Mohon tunggu...
Deddy Febrianto Holo
Deddy Febrianto Holo Mohon Tunggu... Administrasi - Warga Tana Humba

Nda Humba Lila Mohu Akama "Kami Bukan Sumba Yang Menuju Pada Kemusnahan".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Air adalah Darahnya Tanah Humba, Milik Umat Manusia, Bukan Korporasi

4 Maret 2018   22:40 Diperbarui: 5 Maret 2018   12:35 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah daerah kering dengan tingkat curah hujan yang kecil. Rata-rata volume curah hujan tahunan di NTT hanya sebesar 1.000 mm, dengan musim hujan berlangsung selama 3-5 bulan, dan musim kering berlangsung selama 7-9 bulan.

Pulau Sumba, salah satu pulau yang ada di wilayah NTT, merupakan pulau yang beriklim lebih kering dibandingkan pulau lainnya, terutama Kabupaten Sumba Timur.

Meskipun demikian, ditambah dengan kondisi tanahnya yang kurang subur, di mana hanaya 11% dari luas tanah kabupaten yang baru bisa digarap sebagai lahan pertanian tetapi lebih dari separuh penduduknya adlah petani. Bahkan menempati tempat pertama dalam PDRB.

Otomatis persoalan tata guna air menjadi hal yang sangat krusial dalam pembangunan di Sumba, khususnya Sumba Timur.

Terlebih Sumba Timur dalam RT dan RW-nya menyatakan bahwa program utamanya adalah pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi dan jaringan pertanian, yaitu pada seluruh wilayah kecamatan terutama wilayah Kecamatan Waingapu, Kambera, Pandawai, Kambata Mapambuhang, dan Lewa.

Apalagi motto kabupaten ini adalah "matawai amahu pada njara hammu", yang secara harfiah diartikan "mata air emas, padang kuda elok" yang seharusnya semakin menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya air untuk kepentingan semua pihak adalah hal yang sangat krusial untuk menjadi perhatian seluruh stake holder di Sumba Timur.

Dari data PU tahun 2014 saja Di Pulau Sumba teridentifikasi lebih dari 500 mata air, tersebar di seluruh wilayah pulau, sedangkan untuk wilayah Sumba Timur tercatat 268 mata air, yang tersebar di beberapa kecamatan, yaitu berada di Kecamatan Rindi, Umalulu, Pahunga Lodu, Paberiwai, dan Lewa. Artinya ada banyak sumber mata air yang dapat dioptimalkan.

Mata air dalam budaya masyarakat Adat Sumba
Dalam konteks budaya Marapu, air merupakah darah dari tanah humba. Dalam adat Marapu pula dikenal Pa Eri Wee atau Kalarat Wai (Pengkeramatan Sumber Mata Air), merupakan aktivitas religus aliran kepercayaan Marapu dengan melakukan persembahan di sumber mata air, selain merupakan ibadah ucapan syukur, kegiatan ini sekaligus sebagai ibadah permohonan kepada sang pencipta agar senantiasa melimpahkan karunia air buat orang Humba.

Kalarat Wai atau Pengkeramatan Air juga sebagai bentuk penghormatan dan pelestarian alam terhadap sumber-sumber mata air yang selama ini mendapat ancaman serius. Karena itu, sampai saat ini, masyarakat adat di kawasan tempat persembayangan masih mengkeramatkan/melarang aktivitas pengrusakan di tempat mata air. Air dipercaya bersumber dari keberadaan hutan yang terbentang luas membungkus gunung di pulau Sumba.

Meningkatkan kesejahteraan melalui investasi?
Sebagai salah satu kabupaten miskin di Indonesia, penanaman investasi seringkali dipandang sebagai shortcut terbaik untuk mengejar ketertinggalan melalui pemanfaatan teknologi.

