan dan kesehatan.

Selain itu (ketiga), game bisa dijadikan sebagai media berinteraksi dengan orang lain yang memang kebetulan juga menyukai game. Siapa yang menolak kesempatan untuk bertemu dan berteman dengan sesama gamer (pemain game)? Hal ini tentu tak beda jauh dengan seorang penyuka baca buku lalu bertemu dan berkenalan dengan pembaca buku lainnya di perpustakaan, dan kemudian keduanya akan berteman lalu menjadikan buku sebagai bahan perbincangan. 

Begitu pula di dunia game, ketika seorang gamer bertemu dengan sesama gamer dan kemudian menjadi teman bermain game. Artinya, melalui game, kita masih bisa membuka jendela interaksi dan komunikasi---terlepas dari patokan sebatas teman di dunia maya atau ada di dunia  nyata.

Suatu hal yang paling dirasakan manfaat dari keberadaan game adalah kehadirannya mampu membuat siapapun yang bermain pada akhirnya mengurangi pikiran bingung dan sedihnya terhadap permasalahan yang sedang terjadi. Seiring berjalannya waktu, tuntutan hidup manusia menjadi semakin tinggi dan membuat pikiran menjadi semakin cepat untuk tertekan.

Di sanalah, kemudian kita sangat perlu suatu waktu untuk dapat rileks. Berada dalam bayang-bayang permasalahan dapat memicu stress dan jika dibiarkan begitu saja juga dapat menimbulkan penyakit---tak hanya terhadap psikis namun juga fisik.

Ada sebuah persepsi bahwa orang yang sudah bekerja akan menjadi anti game. Justru mereka sebenarnya bisa melalangbuana di dunia game apapun. Bahkan jika dibandingkan dengan anak-anak dan remaja, mereka juga tak kalah jam terbangnya. Perbedaannya hanya pada kemampuan mereka dalam mengelola waktu yang lebih baik dibandingkan gamers anak-anak dan remaja yang cenderung over-addict terhadap game. 

Semua hal yang berlebihan tentu tak baik, bukan? Obat saja yang dapat menyembuhkan, bisa menjadi penyebab kematian jika dikonsumsi secara berlebihan. Hal ini tentu juga berlaku pada perlakuan terhadap keberadaan game.

Berbicara tentang game, kita boleh kembali mengingat atau menghitung jumlah game yang sudah kita mainkan. Apakah sudah lebih dari 10 game yang Anda mainkan? Jika sudah atau bahkan sangat lebih dari itu, maka selamat! Anda adalah salah satu orang yang berhasil mengikuti perkembangan zaman.

Apakah pengikut perkembangan zaman harus bermain game? Tidak juga. Namun, bermain game setidaknya kita bisa tahu apa yang sedang terjadi dan tahu juga bagaimana rasanya saat bermain game dan dari sanalah kita bisa menentukan penilaian kita terhadap game. Karena, menilai sesuatu tanpa kita pernah tahu faktanya tentu bukanlah hal yang bijak. 

Termasuk dalam menilai game, yang tak 100% haram untuk dicoba. Narkoba yang jelas berbahaya saja masih ada yang berani mencoba. Sedangkan game yang katanya berbahaya tapi nyatanya tidak banyak narapidana yang berada di sel penjara karena bermain game, bukan?

Game bisa dikatakan berbahaya ketika perlakuan kita terhadap game itu telah tidak pada koridornya---selain over-addict. Seperti memainkan game dewasa namun dilakukan di usia yang belum cukup. Atau memainkan game, lalu diujicobakan ke dunia nyata. Misalnya, memainkan game Smackdown, lalu temannya dibanting ke lantai kelas seperti adegan fight Undertaker melawan Reymysterio. Tentu hal itu sangat tidak boleh. Untuk itu, pengenalan terhadap game itu perlu dilakukan sebelum kita terlanjur kecemplung.

Sebagai orang yang akan mendewasa dan punya anak nanti, pasti perlu adanya pengetahuan dan pengalaman terhadap game. Karena, hampir pasti anak kita akan memainkan game---apapun jenisnya. Sehingga, berbekal dari pengalaman bermain game dan keberhasilan dalam menilai keberadaan game, tentu dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengenalkan game pada anak dan memberikan arahan serta penjelasan sebaik mungkin. Agar anak kita tahu apa yang harus dia lakukan terhadap game---cara menyikapinya. Bahwa game tidak 100% buruk.

Bahkan, kehadiran game terkadang bisa membuat kita bangga. Bagaimana bisa?

Kita langsung ambil contoh dengan keberadaan game Dreadout. Game yang dirilis pada Mei 2014 ini ternyata mengambil setting dan cerita tentang kelokalan Indonesia. Negara yang penuh dengan cerita legenda (termasuk kisah mistisnya) ini seolah-olah menjadi suatu hal yang menarik ketika diangkat ke dalam bentuk game horor dan bersama dengan kehadiran sosok-sosok horor yang identik dari Indonesia. 

Selain hantu Pocong yang memang menjadi hantu paling menakutkan (penulis bahkan merinding saat menulisnya*), kita dapat semakin merinding ketika salah satu identitas kehororan Indonesia khususnya di Jawa muncul juga di sini. Yaitu, keberadaan lagu Lingsir Wengi. Bersama lagu ini, aura mistis di game ini semakin kental dengan Indonesia. Bagaikan sedang menonton film horor.

Uniknya, game ini ternyata diangkat kisahnya ke dalam bentuk film dan kabarnya akan rilis tahun 2019 nanti. Hal ini menunjukkan bahwa sebuah game tak hanya berbicara soal misi dan kemenangan, namun juga dapat menyajikan cerita. Memang sudah banyak game yang di dalamnya menghadirkan cerita. Bahkan semakin ke sini, game yang di dalamnya ada kisah-kisah yang seolah-olah ada sudah semakin banyak, dan lengkap dengan penokohannya juga.

Dreadout memang sudah berusia sekitar 4 tahun, dan dalam hitungan level usia game, keberadaannya masih sangat muda jika dibandingkan dengan game legendaris seperti Final Fantasy dan Resident Evil. Namun, temanya yang horor dan mengambil horornya Indonesia, tentu menjadi suatu nilai plus yang banyak bagi publik Indonesia, entah gamers atau bukan. 

Di sini kita bisa melihat, bahwa game yang memang misinya untuk menjadi media hiburan juga berhasil menyita perhatian publik secara luas dengan penyematan identitas dari suatu daerah atau bahkan negara. Mungkin peluncuran game di Jepang lebih banyak daripada negara lain, namun dengan (saking) banyaknya game yang dilahirkan di sana, keberadaannya tidak menimbulkan perasaan yang istimewa. We just know it, and play it. Done!

Sedangkan di game Dreadout ini kita bisa merasakan atmosfer kebanggaan. Karena, bersama dengan keberadaan lokalitas yang awalnya hanya muncul di film dan dengan kemasan yang begitu-begitu saja (kadang membosankan dan kurang menarik), ternyata dapat dihadirkan ke dalam bentuk game (sesuatu yang mungkin belum pernah diduga sebelumnya). 

Di sinilah kita bisa membuka pikiran, bahwa keberadaan game tak hanya untuk kita nikmati saja, tapi juga kita apresiasi. Entah dalam cara kita memainkan game-nya atau malah mengembangkan game itu menjadi karya lain yang semakin membuat publik dunia tahu dan kenal Indonesia---yang tak hanya melahirkan tenaga gamers namun juga memiliki kisah menarik yang dapat dijadikan bahan dalam pembuatan game.

Kabar bagus lainnya tentang Dreadout adalah kisah di game-nya kini juga telah diangkat ke dalam bentuk komik yang bisa dibaca gratis secara mingguan di sebuah platform komik web. Keberadaannya di komik juga membuat kita bisa mengenal game ini walau (bahkan) tidak pernah memainkan game-nya sekalipun. 

Namun setidaknya, kita bisa melihat secara luas tentang game yang ternyata juga mampu berkembang dan bisa membuat kita selayaknya untuk mengapresiasi keberadaan game---terlepas dari latar belakang game tersebut.

Lalu, apakah game itu musuh atau teman?

Jika game itu musuh yang dapat membuat orang menjadi (semakin) malas dan meninggalkan banyak kewajibannya, it's not the game's fault! Namun, itu adalah konsekuensi pribadi yang mutlak bagi orang tersebut. Sama seperti, seorang anak yang rajin membaca buku namun tidak mau diminta ibunya pergi ke toko (sebelah rumah) untuk membeli gula. 

Pada akhirnya, si ibu menyalahkan buku, bukan anaknya. Padahal itu karena anaknya yang tidak mau membantu ibunya, bukan karena dia sedang membaca buku.

Lalu, apakah Anda akan memutuskan berhenti bermain game?

Atau

malah semakin semangat untuk bermain game?

Malang, 23 November 2018

Deddy Husein S.

Nb:

* merinding karena hawa di malam hari di sini terasa lebih dingin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun