Kita langsung ambil contoh dengan keberadaan game Dreadout. Game yang dirilis pada Mei 2014 ini ternyata mengambil setting dan cerita tentang kelokalan Indonesia. Negara yang penuh dengan cerita legenda (termasuk kisah mistisnya) ini seolah-olah menjadi suatu hal yang menarik ketika diangkat ke dalam bentuk game horor dan bersama dengan kehadiran sosok-sosok horor yang identik dari Indonesia.Â
Selain hantu Pocong yang memang menjadi hantu paling menakutkan (penulis bahkan merinding saat menulisnya*), kita dapat semakin merinding ketika salah satu identitas kehororan Indonesia khususnya di Jawa muncul juga di sini. Yaitu, keberadaan lagu Lingsir Wengi. Bersama lagu ini, aura mistis di game ini semakin kental dengan Indonesia. Bagaikan sedang menonton film horor.
Uniknya, game ini ternyata diangkat kisahnya ke dalam bentuk film dan kabarnya akan rilis tahun 2019 nanti. Hal ini menunjukkan bahwa sebuah game tak hanya berbicara soal misi dan kemenangan, namun juga dapat menyajikan cerita. Memang sudah banyak game yang di dalamnya menghadirkan cerita. Bahkan semakin ke sini, game yang di dalamnya ada kisah-kisah yang seolah-olah ada sudah semakin banyak, dan lengkap dengan penokohannya juga.
Dreadout memang sudah berusia sekitar 4 tahun, dan dalam hitungan level usia game, keberadaannya masih sangat muda jika dibandingkan dengan game legendaris seperti Final Fantasy dan Resident Evil. Namun, temanya yang horor dan mengambil horornya Indonesia, tentu menjadi suatu nilai plus yang banyak bagi publik Indonesia, entah gamers atau bukan.Â
Di sini kita bisa melihat, bahwa game yang memang misinya untuk menjadi media hiburan juga berhasil menyita perhatian publik secara luas dengan penyematan identitas dari suatu daerah atau bahkan negara. Mungkin peluncuran game di Jepang lebih banyak daripada negara lain, namun dengan (saking) banyaknya game yang dilahirkan di sana, keberadaannya tidak menimbulkan perasaan yang istimewa. We just know it, and play it. Done!
Sedangkan di game Dreadout ini kita bisa merasakan atmosfer kebanggaan. Karena, bersama dengan keberadaan lokalitas yang awalnya hanya muncul di film dan dengan kemasan yang begitu-begitu saja (kadang membosankan dan kurang menarik), ternyata dapat dihadirkan ke dalam bentuk game (sesuatu yang mungkin belum pernah diduga sebelumnya).Â
Di sinilah kita bisa membuka pikiran, bahwa keberadaan game tak hanya untuk kita nikmati saja, tapi juga kita apresiasi. Entah dalam cara kita memainkan game-nya atau malah mengembangkan game itu menjadi karya lain yang semakin membuat publik dunia tahu dan kenal Indonesia---yang tak hanya melahirkan tenaga gamers namun juga memiliki kisah menarik yang dapat dijadikan bahan dalam pembuatan game.
Kabar bagus lainnya tentang Dreadout adalah kisah di game-nya kini juga telah diangkat ke dalam bentuk komik yang bisa dibaca gratis secara mingguan di sebuah platform komik web. Keberadaannya di komik juga membuat kita bisa mengenal game ini walau (bahkan) tidak pernah memainkan game-nya sekalipun.Â
Namun setidaknya, kita bisa melihat secara luas tentang game yang ternyata juga mampu berkembang dan bisa membuat kita selayaknya untuk mengapresiasi keberadaan game---terlepas dari latar belakang game tersebut.
Lalu, apakah game itu musuh atau teman?
Jika game itu musuh yang dapat membuat orang menjadi (semakin) malas dan meninggalkan banyak kewajibannya, it's not the game's fault! Namun, itu adalah konsekuensi pribadi yang mutlak bagi orang tersebut. Sama seperti, seorang anak yang rajin membaca buku namun tidak mau diminta ibunya pergi ke toko (sebelah rumah) untuk membeli gula.Â