Hal ini juga berlaku di Kabupaten Sumba Timur. Bahkan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi belum lama ini sempat meninjau lokasi perkebunan tebu yang akan berinvestasi seluas 52.000 hektar ini yang digadang-gadang akan mengangkat derajat perekonomian masyarakat Sumba Timur. Sebuah terobosan yang dipandang sebagai jalan keluar untuk dapat mengurangi secara drastis desa tertinggal dan mengentaskan kemiskinan.

Persoalannnya adalah, investasi ini dimulai dengan janji manis. Jika kita kembali ke tahun 2015 saja,investor ini telah berjani bahwa persoalan sumber daya air di Sumba ini akan teratasi dengan dengan pemanfaatan penyulingan air laut dengan menggunakan teknologi cnggih dari Israel, sehingga tidak akan mengganggu sumber-sumber mata air penduduk setempat.

Tetapi dalam kenyataannya berkata lain, semenjak perusahaan tersebut beroperasi, dari enam Kecamatan lokasi kegiatan PT Muria Sumba Manis yang hampir tidak terdengar permasalahannya adalah kecamatan Pandawai dan Wulla Waijelu. Hal ini bisa saja terjadi, karena dua Kecamatan ini belum dieksekusi oleh perusahaan.

Tetapi di 4 Kecamatan lokasi kegiatan Perusahaan tersebut, yakni di wilayah Kecamatan Kahaungu Eti, Kecamatan Umalulu, Kecamatan Rindi, dan Kecamatan Pahunga Lodu, hampir semuanya mengalami persoalan yang hampir sama dimulai perampasan lahan, monopoli sumber air pertanian hingga perusakan hutan.

Contoh konkret terjadinya perusakan hutan dan monopoli sumber air terjadi di Desa Palanggay, Desa Patawang, dan Desa Wanga, bahkan hingga saat ini proses penyelesaian masalah tidak pernah selesai.

Sebut perusakan hutan di Desa Palanggay, di mana pemerintah hanya memberikan sanksi beripa surat teguran kepada perusahaan, tanpa ada tindakan lain yang memberi efek jera pada perusahaan tersebut.

Pada kasus perusakan hutan dan monopoli air di Desa Wanga, pemerintah dan perusahaan memberikan solusi berupa bantuan saluran air dengan pipanisasi, namun hal itu tetapmerugikan warga, karena Desa Wanga adalah daerah pertanian yang memiliki lahan sawah ratusan hektar.

Bahkan yeng lebih parah, akibat perusakan hutan serta monopoli sumber air di Desa Wanga tersebut, pun masyarakat menderita akibat banjir bandang pada 2017 silam, di mana kerugian yang diderita masyarakat Wanga pada saat itu ditaksir berjumlah ratusan juta rupiah.

Upaya privatisasi sumber mata air warga
Sebagaimana diungkap oleh Staff Walhi Bidang Wilayah Kelola Rakyat Walhi NTT, Petrus Ndamung dalam diskusinya beberapa waktu lalu, bahwa di tahun 2018, persoalan kian bertambah di mana perusahaan tersebut kembali berulah dengan membujuk rayu masyarakat Desa Patawang dan Wanga untuk memanfaatkan sumber air yang terletak di dalam Hutan Mbula.

Pihak perusahaan beraslan mereka akan mengangkat sumber air yang berada dalam hutan tersebut dengan menggunakan teknologi, lalu air tersebut akan didistribusikan untuk kebutuhan masyarakat sekitarnya dan untukpemenuhan kebutuhan perusahaan.

Celakanya, perusahaan pun turut menggunakan tangan-tangan elit lokal untuk menjalankan rencana mereka itu, bahkan proses adat meminta restu pada "Marapu" telah dilakukan pada tanggal 15 Februari 2018.

Namun, kegiatan ini hanya melibatkan orang-orang yang "kredibilitas"nya diragukan nilai merah dari masyarakat, bahkan keputusan ini dibuat sepihak tanpa melibatkan mayoritas masyarakat, terutama marga "Mbarapapa" selaku pemangku adat hutan dan sumber air tersebut.

Menjadi persoalannya adlaah lemahnya sumber daya manusia yang mampu memahami persoalan secara khusus dari marga "Mbarapapa" yang membuat rencana ini dapat dijalankan oleh elit dan pengusaha untuk mengeruk sumber daya alam yang tersisa, seolah berjalan mulus tanpa halangan.

Jika kondisi demikian terus saja dibiarkan, hal ini akan berpotensi membuat masyarakat terhegemoni oleh janji manis perusahaan.

Jika sebelumnya pada tahun 2015 ketika sosialisasi awal dilakukan perusahaan menjanjikan kepada masyarakat Wanga bahwa mereka tidak akan menggunakan sumber air irigasi bagi masyarakat tetapi menggunakan sumber air laut dengan menggunakan teknologi Israel.

Namun pada kenyataannya, perusahaan malah mengambil sumber air irigasi masyarakat, bahkan perusahaan melakukan pembendungan pada hulu air.

Tidak hanya sebatas itu, perusahaan pun melakukan pembalakan tegakan-tegakan pohon sepanjang sepadan sungai sumber irigasi rakyat yang berdampak pada menyusutnya debit air. Hingg saat ini janji mereka untuk merubah air laut untuk mensuplai kebutuhan air perusahaan tidak pernah terlaksana. Mereka tetap memanfaatkan sumber air irigasi masyarakat sebagai penopang utama bagi jalannya operasionalperusahaan.

Hal ini tidak bisa didiamkan, rencana pengambilan sumber air di Hutan Mbula merupakan upaya perusahaan untuk memprivatisasi sumber daya air yang dimiliki masyarakat Wanga. Hal ini dapat mengakibatkan rusaknya sistem ekologi di kawasan hutan mbula, dimana selama ini masih terjaga.

Sumber air yang direncanakan tersebut berada dalam hutan, tentu saja proses pengambilannya akan berdampak pada terganggunya Hutan Mbula. Padahal Hutan Mbula merupakan salah satu mata rantai ekologi yang tersisa di Sumba Timur.

Hutan Mbula merupakan salah satu hutan mangrove yang berstatus hutan lindung. Sehingga tidak dapatdiganggu dengan alasan apa pun.

Penggunaan teknologi dalam kawasan hutan akan berdampak pada terganggunya satwa-satwa yang hidup didalamnya, juga akan menghancurkan tegakan-tegakan dalam upaya pembersihan.

Sumber air ini merupakan satu-satunya yang belum tersentuh oleh siapa pun selama ini. Ini merupakan sumber air terakhir masyarakat setempat yang seharusnya tetap dipertahankan untuk keberlanjutan. Jika pemerintah dan masyarakat setempat tetap memilih diam, maka harapan satu-satunya akan menjadi miliki perusahaan tebu.

Pemerintah harus menegakkan Undang-undang No. 11 Tahun 1974 tentang pengairan yang menjelaskan bahwa sumber air dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya bukan untuk dimiliki perseorangan atau kelompok.

Jadi tidaklah berlebihan jika Walhi NTT menyuarakan agar Pemerintah Kabupaten Sumba Timur segera menindak pihak perusahaan yang berpotensi memprivatisasi sumber air pihak Pemerintah Sumba Timur melakukan upaya pencegahan perusakan Hutan Mbula sebagai paru-paru Sumba, sedangkan untuk masyarakat Sumba Timur menyatakan penolakan terhadap segala upaya pengerukan sumber daya alam yang dilakukan pihak perusahaan juga masyarakat Wanga-Patawang bersatu menolak segala upaya pembodohan yang dilakukan pihak perusahaan.

Karena segala upaya kemajuan harus didukung oleh kemauan bersama, diawali dengan kesadaran bersama bahwa kesejahteraan sesungguhnya adalah bagaimana kita bijak bersama alam, pemanfaatan teknologi untuk pembangunan yang berkelanjutan, bukan serampangan dan sporadis untuk mengeksploitasi segala sumber daya yang ada. Air bukan punya aku,kamu atau cuma kita. Air ini punya umat manusia dan keturunan kita kelak.Pantaskah kita merampasnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun