Mohon tunggu...
Deddy Kristian Aritonang
Deddy Kristian Aritonang Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Alumnus Pascasarjana Universitas Negeri Medan

Pecinta Bahasa, Pendidikan, Sosial dan Olahraga.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Meninggalkan Kebiasaan Menghafal

30 Mei 2023   10:03 Diperbarui: 30 Mei 2023   10:08 861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dari project itu saya semakin belajar bahwa setiap anak unik dan punya kecerdasan masing-masing.  Misalnya, ada anak-anak yang rasa percaya dirinya kurang saat diminta menjelaskan sesuatu. Pada sesi bercerita, jujur saja, kemampuan berbicara mereka masih jauh dari harapan. Namun dalam diskusi kelompok, mereka punya andil dalam menggambar tokoh-tokoh pada comic strip. Hasil gambarnya sangat bagus. Mereka berhasil memvisualisasikan para tokoh yang dalam cerita hanya berupa deskripsi ke dalam bentuk gambar (image) pada comic strip. Saya puji mereka dan saya katakan, "You can be professional illustrators in the future!" (Kalian bisa menjadi ilustrator profesional nantinya!)

Lalu ada anak-anak yang selama ini sering kurang serius dan suka mengganggu teman. Saya yakin kebanyakan guru akan dengan mudah mencap mereka sebagai anak nakal, bandel dan lain-lain. Setelah saya amati, anak-anak itu berkontribusi besar dalam membuat plot twist pada project mereka. Cerita yang dibuat memang jadi berbeda dari versi asli. Tapi, setelah saya pikir-pikir, mereka tak ubahnya seperti telah menghasilkan karya baru. Saya juga menyanjung mereka dan saya bilang, "You can write novels as brilliantly as J.K. Rowling!" (Kalian bisa menulis novel sehebat J.K. Rowling).

Kemudian terdapat kategori anak-anak yang kurang mahir, baik dalam urusan menggambar maupun mengubah jalan cerita. Tapi, pada saat bercerita di depan kelas, mereka melakukannya dengan lugas. Mereka bergerak dari satu sisi kelas ke sisi lainnya. Bahkan ada anak yang mampu menggunakan suara-suara yang unik ketika memperagakan percakapan antar karakter. Anak-anak lain pun terbius dan fokus mendengarkan. Saya pun memuji mereka, "You can be great dubbers and public speakers." (Kalian bisa menjadi pengisi suara dan pembicara publik yang keren)

Implementasi secara Kontekstual

Saya dapat melihat kepercayaan diri dan semangat belajar yang meningkat di wajah-wajah mereka. Dan tidak berlebihan rasanya mengatakan kalau kami telah berhasil menerapkan seluruh dimensi Profil Pelajar Pancasila dalam satu topik pembelajaran secara kontekstual.

Rinciannya begini. Di sekolah kami, di les pertama setiap hari, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing wajib dilakukan. Di les terakhir sebelum pulang, kami juga menyanyikan satu lagu nasional atau lagu daerah, sebelum ditutup oleh doa pulang. Inilah praktik dimensi Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan beraklak mulia.

Saat memilih cerita naratif, sebagian kelompok sepakat menggunakan cerita rakyat dari Indonesia. Sementara kelompok lainnya memilih cerita dari negara lain. Ini adalah cermin berkebinekaan global. Anak-anak itu menjunjung tinggi kearifan lokal, tapi tetap terbuka kepada budaya asing dalam perspektif yang konstruktif.

Aspek kemandirian individu terlaksana ketika seluruh anak menjalankan tanggung jawab di kelompok masing-masing. Dan pada saat yang sama, bekerja sama dalam kelompok sampai tugas rampung dan disajikan dengan baik membuktikan kalau anak-anak itu mampu bergotong-royong.

Perbedaan cerita dalam comic strip dengan cerita asli dalam buku ajar merupakan aspek keunikan dan kebaruan. Artinya, anak-anak itu berhasil menemukan sesuatu (discovery learning). Selain itu, kemampuan mengubah cerita, yang awalnya di dalam teks didominasi oleh narasi, menjadi percakapan langsung antar tokoh, dan kemampuan menyajikan cerita dengan begitu menarik di depan kelas adalah contoh nyata bahwa mereka memiliki kekritisan berpikir dan kreatifitas tinggi.

Anak-anak itu begitu antusias. Saya juga merasa sangat puas. Semarak merdeka belajar terjadi di dalam ruang kelas yang hanya berukuran 7 x 8 meter persegi itu. Dan yang pasti, kami tidak terjebak pada paradigma belajar usang: menghafal! 

Semua anak saya beri nilai tinggi. Bagi saya mereka semua cerdas sesuai porsi masing-masing. Dan masalah kecerdasan ini, sudah saatnya kita mengubah pola pikir. Kecerdasan tak cuma satu. Howard Gardner menyebutnya Mulitiple Intelligence atau kecerdasan majemuk: visual-spasial, linguistik-verbal, kinestetik-jasmani, musical, naturalistic dan eksistensial. Semuanya penting dan berguna. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun