Mohon tunggu...
Deddy Kristian Aritonang
Deddy Kristian Aritonang Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Alumnus Pascasarjana Universitas Negeri Medan

Pecinta Bahasa, Pendidikan, Sosial dan Olahraga.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Diet Energi demi Masa Depan Bumi

29 Januari 2024   23:29 Diperbarui: 31 Januari 2024   09:16 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kemungkinan ada infeksi di saluran pernapasan sehingga harus dilakukan foto toraks. Kita juga harus lakukan nebul. Mudah-mudahan kondisi si adik cepat pulih dan membaik."

Begitulah ucapan dokter anak di bulan September 2023. Anak kedua kami yang baru berusia dua tahun tiga bulan harus menjalani opname. 

Perkataan sang dokter ibarat petir di siang bolong. Selama ini dia sangat sehat dan ceria. Dia juga tak seperti abangnya yang picky eater. 

Saya dan istri pun harus menemaninya menjalani opname selama tiga hari tiga malam di sebuah rumah sakit di Medan.

Dia meraung-raung dan meronta-ronta kesakitan saat jarum infus ditusuk ke tangan mungilnya. Tanpa sadar, air mata saya jatuh. Kami menunggu cukup lama untuk mendapatkan kamar. 

Situasi di rumah sakit sangat ramai meski sudah lewat tengah malam. Pasien didominasi oleh bayi, balita dan anak-anak usia SD. 

(Anak kami saat menjalani rawat inap/dokumentasi pribadi)
(Anak kami saat menjalani rawat inap/dokumentasi pribadi)

Keluhannya pun nyaris serupa: gangguan saluran pernapasan! Mulai dari gejala ringan hingga akut. Kecemasan, kebingungan dan kesedihan dari wajah para orang tua menggambarkan betapa mencekamnya malam itu.

Dalam sesi kunjungan dokter spesialis anak, saya sampaikan bahwa di rumah kami tidak ada yang merokok. AC rutin dicuci. Ventilasi udara tergolong baik. 

Menurut dokter, persoalannya tidak hanya dan tidak selalu dari rumah. Intinya, infeksi saluran pernapasan dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan rakhitis. 

Tahukah Anda apa pemicu utamanya? Polusi udara! Setelah menjalani perawatan, anak kami akhirnya diizinkan pulang. Dia sudah pulih dan kembali ceria sekarang.

Stop Perdebatan!

Industrialisasi dan modernisasi memang menjadi marka betapa pesatnya perkembangan peradaban manusia. Namun, sayangnya, itu semua acap tidak diiringi dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan. Kota-kota besar di Indonesia nyatanya kian tak menyehatkan belakangan ini.

Pantaulah laporan Kompas pada 21 September 2023. Hanya 8,66 persen atau sekitar 409.000 dari 64,9 juta penduduk berdomisili di 98 kota di Indonesia yang dapat menghirup udara bersih. 

Temuan Kompas senada dengan data IQ Air bertajuk World Air Quality Report. Kualitas udara di mayoritas kota besar di Indonesia masuk kategori buruk. Jauh di bawah standar WHO (World Health Organization).

Jeleknya kualitas udara di sejumlah kawasan di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Apalagi jika melihat begitu banyaknya anak-anak yang terpapar Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) belakangan ini. Penanganan yang tidak serius akan mendatangkan efek jangka panjang bagi negeri ini.

Betapa tidak, menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), seperti yang dilansir dari laman umg.ac.id, dibandingkan dengan kelompok usia lain, anak-anak jauh lebih rentan terkena ISPA. Tumbuh kembang mereka akan terganggu secara fisik maupun mental. 

Di sisi lain, Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi dan menjadi negara adidaya pada tahun 2045. Saat itu penduduk usia produktif merupakan yang paling dominan dibanding kelompok usia lainnya (mencapai 70%). Itu sebabnya belakangan muncul jargon Generasi Indonesia Emas 2045.

Semuanya hanya akan menjadi isapan jempol semata bila persoalan buruknya kualitas udara tidak diatasi. Anak-anak yang sekarang cukup banyak terpapar ISPA adalah mereka yang diproyeksikan berada pada kelompok usia produktif di tahun 2045. Bagaimana mungkin kita berharap masa keemasan itu terwujud jika kesehatan anak-anak terabaikan di masa sekarang?

Mengatasi persoalan buruknya kualitas udara harus berlandaskan pada identifikasi masalah secara akurat. Kolaborasi antara pemerintah dan lembaga non-pemerintah sangat diperlukan. Ironisnya, kedua pihak yang paling diharapkan ini justru saling berseberangan pendapat soal penyebab polusi udara. 

Pemerintah, misalnya, dengan berbagai kajiannya, menyebut transportasi sebagai penyebab utama terjadinya polusi udara. Ini sekaligus merespon tudingan lembaga-lembaga riset independen yang menyebut bahwa sejumlah PLTU yang beroperasi di Indonesia sebagai penyebab utama memburuknya kualitas udara kita.

Jika ketidaksepahaman ini terus menerus berlarut-larut, apa manfaatnya? Sejujurnya, baik sektor energi maupun transportasi sama-sama berkontribusi besar dalam polusi udara di Indonesia. 

Menurut databooks, tahun 2022 lalu Indonesia tercatat sebagai salah satu negara penyumbang emisi CO2 terbesar ke-6 di dunia dengan emisi pada sektor energi sebesar 691,97 juta ton CO2. 

Sementara itu survei oleh Katadata Insight Center tentang persepsi masyarakat terhadap pencemaran udara pada Agustus 2023 menempatkan sektor transportasi (82,2%) sebagai biang kerok teratas terjadinya polusi udara.

Ayo Diet Energi!

Polusi udara hanya salah satu efek destruktif dari ketergantungan kita pada bahan bakar fosil. Kita tengah menghadapi persoalan perubahan iklim yang berdampak pada kerusakan lingkungan. 

Penggunaan bahan bakar fosil bertahun-tahun lamanya di banyak sektor kehidupan manusia, selain energi dan transportasi, kini menjadi ancaman maha serius. 

Kebiasaan buruk itu harus dihentikan. Saya terinspirasi dari kisah Peter Miller dan istrinya dalam sebuah artikel berjudul Our Energy Diet pada buku Reading Explorer 5 milik majalah National Geographic. Keduanya merupakan warga Amerika Serikat yang prihatin pada masalah efek rumah kaca di dunia.

(Artikel 'Our Energy Diet' tulisan Peter Miller dalam buku Reading Explorer 5 National Geographic/dokumentasi pribadi)
(Artikel 'Our Energy Diet' tulisan Peter Miller dalam buku Reading Explorer 5 National Geographic/dokumentasi pribadi)

Mereka melakukan sebuah eksperimen dengan melacak emisi karbon rumah tangga mereka selama satu bulan. Ini mirip dengan orang yang ingin menurunkan berat badan dengan menghitung asupan kalori. Metode ini mereka sebut sebagai 'diet energi.'  

Dalam artikel itu disebutkan bahwa rata-rata rumah tangga di Amerika menghasilkan sekitar 80 kilogram karbondioksida (CO2). Angka itu dua kali lipat lebih di atas rata-rata rumah tangga di Eropa dan hampir lima kali lebih besar dari rata-rata rumah tangga di dunia.

Untuk mengetahui jejak karbon rumah tangga mereka, Miller menghitung durasi penggunaan barang-barang elektronik yang mereka pakai. 

Angka-angka itu kemudian dikonsultasikan dengan website-website penyedia kalkulator jejak karbon. Salah satu website, The Environmental Protection Agency, menunjukkan bahwa keluarga Miller memproduksi 24.618 kilogram emisi karbon per tahun. 

Jumlah itu 30 persen lebih tinggi dari rata-rata jejak karbon tahunan keluarga lain di Amerika yang memiliki dua anak seperti Miller dan istrinya. 

Sumber utamanya adalah pendingin dan pemanas ruangan. Mereka kemudian melakukan audit energi dibantu sebuah lembaga yang kompeten untuk itu. Ternyata rumah keluarga Miller mengalami kebocoran 50 persen lebih tinggi dari seharusnya. 

Langkah pertama yang mereka lakukan adalah memperbaiki kebocoran. Selanjutnya mereka mengganti bola-bola lampu yang boros energi dengan lampu-lampu pandar (fluoresecents) yang jauh lebih hemat listrik dan ramah lingkungan. 

Tak lupa, keluarga Miller mengubah gaya hidup mereka yang selama ini 'boros energi' menjadi gaya hidup sustainable atau berkelanjutan (sustainable living). Rutinitas mengemudi mobil ke kolam renang dan berbelanja ke pasar setiap akhir pekan diganti dengan berjalan kaki dan mengemudi sepeda. Untuk urusan pekerjaan, Miller mulai rutin naik bus atau kereta api. Hasilnya, keluarga itu berhasil mengurangi emisi karbon sebanyak 32 kilogram per hari.

Apa yang dilakukan keluarga Miller seharusnya bisa juga kita terapkan. Kesadaran segenap pihak diperlukan. Efisiensi energi dapat dilakukan setiap orang dengan membiasakan hal-hal sederhana, namun sangat berdampak seperti menggunakan peralatan listrik yang memiliki emisi karbon rendah, mematikan alat-alat elektronik dan listrik seperti lampu, AC, kipas angin, pompa air, televisi—untuk sebatas menyebut beberapa contoh—apabila tidak digunakan. 

Kita juga bisa melakukan tracking emisi karbon lalu menghitungnya dengan kalkulator jejak karbon seperti yang bisa diakses lewat website iesr.or.id. Dengan cara ini, kita bisa tersadarkan betapa aktivitas rutin seperti memakai hair dryer selama satu jam ternyata menghasilkan 891 gram CO2. Pemakaian lampu non-stop 24 jam rupanya memproduksi 214 gram CO2. Penggunaan AC selama satu jam menghasilkan 668 gram CO2. Maksudnya begini. Boleh jadi selama ini kita merasa rutinitas kita tidak berdampak negatif pada lingkungan. Cara ini membuat konsumsi energi kita terukur dan akan membuat kita lebih sadar terhadap apa yang selama ini telah kita lakukan.

Kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi seperti sepeda motor dan mobil perlahan-lahan mesti diubah. Seperti keluarga Miller, untuk jarak tempuh dekat, berjalan kaki dan bersepeda bisa menjadi solusi. Selain demi mengurangi polusi asap kendaraan dan bahan bakar minyak, kedua cara ini terbukti sangat baik bagi kesehatan. Pemerintah pun perlu menyediakan lebih banyak armada transportasi umum, terutama yang berbasis listrik, untuk mengakomodir jarak tempuh yang lebih jauh.

Dan soal kendaraan berbasis listrik (KBL) ini, dukungan penuh harus diberikan. Artinya, kalau pun harus memiliki alat transportasi sendiri, baik dalam konteks pribadi maupun instansi, penggunaan KBL bisa menjadi alternatif ideal dalam kaitannya dengan upaya mengurangi emisi karbondioksida dan ketergantungan terhadap bahan bakar minyak (BBM).

Konon, untuk jarak tempuh 50 kilometer, sebuah sepeda motor listrik membutuhkan 1,2 kilowatt hour (kWh) atau setara dengan biaya charging sebesar Rp 2.500. Dengan jarak yang sama, sepeda motor konvensional memerlukan 1 liter BBM dengan biaya sekitar Rp 13.000. Penghematan biaya sebesar 80 persen ini jelas bukan angka yang kecil dan sangat membantu biaya operasional baik bagi dari skala individu maupun industri.

Sektor industri pun dituntut untuk wajib melakukan transisi penggunaan sumber energi. Tren memakai sumber energi fosil harus segera ditinggalkan. Pemanfaatan Energi Berkelanjutan seperti matahari, angin, air dan biomassa harus menjadi prioritas demi masa depan anak dan cucu kita.

Pasokan cadangan minyak bumi Indonesia sudah terbatas. Tak heran jika selama ini impor terus dilakukan guna memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Kondisi ini tentu tidak baik. 

Bayangkan jika sebuah negara eksportir, karena alasan tertentu, melakukan embargo. Lagipula, energi fosil tidak dapat diperbarui (unrenewable natural resources) dan stoknya sudah terbatas. 

Artinya, akan ada fase di mana energi fosil tidak lagi tersedia. Krisis energi akan mengancam dan dampak perubahan iklim akan menjadi bom waktu bila kita tidak segera bertindak. 

Miller dan keluarganya mengubah kebiasaan lama mereka hanya dalam waktu satu bulan namun dampaknya sangat signifikan. Semua dimulai dengan kesadaran dan komitmen setiap individu. Jika mereka bisa, kenapa kita tidak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun