Mohon tunggu...
Senja Nila
Senja Nila Mohon Tunggu... -

aku berwarna, dan kaupun begitu..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Drama~

1 April 2011   02:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:14 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mimi, menulis nama-nama pemain drama "Wulan" di papan tulis.

Kubaca satu persatu, Wulan..Sesylia, Panglima Kerajaan...Deka...bleh...mana namaku...kutunggu sampai Mimi menyelesaikan pekerjaannya, sampai papan penuh dengan tulisan bulat-bulatnya yang sedikit menggangguku dalam membacanya. Tapi setidaknya tulisannya lebiih baik dari tulisan cakar ayamku. Kubaca lagi dari atas, eh sampailah pada sebuah baris yang berisi nama kerenku.. Panglima pemberontak = Reihan Ali Zidan. Hah...??apa tuh panglima pemberontak?. Antagonis ? Aku yang dulu jadi pangeran sekarang jadi panglima pemberontak?? Hmm sedikit kecewa aku melihatnya. Huh...ya terseralah mau jadi kuda juga gak masalah.

"Ok, sudah dibacakan? Apa ada yang protes?? Atau ada yang ditanyakan?, Tanya Amir sang ketua kelas.

"Kapan naskahnya selesai?terus kapan nih latihannya?", Tanya Deka dengan semangat. Huu...semangat dia, ya dia enak jadi pemeran utama pria. Apa dia lebih ganteng ya dari aku sampai kepilih.

"Besok sudah jadi dan langsung dibagikan kok. Latihannya mulai minggu depan saja minggu ini banyak ulangan.", kata Amir.

Dan akhirnya latihanpun dimulai,...latihan yang melelahkan. Kami melakukannya rutin setiap hari Rabu-Sabtu, sore hari setelah pulang sekolah. Hmm..waktu bermain bola pun jadi hilang.

Aku habis sholat Ashar di musholah bareng Deka. Dia dari tadi ngomongin masalah drama mulu, seneng banget kayaknya dia jadi Panglima kerajaan. Hmm..

Di depan kelas ada Sesyl dan Amir, sepertinya mereka latihan beladiri atau semacamnya. Mungkin untuk keperluan drama. Amir memang jagoan pencak silat. Gak perlu tampang ganteng buat jadi ketua kelas dan dikagumi cewek-cewek sekelas. Itulah Amir, dia punya wibawa dan kharisma. Benernya aku lebih ganteng dari dia tapi napa mereka lebih suka dengan dengan Amir. Ya, aku tak sepintar dia, tak sebaik dia, tak sealim dia..

Setelah latihan beberapa adegan kami istirahat. Kusandarkan kepalaku di kursi kayu, keras. Mataku sudah mengantuk, aku menguap beberapa kali. Kulihat Sesyl lagi ngobrol dengan Deka. Ganjen juga ni temenku satu, Deka. Kayaknya dia suka ni ma Sesyl. Sesyl, aku pernah dekat dengan dia waktu kelas satu, tapi akhirnya jadi kacau saat Chika, mantanku itu mulai mengganggu hidupku. Sejak putus dari Chika aku gak mau pacaran lagi, sepertinya itu bukan hal yang penting untuk dilakukan saat ini. Untuk apa cewek??gak butuh, setidaknya saat ini.

Kukayuh sepedaku, pulang. Langit senja mulai menampakkan indahnya. Ada warna oranye samar-samar di awan-awan. Tuhan tidak pernah lupa memberikan keindahan buat kami hambaNya. Rumahku tak begitu jauh dari sekolah. Akhirnya sampai juga di rumah sederhanaku. Seorang gadis tersenyum padaku. Tetanggaku, temanku sekolahku, Sesyl. Dia baru turun dari becaknya. Rumahnya tepat persis di depan rumahku.

Latihan drama sudah sekitar enam kali. Aku berdiri berhadapan dengan Sesyl. Ini adegan Panglima pemberontak bertarung dengan Mulan..eh Wulan. Aku memegang sebuah pedang kayu, dia memegang sebuah tongkat. Sejenak kami bengong tak tahu apa yang harus dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun