Mohon tunggu...
Deddy Febrianto Holo
Deddy Febrianto Holo Mohon Tunggu... Administrasi - Warga Tana Humba

Nda Humba Lila Mohu Akama "Kami Bukan Sumba Yang Menuju Pada Kemusnahan".

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Saya [Bukan] Korban UU ITE Gundah

20 Februari 2021   13:14 Diperbarui: 20 Februari 2021   19:00 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai rakyat yang pernah berproses panjang saya berhadapan dengan kriminalisasi UU ITE sejak tahun 2017, hingga awal tahun 2021. Apakah saya perlu turut gundah kala membaca pernyataan  Jokowi yang menginginkan revisi UU ITE, kata KSP beliau tengah gundah.

Melalui proses peradilan yang panjang yang saya selesaikan dengan mendekam di dalam lembaga pemasyarakatan untuk menjalankan vonis 4 bulan ditambah subsider 2 bulan karena saya tidak mampu membayar denda senilai seratus juta untuk menjalankan putusan kasasi 1948K/Pid.Sus/2018 yang menguatkan putusan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Waingapu  No.88/Pid.Sus/2017/PNWgp dan putusan banding di Pengadilan Tinggi Kupang No. 184/Pid/2017/PTKPG.  Putusn  dapat dibaca di sini.

Negara ini terlalu "baik" sepertinya pada saya, untuk dua bulan kebebasan saya dihargai seratus juta, artinya per bulan 50 juta. Saya menjalani hukuman total 6 bulan kebebasan saya sama saja dengan tiga ratus juta, toh?.  

Jangan sedih kompasianer, saya tidak tengah menceritakan kegundah gulanahan seperti rindunya Dilan kepada Milea. Meski rasanya juga berat, jadi cukup aku saja. Berharap ke depan tidak ada lagi orang yang yang terpenjara karena berusaha membebaskan pikiran kritisanya dan menyuarakannya melalui media sosial.

Sekelumit Kisah Saya Berhadapan dengan UU ITE

Tak perlu anda siapkan tisu saat menyimak sekelumit perjalanan saya selama 4 tahun ini. Saya pun tidak akan berteriak lagi "saya ini korban".

Secara nyata  negara ini telah menyatakan, saya sebagai pelaku sebuah kejahatan dunia siber. Meski saya tidak akan pernah bersedia mengaku itu salah.

Proses panjang ini akan menjadi cerita buat anak cucu saya kelak (jika ada) bahwa tidak semua pelaku kriminal ternyata orang yang bersalah dan berada di jalan yang salah. 

Kejahatan dan kesalahan ternyata tidak seiring sejalan. 

Meski kata seorang rekan yang mendalami hukum pidana, negara ini menganut asas Nulla Poena Sine Culpa (tiada pidana tanpa kesalahan). Kenyataannya, kesalahan pun dapat dicari-cari juga. 

Kisah hidup saya berurusan dengan UU ITE ini dimulai ditahun 2017. Saya mengkritisi kebijakan pemerintah daerah terkait salah satu perusahaan swasta yang memegang Hak Guna Usaha di sektor perkebunan kapas di Kabupaten Sumba Timur. Pendapat itu saya ungkapkan melalui media sosial facebook.  KOmpas memuatnya di sini.

Saya hanya ingin menyampaikan agar pemerintah daerah segera mengevaluasi dan mencabut HGU perusahaan tersebut karena tidak lagi melakukan aktivitas selama hampir 3 tahun, ini sesuai rujukan UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Dengan kalimat singkat  "Di mana keberpihakan GBY-ULP soal PT Ade Agro yang sampai saat ini HGU belum dicabut? Apa masih senang mendapatkan kawadak?"

Ternyata, bukan hanya rindu yang bikin baper, hal  ini pun menuai banyak pro dan kontra.  Hingga  Bupati Sumba Timur  yang terhormat kala itu  melaporkan saya melakukan pencemaran nama baik dengan menggunakan UU ITE ke Polres Sumba Timur.

You'll Never Walk Alone

Proses peradilan pidana pun  dimulai.  Tenang saja kompasiane, saya menghadapi proses panjang peradilan tidak sendirian kok. Ada begitu banyak rekan yang peduli dengan kasus saya termasuk penggalangan petisi. Meski, negara ini belum bersedia menunjukkan kebaikannya kepada saya warga negaranya yang mencoba bersikap kritis.

Saya tidak terlalu paham  bagaimana bisa kasus ini masuk ke ranah publik, Ketersinggungan seseorang pada  sikap orang lain bukankah seharusnya masuk ranah privat. Ketersinggungan bukan luka terbuka, bukan kematian atau kerugian material yang dapat dinilai. 

