Persoalannnya adalah, investasi ini dimulai dengan janji manis. Jika kita kembali ke tahun 2015 saja,investor ini telah berjani bahwa persoalan sumber daya air di Sumba ini akan teratasi dengan dengan pemanfaatan penyulingan air laut dengan menggunakan teknologi cnggih dari Israel, sehingga tidak akan mengganggu sumber-sumber mata air penduduk setempat.
Tetapi dalam kenyataannya berkata lain, semenjak perusahaan tersebut beroperasi, dari enam Kecamatan lokasi kegiatan PT Muria Sumba Manis yang hampir tidak terdengar permasalahannya adalah kecamatan Pandawai dan Wulla Waijelu. Hal ini bisa saja terjadi, karena dua Kecamatan ini belum dieksekusi oleh perusahaan.
Tetapi di 4 Kecamatan lokasi kegiatan Perusahaan tersebut, yakni di wilayah Kecamatan Kahaungu Eti, Kecamatan Umalulu, Kecamatan Rindi, dan Kecamatan Pahunga Lodu, hampir semuanya mengalami persoalan yang hampir sama dimulai perampasan lahan, monopoli sumber air pertanian hingga perusakan hutan.
Contoh konkret terjadinya perusakan hutan dan monopoli sumber air terjadi di Desa Palanggay, Desa Patawang, dan Desa Wanga, bahkan hingga saat ini proses penyelesaian masalah tidak pernah selesai.
Sebut perusakan hutan di Desa Palanggay, di mana pemerintah hanya memberikan sanksi beripa surat teguran kepada perusahaan, tanpa ada tindakan lain yang memberi efek jera pada perusahaan tersebut.
Pada kasus perusakan hutan dan monopoli air di Desa Wanga, pemerintah dan perusahaan memberikan solusi berupa bantuan saluran air dengan pipanisasi, namun hal itu tetapmerugikan warga, karena Desa Wanga adalah daerah pertanian yang memiliki lahan sawah ratusan hektar.
Bahkan yeng lebih parah, akibat perusakan hutan serta monopoli sumber air di Desa Wanga tersebut, pun masyarakat menderita akibat banjir bandang pada 2017 silam, di mana kerugian yang diderita masyarakat Wanga pada saat itu ditaksir berjumlah ratusan juta rupiah.
Upaya privatisasi sumber mata air warga
Sebagaimana diungkap oleh Staff Walhi Bidang Wilayah Kelola Rakyat Walhi NTT, Petrus Ndamung dalam diskusinya beberapa waktu lalu, bahwa di tahun 2018, persoalan kian bertambah di mana perusahaan tersebut kembali berulah dengan membujuk rayu masyarakat Desa Patawang dan Wanga untuk memanfaatkan sumber air yang terletak di dalam Hutan Mbula.
Pihak perusahaan beraslan mereka akan mengangkat sumber air yang berada dalam hutan tersebut dengan menggunakan teknologi, lalu air tersebut akan didistribusikan untuk kebutuhan masyarakat sekitarnya dan untukpemenuhan kebutuhan perusahaan.
Celakanya, perusahaan pun turut menggunakan tangan-tangan elit lokal untuk menjalankan rencana mereka itu, bahkan proses adat meminta restu pada "Marapu" telah dilakukan pada tanggal 15 Februari 2018.
Namun, kegiatan ini hanya melibatkan orang-orang yang "kredibilitas"nya diragukan nilai merah dari masyarakat, bahkan keputusan ini dibuat sepihak tanpa melibatkan mayoritas masyarakat, terutama marga "Mbarapapa" selaku pemangku adat hutan dan sumber air tersebut.