Saya ingat betul ketika masih duduk di bangku SD. Guru menyuruh kami menghafal nama-nama menteri. Bagi yang mampu menyebutkan dengan benar di depan kelas, dia akan mendapatkan nilai bagus. Jika dipikir-pikir, urgensi kegiatan itu sepertinya tidak ada. Kalau pun nama seluruh menteri beserta gelarnya dapat diingat dan disebutkan dengan lancar di depan kelas, apa dampak signifikan yang dirasakan?
Puluhan tahun sejak itu, sepertinya pola belajar dengan cara menghafal masih begitu diagungkan dalam pendidikan kita. Guru menjejali peserta didik dengan materi. Materi dicatat, dihapal, kemudian akan dimunculkan dalam ujian. Kreatifitas murid tak diuji. Murid tidak diberi ruang dan peluang untuk berinovasi.
Padahal ada enam kecakapan atau 6C yang wajib dimiliki anak-anak di abad ke-21: character (karakter), citizenship (kewarganegaraan), critical thinking (berpikir kritis), creativity (kreatifitas), collaboration (kolaborasi), dan communication (komunikasi). Menghafal (remember) tidak turut serta di dalamnya.
Memang hafalan masuk ranah berpikir pada Taksonomi Bloom. Namun ia berada pada tingkatan paling dasar. Prof. Ng Aik Kwang dalam bukunya "Why Asians Are Less Creative Than Westeners?" (Mengapa bangsa Asia kalah kreatif dibandingkan bangsa Barat?) menyebut bahwa pendidikan di Asia identik dengan hafalan berbasis 'kunci jawaban', bukan pada pengertian. Ujian sekolah, ujian nasional, seleksi masuk PTN---untuk sebatas menyebut contoh---begitu kental dengan hafalan.
Kwang menyentil pelajar-pelajar Asia yang mendominasi pemenang dalam kompetisi-kompetisi seperti Olimpiade Fisika atau Matematika. Namun, untuk penghargaan-penghargaan internasional berbasis kreativitas dan inovasi seperti Nobel, kita tertinggal jauh dari orang-orang Barat.
Desain Pembelajaran yang Bermakna.
Maka dari itu, saya cukup senang melihat Kemdikbud menyediakan portal 'Merdeka Mengajar' bagi guru-guru. Di dalamnya, guru-guru bisa belajar secara mendalam tentang bagaimana mendesain pembelajaran yang membangun kecakapan peserta didik. Dalam portal itu, terdapat segmen 'Aksi Nyata' bagi guru untuk berbagi praktik dan pengalaman riil dalam mengimplementasikan modul yang telah tuntas dipelajari. Saya adalah salah satu dari sekian banyak guru yang telah melakukan itu.
Sekitar dua bulan lalu, pada bidang studi Bahasa Inggris yang saya ampu, saya merancang pembelajaran yang mengakomodir enam dimensi Profil Pelajar Pancasila: Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan beraklak mulia, Berkebinekaan Global, Mandiri, Bergotong royong, Bernalar kritis, dan Kreatif. Saya melihat keenam dimensi ini bersinergi dengan enam kecakapan yang dibutuhkan siswa pada abad ke-21.
Materi saat itu adalah Narrative Texts (teks naratif) untuk kelas VIII. Kami membahas cerita rakyat, dongeng, legenda, mitos dan fabel---mulai dari tujuan teks (social function), struktur teks (generic structure) hingga fitur kebahasaan (language features). Saya bagi siswa-siswi menjadi delapan kelompok. Teks-teks naratif yang ada di buku semuanya kami baca tuntas. Kadang saya bantu menerjemahkan kata-kata sulit sehingga seluruh anak paham dengan cerita yang dibaca.
Lalu saya menyuruh setiap kelompok mengerjakan satu project (Project Based Learning). Mereka harus memilih sebuah teks naratif. Teks itu diubah menjadi comic strip dan digambar pada kertas kartun berwarna putih. Saya berikan keleluasaan penuh. Warna comic strip boleh hitam-putih, boleh juga warna-warni. Alur cerita bisa sama persis seperti dalam buku teks, bisa juga dirombak, ditambahi atau dikurangi pada bagian-bagian tertentu.
Fase akhir kegiatan adalah retelling story. Setiap anak menceritakan comic strip di depan kelas per kelompok sesuai dengan bagian-bagian yang telah mereka sepakati. Saya tekankan kepada anak-anak itu bahwa setiap orang dalam kelompok pasti punya keahlian yang berbeda satu sama lain. Adanya perbedaan tidak boleh menjadi pemecah, melainkan harus dipandang sebagai aset untuk menciptakan karya yang kreatif, inovatif dan menarik.
Dari project itu saya semakin belajar bahwa setiap anak unik dan punya kecerdasan masing-masing. Â Misalnya, ada anak-anak yang rasa percaya dirinya kurang saat diminta menjelaskan sesuatu. Pada sesi bercerita, jujur saja, kemampuan berbicara mereka masih jauh dari harapan. Namun dalam diskusi kelompok, mereka punya andil dalam menggambar tokoh-tokoh pada comic strip. Hasil gambarnya sangat bagus. Mereka berhasil memvisualisasikan para tokoh yang dalam cerita hanya berupa deskripsi ke dalam bentuk gambar (image) pada comic strip. Saya puji mereka dan saya katakan, "You can be professional illustrators in the future!" (Kalian bisa menjadi ilustrator profesional nantinya!)
Lalu ada anak-anak yang selama ini sering kurang serius dan suka mengganggu teman. Saya yakin kebanyakan guru akan dengan mudah mencap mereka sebagai anak nakal, bandel dan lain-lain. Setelah saya amati, anak-anak itu berkontribusi besar dalam membuat plot twist pada project mereka. Cerita yang dibuat memang jadi berbeda dari versi asli. Tapi, setelah saya pikir-pikir, mereka tak ubahnya seperti telah menghasilkan karya baru. Saya juga menyanjung mereka dan saya bilang, "You can write novels as brilliantly as J.K. Rowling!" (Kalian bisa menulis novel sehebat J.K. Rowling).
Kemudian terdapat kategori anak-anak yang kurang mahir, baik dalam urusan menggambar maupun mengubah jalan cerita. Tapi, pada saat bercerita di depan kelas, mereka melakukannya dengan lugas. Mereka bergerak dari satu sisi kelas ke sisi lainnya. Bahkan ada anak yang mampu menggunakan suara-suara yang unik ketika memperagakan percakapan antar karakter. Anak-anak lain pun terbius dan fokus mendengarkan. Saya pun memuji mereka, "You can be great dubbers and public speakers." (Kalian bisa menjadi pengisi suara dan pembicara publik yang keren)
Implementasi secara Kontekstual
Saya dapat melihat kepercayaan diri dan semangat belajar yang meningkat di wajah-wajah mereka. Dan tidak berlebihan rasanya mengatakan kalau kami telah berhasil menerapkan seluruh dimensi Profil Pelajar Pancasila dalam satu topik pembelajaran secara kontekstual.
Rinciannya begini. Di sekolah kami, di les pertama setiap hari, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing wajib dilakukan. Di les terakhir sebelum pulang, kami juga menyanyikan satu lagu nasional atau lagu daerah, sebelum ditutup oleh doa pulang. Inilah praktik dimensi Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan beraklak mulia.
Saat memilih cerita naratif, sebagian kelompok sepakat menggunakan cerita rakyat dari Indonesia. Sementara kelompok lainnya memilih cerita dari negara lain. Ini adalah cermin berkebinekaan global. Anak-anak itu menjunjung tinggi kearifan lokal, tapi tetap terbuka kepada budaya asing dalam perspektif yang konstruktif.
Aspek kemandirian individu terlaksana ketika seluruh anak menjalankan tanggung jawab di kelompok masing-masing. Dan pada saat yang sama, bekerja sama dalam kelompok sampai tugas rampung dan disajikan dengan baik membuktikan kalau anak-anak itu mampu bergotong-royong.
Perbedaan cerita dalam comic strip dengan cerita asli dalam buku ajar merupakan aspek keunikan dan kebaruan. Artinya, anak-anak itu berhasil menemukan sesuatu (discovery learning). Selain itu, kemampuan mengubah cerita, yang awalnya di dalam teks didominasi oleh narasi, menjadi percakapan langsung antar tokoh, dan kemampuan menyajikan cerita dengan begitu menarik di depan kelas adalah contoh nyata bahwa mereka memiliki kekritisan berpikir dan kreatifitas tinggi.
Anak-anak itu begitu antusias. Saya juga merasa sangat puas. Semarak merdeka belajar terjadi di dalam ruang kelas yang hanya berukuran 7 x 8 meter persegi itu. Dan yang pasti, kami tidak terjebak pada paradigma belajar usang: menghafal!Â
Semua anak saya beri nilai tinggi. Bagi saya mereka semua cerdas sesuai porsi masing-masing. Dan masalah kecerdasan ini, sudah saatnya kita mengubah pola pikir. Kecerdasan tak cuma satu. Howard Gardner menyebutnya Mulitiple Intelligence atau kecerdasan majemuk: visual-spasial, linguistik-verbal, kinestetik-jasmani, musical, naturalistic dan eksistensial. Semuanya penting dan berguna.Â
Jadi sebetulnya tidak ada anak yang tidak cerdas. Yang ada adalah ketidakmampuan dalam menggali kecerdasan mana yang dominan untuk diasah, sehingga mampu membebaskan diri dari belenggu keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. Itu PR besar yang harus diselesaikan dalam pendidikan kita.
Penulis adalah guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H