Negara ini seperti kurang urusan saja. Orang baper diurusin, yang laper tidak diperhatikan.

Apakah karena semua hal memang dinilai dengan uang. Bahkan kata kawadak yang dalam kamus kamus Kambera-Indonesia yang ditulis oleh Putra Kebanggaan Sumba.  Oemboe Haramburu Kapita (Oe H Kapita) menyebutkan arti kata "Kawadak" adalah "Persembahan dan/atau Pujian". Namun diartikan uang.

Putusan lembaga peradilan di negeri ini pun telah meperkuat kawadak dimaknai sebagai uang.

Saya putra asli Tana Humba sangat menginginkan Sumba tetap ada. Tidak hanya dikenal karena ada Nihiwatu, hotel terbaik di seluruh dunia, atau sekadar tempat syuting iklan mobil berlogo kuda jingkrak itu, juga berbagai film besutan anak Negeri dari Perdekar Tongkat Emas, Marlina: Si Pembunuh dalam Empat Babak yang merajai berbagai festival film hingga Susah Sinyal yang katanya lucu itu.


Semua Anak Negeri harus tergugah bahwa di pulau ini telah terjadi eksploitasi alam besar-besaran, yang   merenggut ruang hidup dan berpenghidupan, menggeserkan tempat-tempat ritual marapu, demi sebuah janji manis semanis gula, kebun tebu dan pabrik gula.

Selain itu, pulau ini pun memang dikenal dengan  tenunnya yang indah. Tak salah memang sebuah cita-cita untuk mewujudkan perkebunan kapas yang akan menghasilkan  kain-kain berkualitas. Namun, perusahaan itu bertahun-tahun tak pernah mewujudkannya. Suara kritis saya terhadap investasi yang mencederai kelestarian Sumba ini pula yang menggeret saya menghadapi proses peradilan pidana dan menjalani hukuman.

Saya bukan korban, sekali lagi saya tegaskan itu. 

Proses peradilan panjang bertahun itu saya anggap sebagai  cara negara mempertajam kemampuan saya mengadvokasi. Menjalani kehidupan selama 6 bulan  hanyalah hadiah liburan dari negara kepada saya akan sikap kritis saya dalam mengadvokasi. Agar saya dapat meluruskan pikiran dan menguatkan tekad saya untuk terus mengadvokasi masyarakat Sumba, terutama masyarakat adatnya.

Saya bukan korban, tetapi mereka. Masyarakat adat yang dikriminalkan karena dianggap melakukan upaya-upaya menghambat jalannya aktivitas perusahaan. Hanya karena mereka kembali berusaha untuk mengolah lahan-lahan mereka yang diklaim oleh perusahaan yang telah memporak-porandakan Tana Humba.

Jeruji penjara bukan batu kriptonitenya saya,  yang mampu melemahkan tekad saya.

Hadapi UU ITE , Kamu Gak Akan Kuat! Cukup Kami Saja

Sejak diundangkan tahun 2008 kemudian direvisi tahun 2016. UU yang katanya dibuat untuk menjaga keamanan transaksi elektronik yang maju melesat. UU ini sesungguhnya terbagi menjadi 2 bagian, bagian pertama  e-commerce, bagian kedua tindak pidana yang juga terbagi 4 (illegal content dan akses illegal, illegal interception dan data inteference). 

Namun,setelah 13 tahun diundangkan, negeri ini hanya diperkenalkan pada kegaduhan penegakan pidana pada illegal content yang dianggap jauh lebih jahat daripada pengacak-acak keamanan data yang sampai saat ini tidak dijamin keamanannya oleh negara ini.

Sejak dalam perancangannya dulu,  memang pasal-pasal karet yang mengatur tentang illegal content ini sangat mengkhawatirkan masyarakat sipil. Dengan pemberlakukan pasal-pasal karet ini panggung demokrasi dibatasi dalam ruang kebijakan yang ketat.  

Meski berkumpul dan bersikap kritis merupakan hak asasi warga negara yang dijamin konstitusi, Pasal karet pada UU ITE membuat sebagian suara kritis dibungkam secara sistematis.

Sudah semakin panjang daftar korban UU ITE ini baik karena sikap kritisnya ataupun karena kebaperan orang lain. Padahal Sudah tidak zaman lagi nakura (nakut-nakutin rakyat. Hal itu seharusnya sudah terberangus sejak runtuhnya orde baru lebih dari dua dekade lalu.

Dengan pemberlakukan UU ini menunjukan ada "pemasungan" secara sistematis, yang melarang penyampaikan suara kritis kepada pemerintah. 

Penggunaan UU ITE sebagai sarana pemidanaan dengan pemberitaan yang begitu masif pun membuat masyarakat menjadi takut untuk memberikan masukan, saran, ide dan kritis yang konstruktif kepada pemerintah. Sama saja dengan  fungsi kontrol masyarakat tidak lagi dijamin oleh negara.

Bukan dengan pembungkaman jika ingin suara-suara kritis ini diam. Melainkan pemerintah harus menjawab dengan perbaikan kinerja dan pelayanannya.

Sudah waktunya pemerintah melihat kembali UU ITE dan memperbaikinya sehingga angka kriminalisasi tidak terjadi lagi. Sikap kritis tidak seharusnya dianggap membahayakan pemerintah. 

Karena pada dasarnya suara-suara kritis ini pun memberikan sumbangsih pemikiran dan perubahan bagi negara Indonesia agar lebih baik. Dan ini memang perlu upaya bersama. karena akar masalahnya pada ketakutan dari elit penguasa inilah yang melanggengkan "Pagar besi"  berupa UU  ITE  untuk membungkam kelompok masyarakat dan organisasi sipil menyuarakan berbagai persoalan negeri ini.

Jika pemerintah mewacanakan ingin merevisi UU ITE perlu membuka diri lebih dalam lagi untuk melihat sejauh mana implementasi dari UU ITE ini yang telah memasung suara rakyat, termasuk mengakomodir suara-suara masyarakat sipil mengenai UU ITE ini. 

Good governance bukan hanya pada sebatas tata kata, tapi berani mengukur diri untuk membangun sistem yang lebih baik.

Dewasa ini ada berbagai isu yang perlu di kawal bersama, suara kritis menjadi kekuatan yang perlu dijaga dengan regulasi yang tidak mengekang rakyat untuk memperbaiki keadaan saat ini.

Bagaimana membangun sistem yang baik ketika sikap kritis menjadi ancaman?.  Pembungkaman melalui UU ITE pun dibuat untuk membelokkan substansi persoalan yang sesungguhnya. Padahal ada banyak pilihan yang bisa digunakan oleh pemerintah untuk membangun komunikasi demokrasi yang lebih ramah terhadap sikap kritis publik.

UU ITE tentu saja telah dikaji oleh para ahli hukum negara ini, namun pelaksanaannya melenceng jauh dari harapan publik, ada begitu banyak kriminalisasi terjadi di setiap daerah, masyarakat di penjara hanya karena menyuarakan ketimpangan para elite.

Bagi saya ini tidak adil. Jika suara kritis dibungkam dalam ruang demokrasi, maka pemerintah harus memperbaiki segala ketimpangan para elite. Hukum secara normatif tidak cukup, dibutuhkan tekanan agar implementasi hukum berjalan dengan benar, tekanan inilah yang saya bisa sebut sebagai sikap kritis.

Saya menyambut baik ketika Presiden RI Joko Widodo menyampaikan bahwa penegak hukum harus mencermati secara baik substansinya. Bahwa hal ini bukan ranah publik yang diselesaikan melalui mekanisme hukum pidana, sudah sepatutnya jika ada ketersingungan apalagi sebatas kebaperan sesaikan dengan mekanisme hukum privat.

Hentikan daftar panjang orang-orang yang terpenjara karena UU ITE sekarang juga. Tidak perlu berpanjang-panjang proses. Proses itu bukan hanya melelahkan saya, tetapi keluarga berikut teman-teman saya.

Isu Utama Tak Pernah Tersentuh

Penegak hukum juga perlu melihat ini sebagai tanda bahwa angka kriminalisasi dari lahirnya UU ITE sangat tinggi. Jangan sampai hanya gara-gara mencatut nama para pejabat masyarakat di penjara dengan pasal-pasal karet yang ada dalam UU ITE tersebut.

Seperti kasus saya  yang mencatut nama Bupati dan Wakil Bupati Sumba Timur terkait dengan izin investasi yang tidak memberikan manfaat bagi daerah, saya harus berhadapan dengan hukum karena melakukan pencemaran nama baik, sementara substansi persoalan tidak pernah tersentuh oleh hukum padahal kerugiannya negara itu sangat besar.

Saya yang diback up dengan jejaring pun harus tetap masuk penjara. Harus menelan pil pahit ketidakadilan. Apa lagi masyarakat petani dan masyarakat adat yang awam tentang pasal karet dalam UU ITE tentu saja mereka mudah dijebloskan ke dalam penjara. Ini perlu di evaluasi oleh pemerintah sejauh mana dampak dari UU ITE.

Saat ini saya ingin menyampaikan kepada pemerintah Stop Kriminalisasi dengan menggunakan UU ITE kepada masyarakat yang menyuarakan sikap kritis.

DFH.

ilustrasi pribadi
ilustrasi pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun