PENDAHULUAN
Latar Belakang
One Belt One Road (OBOR) merupakan salah satu strategi kebijakan pembangunan ekonomi Tiongkok yang diluncurkan oleh Presiden Xi Jinping yang kemudian mengalami perubahan menjadi Belt Road Initiative (BRI). Strategi ini terbentuk berdasarkan inspirasi dari perekonomian dan politik negara Tiongkok dengan membangun kembali kesuksesan sejarah jalur sutra (silk road).
Sejak tahun 2016, Indonesia sepakat untuk melakukan kerjasama dengan proyek kebijakan Belt Road Initiative (BRI) Tiongkok. Dengan berbagai bentuk pendanaan dan transfer tenaga kerja dari Tiongkok dalam pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan ekonomi politik dalam negeri di Indonesia.
Pada tahun 2019, pemerintah Indonesia menandatangani 23 Memorandum of Understanding dalam agenda acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) II Belt Road Initiative (BRI) di Beijing. Hubungan yang terjalin antara Beijing dengan beberapa provinsi di Indonesia memang bukanlah hal yang baru. Hubungan Tingkok dan Indonesia diketahui semakin intens dan bentuk kerjasamanya pun semakin beragam. Saat ini terdapat beberapa mega proyek Beijing yang sedang dilakukan dengan bekerjasama langsung dengan beberapa provinsi di Indonesia. Di antaranya adalah proyek pengembangan Kawasan Ekonomi Khsusus (KEK) di Bintan Kepulauan Riau dan Bitung Sulawesi Utara, proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Bengkulu, pembangunan jalan tol lintas sumatera di Sumatera Utara hingga kerjasama pengembangan pariwisata di Bali dan NTB. Perkembangan di atas menunjukkan bahwa Tiongkok dalam hubungannya dengan Indonesia tidak hanya terlibat dengan pemerintah pusat di Jakarta, melainkan juga dengan pemerintah daerah. Sebuah artikel yang diterbitkan oleh The Diplomat yang berjudul China's Growing Ties with Indonesian
Provinces memaparkan bahwa mendekatkan diri dengan provinsi-provinsi di Indonesia merupakan bagian dari tujuan diplomasi Tiongkok.
Henrik Hallgren dalam Security and Economy on the Belt and Road: Three Country Case Studies memaparkan bahwa para ahli percaya ada motif lain dari proyek BRI yang dilakukan Beijing terhadap beberapa negara, seperti motif politik, geo-ekonomi dan keamanan. Bahkan melihat perkembangannya di beberapa negara Asia, dalam artikel tersebut mengungkapkan beberapa pengamat curiga bahwa BRI akan menjadi bentuk lain dari kekuatan neo-kolonial dan versi modern kolonialisme.
Terkait tudingan neokolonialisme, pada tahun 2018 Perdana Menteri (PM) Malaysia saat itu Mahathir Mohamad membatalkan proyek-proyek yang didanai oleh Tiongkok di beberapa negara bagian Malaysia. Di saat yang sama, Ia juga memperingatkan akan versi baru dari neokolonialisme.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah "Bagaimana Indonesia dapat mengantisipasi ancaman debt trap dan neokolonialisme dalam kerjasama dengan Tiongkok melalui BRI?"
Kerangka Teori
Kepentingan Nasional
Dalam konteks pembuatan kebijakan luar negeri, Hudson (2013:136) menyoroti bahwa identitas nasional berperan dalam membentuk motivasi domestik yang memengaruhi keputusan kebijakan luar negeri, yang sering disebut sebagai kepentingan nasional. Secara lebih spesifik, pengaruh ideologi dan kepentingan nasional terhadap kebijakan luar negeri dapat dipahami melalui analisis berbagai faktor yang mempengaruhi proses tersebut, seperti sifat ideologi, kepentingan yang terlibat, sistem politik internasional, dan proses pembuatan kebijakan itu sendiri (Levi, 1970:30). Dengan menganalisis faktor-faktor ini, dapat terlihat bagaimana kepentingan nasional memainkan peran dominan dalam perumusan kebijakan suatu negara.
Salah satu contohnya adalah kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok, sebuah proyek besar yang diluncurkan oleh pemerintah Tiongkok untuk memperkuat posisinya sebagai mitra strategis negara-negara di dunia melalui pembangunan infrastruktur. Proyek ini juga berfungsi untuk menghadapi tekanan dari negara-negara lain, terutama dalam menghubungkan kepentingan Tiongkok dengan negara-negara di Asia, merombak dinamika kekuatan regional, serta menciptakan kekuatan kontra-hegemoni yang menantang tatanan liberal Barat. Selain itu, BRI berpotensi mendirikan institusi internasional baru yang sejalan dengan kepentingan ekonomi dan politik Tiongkok. Bagi tatanan global, kesuksesan proyek ini dapat membuka jalan bagi kerangka kerjasama global baru, di mana keterlibatan Tiongkok bisa menahan pengaruh elit yang ada atau bahkan memicu perubahan besar.
Neokolonialisme adalah bentuk kolonialisme atau imperialisme modern, di mana kapitalisme membuat negara-negara besar secara tidak langsung "mengendalikan" negara-negara yang lebih kecil. Hubungan yang awalnya berbentuk kerjasama berubah menjadi dominasi, dengan negara yang lebih lemah terpaksa merelakan sebagian kedaulatannya untuk diintervensi oleh negara yang lebih kuat. Bentuk intervensi ini sering kali muncul melalui kerjasama dan investasi, namun dengan posisi tawar yang tidak seimbang. Negara pemberi investasi biasanya memaksakan syarat dan ketentuan yang menguntungkan mereka, sehingga negara penerima terpaksa mengikuti aturan yang ditetapkan.
Istilah "neokolonialisme" pertama kali diperkenalkan oleh Kwame Nkrumah, presiden pertama Ghana pasca-kemerdekaan, dan menjadi topik yang dibahas dalam karya-karya Jean-Paul Sartre. Neokolonialisme merupakan bagian dari teori kritis yang mengkritik sisi gelap neoliberalisme, terutama dalam konteks hubungan antarnegara dengan kekuatan yang tidak seimbang, di mana kerjasama semacam ini cenderung menghasilkan ketergantungan sepihak (dependensi).
PEMBAHASAN
Belt Road Initiative (BRI) Tiongkok
Proyek Belt and Road Initiative (BRI) pertama kali diluncurkan oleh Presiden Xi Jinping pada tahun 2013 dan menjadi salah satu ambisi besar di bawah kepemimpinannya. Xi Jinping memperkenalkannya dalam dua kesempatan terpisah pada September 2013 di Kazakhstan untuk komponen darat (Silk Road Economic Belt) dan Oktober 2013 di Indonesia untuk komponen laut (21st Century Maritime Silk Road). Proyek ini merupakan salah satu kebijakan luar negeri utama Tiongkok yang bertujuan untuk memperkuat peran negara tersebut dalam ekonomi dan geopolitik global, memperkuat jaringan infrastruktur, perdagangan, dan investasi antara Tiongkok dengan negara-negara berkembang, khususnya di kawasan Eurasia (Eropa dan Asia), serta menargetkan 4,4 miliar orang atau 63% dari populasi global dan mencakup 30% dari PDB dunia. Proyek ini juga berfokus pada wilayah-wilayah yang menguasai sumber energi dunia
Sebagai bagian dari BRI, Tiongkok berkomitmen memberikan bantuan dalam pembangunan infrastruktur di negara-negara yang ikut berpartisipasi. Inisiatif ini dijalankan melalui dua jalur utama: The Silk Road Economic Belt (pembangunan jalur darat) dan The Maritime Silk Road (pembangunan jalur laut). The Silk Road Economic Belt meliputi jalur daratan yang menghubungkan Tiongkok dengan Asia Tengah, Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah, hingga Eropa, yang didukung oleh jaringan rel, jalan raya, dan pipa baru. Sementara itu, The Maritime Silk Road abad ke-21 menghubungkan Tiongkok dengan Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika, Timur Tengah, dan Eropa melalui jalur laut.
Tujuan utama BRI adalah memperkuat fasilitas perdagangan global dengan menghapus hambatan dagang (trade barriers) dan menerapkan kebijakan untuk mengurangi biaya perdagangan dan investasi. Menurut data dari Tiongkok, negara ini telah diestimasi telah menginvestasikan sebesar USD 50 miliar di 20 negara yang terletak di sepanjang rute Jalur Sutra. Dalam pidatonya pada Belt and Road Forum (BRF) di Beijing, 14 Mei 2017, Presiden Xi Jinping secara tegas memaparkan visinya untuk membangun Jalur Sutra Ekonomi dan Jalur Sutra Maritim abad ke-21, memperkuat janji Tiongkok untuk suksesnya megaproyek ini di hadapan lebih dari 100 perwakilan negara.
Kerjasama Belt Road Initiative (BRI) Tiongkok dengan Indonesia
Tiongkok melalui kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) mengusung prinsip kerja sama damai (peaceful cooperation) dan saling menguntungkan (win-win cooperation). Mengingat skala proyek BRI yang sangat besar dan kebutuhan modal yang signifikan, Indonesia dipandang sebagai salah satu mitra strategis, terutama karena BRI menawarkan pinjaman untuk pengembangan infrastruktur. Indonesia, yang berkomitmen untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, menyambut baik tawaran Tiongkok ini sebagai alternatif pembiayaan.
Pada Mei 2017, Presiden Joko Widodo menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRI pertama di Beijing. Kehadiran ini menandai keterlibatan resmi Indonesia dalam inisiatif tersebut. Tujuan utama BRI adalah meningkatkan konektivitas sub-regional, regional, dan antar-regional melalui pengembangan infrastruktur seperti jalan tol, rel kereta api, dan pelabuhan. Inisiatif ini sejalan dengan program Global Maritime Fulcrum (Poros Maritim Dunia) yang diluncurkan oleh Presiden Jokowi pada 2014, yang bertujuan memperkuat sektor maritim Indonesia dan menjadikannya pusat aktivitas maritim dunia. Hal ini juga selaras dengan ambisi Indonesia untuk memperkuat posisi sebagai negara middle power yang semakin berpengaruh di kawasan Asia Pasifik. Proyek maritim Indonesia, termasuk pembangunan 24 pelabuhan dengan total biaya sekitar 39,5 triliun rupiah dan pembelian 609 kapal senilai 57,31 triliun rupiah, sangat memerlukan dukungan finansial.
Di sinilah kerjasama dengan Tiongkok melalui BRI menjadi sangat relevan. Pemerintah Indonesia juga menawarkan proyek investasi seperti pembangunan jalan tol dan jalur kereta api kepada Tiongkok. Namun, partisipasi Indonesia dalam BRI menuai sejumlah kritik. Salah satu kritik yang paling menonjol adalah terkait dengan kebijakan luar negeri Indonesia yang dianggap mulai condong ke Tiongkok, sehingga berpotensi mengaburkan prinsip bebas aktif yang telah menjadi fondasi diplomasi Indonesia sejak lama. Kritikus menilai bahwa kerjasama ini mengurangi fleksibilitas diplomatik Indonesia dalam menghadapi persaingan kekuatan besar, terutama ketika mempertimbangkan ketegangan yang baru-baru ini terjadi terkait klaim Tiongkok atas perairan Natuna yang termasuk dalam peta nine-dash line, meskipun klaim tersebut melanggar UNCLOS (Konvensi PBB tentang Hukum Laut).
Lebih jauh, ada kekhawatiran bahwa proyek BRI dapat menjadi bagian dari strategi "debt-trap diplomacy" atau jebakan utang, di mana negara-negara mitra yang kesulitan membayar utang terpaksa menyerahkan aset strategis kepada Tiongkok. Kasus Sri Lanka sering menjadi contoh dalam argumen ini, di mana pelabuhan Hambantota diserahkan kepada Tiongkok setelah negara tersebut tidak mampu membayar utangnya. Meskipun demikian, konsep ini masih diperdebatkan. Beberapa negara mitra BRI, seperti Laos dan Pakistan, memang menghadapi tantangan utang, namun negara-negara lain justru mendapatkan manfaat signifikan dari investasi infrastruktur tanpa kehilangan kedaulatan atau aset strategis mereka.
Alternatif lain untuk kerjasama infrastruktur yang dapat dipertimbangkan oleh Indonesia termasuk Trans-Pacific Partnership (TPP) yang diprakarsai Amerika Serikat, Asian Development Bank (ADB) yang didukung Jepang, dan inisiatif Master Plan for ASEAN Connectivity (MPAC) yang dikeluarkan oleh ASEAN. MPAC 2025 memiliki tujuan yang mirip dengan BRI, yaitu meningkatkan konektivitas regional dengan fokus pada integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Sebagai salah satu pemimpin di ASEAN, Indonesia memiliki kepentingan untuk mempertahankan kerjasama regional sambil menyeimbangkan hubungan dengan kekuatan-kekuatan besar seperti Tiongkok dan Amerika Serikat.
Ancaman Debt Trap dalam Kebijakan BRI Tiongkok
Selama beberapa tahun terakhir, Indonesia memang mengalami defisit perdagangan yang signifikan dengan Tiongkok. Banyak yang khawatir bahwa partisipasi Indonesia dalam Belt and Road Initiative (BRI) akan memperburuk defisit ini karena proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai oleh Tiongkok mungkin akan melibatkan penggunaan komponen, suku cadang, dan peralatan yang diimpor dari negara tersebut. Kekhawatiran ini tampaknya masuk akal tetapi perlu dilihat secara lebih mendalam. Pertama, terlepas dari sumber pembiayaan infrastruktur, impor suku cadang kemungkinan akan meningkat dalam proyek-proyek besar karena Indonesia belum memiliki industri yang cukup untuk memproduksi banyak dari komponen tersebut di dalam negeri.
Dengan atau tanpa BRI, impor tetap akan menjadi bagian dari pembangunan infrastruktur. Kedua, neraca perdagangan seharusnya tidak hanya dilihat sebagai hubungan bilateral antara Indonesia dan Tiongkok. Perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas—melibatkan neraca perdagangan Indonesia dengan seluruh dunia. Sebagai negara yang sedang berkembang, peningkatan impor barang modal seperti peralatan infrastruktur dapat dilihat sebagai investasi jangka panjang yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia di masa depan. Peningkatan daya saing ini dapat memperbaiki neraca perdagangan secara keseluruhan dalam jangka panjang, meskipun pada tahap awal, mungkin terjadi defisit yang lebih besar.
Mengenai ketergantungan pada teknologi dari satu negara, diversifikasi sumber teknologi adalah langkah penting untuk mengurangi risiko ketergantungan yang berlebihan pada satu negara, dalam hal ini Tiongkok. Indonesia perlu menjalin kerjasama dengan berbagai negara dan memanfaatkan teknologi dari berbagai sumber guna menjaga keseimbangan teknologi dan mengurangi potensi risiko strategis. Selain itu, ada kekhawatiran terkait beban fiskal yang mungkin dihadapi Indonesia dari proyek-proyek besar BRI. Dalam beberapa tahun terakhir, utang pemerintah Indonesia telah meningkat lebih dari 40 persen, yang menimbulkan kekhawatiran tentang kemampuan pemerintah mengelola risiko utang, terutama karena penerimaan pajak Indonesia yang relatif rendah (kurang dari 11 persen dari PDB). Hal ini menyebabkan defisit fiskal yang terus-menerus, di mana pemerintah harus meminjam dana baru untuk menutupi pembayaran bunga utang yang sudah ada. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur yang intensif dapat meningkatkan beban utang jika tidak dikelola dengan hati-hati.
Dalam kerjasama BRI, pemerintah Indonesia telah menerapkan skema Business to Business (B2B), di mana proyek-proyek infrastruktur dilakukan oleh perusahaan-perusahaan, bukan pemerintah secara langsung. Tujuannya adalah untuk meminimalkan risiko gagal bayar dan memastikan bahwa utang yang timbul dari proyek-proyek ini tidak dihitung sebagai utang negara. Namun, skema ini tetap memiliki kelemahan, terutama karena keterlibatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah contoh di mana BUMN Indonesia terlibat, meskipun seharusnya proyek tersebut bersifat B2B. Karena BUMN adalah perusahaan milik negara, utang yang diambil oleh BUMN tetap menjadi tanggung jawab pemerintah secara tidak langsung. Meskipun strategi B2B dirancang untuk mengurangi risiko fiskal, kenyataannya masih ada potensi risiko bagi Indonesia jika tidak hati-hati dalam mengelola kerjasama ini. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk tetap waspada dan menyusun strategi mitigasi risiko yang tepat dalam proyek-proyek BRI agar tidak terjebak dalam jebakan utang yang dapat merugikan di masa depan.
Ancaman Neokolonilaisme Pemerintah Tiongkok terhadap Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, isu debt trap diplomacy yang ditujukan kepada Tiongkok kian berkembang. Hal ini merujuk pada dugaan bahwa Tiongkok memberikan pinjaman atau investasi besar-besaran kepada negara-negara berkembang yang kesulitan membayar kembali, sehingga mereka kehilangan kedaulatan dan dipaksa mengikuti kebijakan yang ditentukan oleh Tiongkok. Contoh-contoh yang sering dikemukakan adalah Sri Lanka, Pakistan, dan beberapa negara di Afrika, di mana Tiongkok mengambil alih pelabuhan atau infrastruktur penting sebagai ganti dari utang yang tak mampu dibayar oleh negara-negara tersebut. Namun, meski tuduhan ini relevan di beberapa kasus, penting untuk menganalisis situasi secara lebih mendalam dan sesuai dengan konteks Indonesia.
BRI dan Risiko Ketergantungan Ekonomi Tiongkok melalui inisiatif Belt and Road Initiative (BRI) telah memberikan pinjaman besar kepada banyak negara, termasuk Indonesia. Meski terdapat kekhawatiran bahwa BRI akan memaksa Indonesia berutang besar kepada Tiongkok, Indonesia sebenarnya telah menerapkan beberapa mekanisme untuk mengurangi risiko ini, termasuk menggunakan skema Business to Business (B2B) yang melibatkan perusahaan swasta, bukan langsung antara pemerintah. Namun, meski skema ini bisa mengurangi potensi risiko fiskal, keterlibatan BUMN dalam proyek BRI, seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, menunjukkan bahwa risiko terhadap beban utang negara tetap ada, karena BUMN adalah entitas milik negara.
Debt Trap Diplomacy: Apakah Indonesia Rentan? Kasus Sri Lanka, di mana pelabuhan Hambantota diambil alih oleh Tiongkok setelah negara tersebut gagal membayar utang, sering dijadikan contoh utama dari debt trap diplomacy. Namun, penting dicatat bahwa Indonesia tidak berada dalam situasi yang sama. Sebagai ekonomi yang lebih besar dengan kapasitas fiskal yang lebih beragam, Indonesia lebih mampu mengelola pinjaman asing. Namun, Indonesia tetap harus berhati-hati terhadap risiko ketergantungan yang berlebihan pada satu sumber pembiayaan asing dan harus memastikan transparansi serta ketahanan dalam pengelolaan utang.
Diversifikasi dan Kedaulatan Ekonomi Indonesia sebaiknya menghindari ketergantungan teknologi dan bahan baku dari satu negara, termasuk Tiongkok. Diversifikasi sumber teknologi dan investasi adalah langkah penting untuk menjaga kedaulatan ekonomi dan menghindari ketergantungan pada satu kekuatan besar. Jika tidak, ada risiko bahwa Indonesia akan kehilangan kemandirian dalam menentukan kebijakan ekonominya di masa depan.
Neokolonialisme dan Pengaruh Budaya Selain ancaman dalam bentuk ekonomi, ada juga kekhawatiran bahwa dominasi Tiongkok dalam ekonomi dapat disertai dengan dominasi budaya dan pasar. Globalisasi telah membawa arus barang, jasa, dan budaya Tiongkok ke banyak negara. Meskipun hal ini sering dilihat sebagai fenomena ekonomi biasa, ada kekhawatiran bahwa dominasi ekonomi bisa berujung pada pengaruh politik dan budaya yang lebih besar. Hal ini juga dapat mengikis nilai-nilai lokal dan melemahkan nasionalisme.
Asimetris Ekonomi: Sebuah Ancaman? Kerjasama ekonomi antara Tiongkok dan Indonesia juga bisa dilihat sebagai bentuk "perang asimetris" di mana negara yang lebih kuat menggunakan kekuatan ekonominya untuk mendapatkan pengaruh politik di negara yang lebih lemah. David L. Buffaloe dalam “Defining Asymmetric Warfare” menjelaskan bahwa perang asimetris bukan hanya tentang kekuatan militer, tetapi juga tentang ancaman dalam bentuk operasi ekonomi, kultural, dan pembiayaan yang bisa memperlemah suatu negara secara perlahan. Meskipun Tiongkok belum menunjukkan tanda-tanda langsung melakukan hal ini terhadap Indonesia, penting untuk tetap waspada terhadap potensi efek jangka panjang.
Tenaga Kerja Asing dan Regulasi Turnkey Project Regulasi terkait Tenaga Kerja Asing (TKA) Tiongkok dan penggunaan bahan baku dari Tiongkok dalam proyek-proyek BRI di Indonesia juga menjadi topik sensitif. Indonesia perlu memastikan bahwa setiap proyek yang melibatkan Tiongkok mematuhi regulasi ketenagakerjaan dan mengutamakan transfer teknologi yang benar-benar bermanfaat bagi industri lokal. Jika tidak, proyek ini berisiko hanya menguntungkan Tiongkok tanpa memberikan manfaat yang setara bagi Indonesia.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan oleh penulis, kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok terhadap Indonesia membawa sejumlah implikasi penting. Meski BRI menawarkan peluang bagi pembangunan infrastruktur, ada potensi risiko yang perlu diantisipasi, termasuk ancaman debt trap atau jebakan utang dan potensi neokolonialisme, seperti yang telah terjadi di beberapa negara lain. Kebijakan BRI bukan sekadar program ekonomi, tetapi juga diduga memiliki motif geopolitik dan geo-ekonomi yang lebih luas, termasuk penguasaan sumber daya alam serta pengaruh dalam kebijakan politik dan ekonomi negara mitra.
Sejak diperkenalkan oleh Presiden Xi Jinping, terdapat spekulasi terkait tujuan sebenarnya dari proyek BRI. Banyak ahli percaya bahwa proyek ini tidak hanya didorong oleh kepentingan bisnis semata, tetapi juga untuk memperkuat pengaruh Tiongkok secara global. Motif yang mendasari BRI meliputi faktor ekonomi, keuangan, keamanan, diplomatik, hingga geopolitik, yang menjadikan proyek ini bagian dari strategi besar Tiongkok dalam meningkatkan kekuatan globalnya. Ketidakjelasan peta resmi dan jadwal pelaksanaan BRI juga memicu kecurigaan bahwa inisiatif ini bisa menjadi bentuk modern dari sistem tributary, atau bahkan alat bagi Tiongkok untuk memperkuat stabilitas dan keamanan rezimnya di dalam negeri.
Spekulasi ini menciptakan citra negatif terhadap BRI, dengan banyak pihak yang khawatir bahwa inisiatif tersebut merupakan bentuk lain dari kekuatan neokolonial. Di sisi lain, kebangkitan Tiongkok juga dipandang sebagai ancaman bagi hegemoni kekuatan global seperti Amerika Serikat dan Jepang, yang menambah kompleksitas geopolitik. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus waspada terhadap risiko overdependence pada Tiongkok. Indonesia perlu menyiapkan langkah-langkah strategis dan rencana kontingensi untuk menghadapi kemungkinan terburuk, seperti gagal bayar utang dalam kerjasama proyek BRI. Penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) dan pengambilalihan infrastruktur kritis oleh pihak asing adalah ancaman nyata yang dapat terjadi jika Indonesia tidak mampu mengelola utang dan kerjasama ini dengan baik. Mengurangi ketergantungan pada Tiongkok dan memperkuat kedaulatan ekonomi adalah langkah penting untuk menjaga stabilitas dan kemajuan nasional.
Saran
Saran untuk Pemerintah Indonesia
-Diversifikasi Sumber Pembiayaan:
Pemerintah Indonesia sebaiknya mencari sumber pembiayaan alternatif untuk proyek infrastruktur, seperti kerja sama dengan negara-negara lain atau lembaga keuangan internasional yang tidak memiliki motif geopolitik yang sama dengan Tiongkok.
-Penguatan Kebijakan Fiskal:
Membangun kebijakan fiskal yang lebih kuat untuk meningkatkan pendapatan domestik, sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, termasuk utang dari proyek BRI.
-Perjanjian yang Menguntungkan:
Dalam setiap perjanjian kerja sama, Indonesia harus menegosiasikan ketentuan yang lebih menguntungkan, termasuk pengaturan terkait pemakaian sumber daya alam dan tenaga kerja lokal.
-Meningkatkan Kapasitas Pengawasan:
Meningkatkan kapasitas pengawasan terhadap proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai oleh BRI untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan penghindaran potensi debt trap.
-Membangun Infrastruktur Berkelanjutan:
Memastikan bahwa proyek infrastruktur yang dikerjakan melalui BRI mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan dan tidak mengorbankan lingkungan atau kesejahteraan masyarakat lokal.
-Edukasi dan Penyuluhan:
Melakukan edukasi kepada masyarakat mengenai risiko dan manfaat dari kerja sama BRI untuk meningkatkan kesadaran akan potensi ancaman neokolonialisme dan penguasaan sumber daya alam.
-Peningkatan Diplomasi Ekonomi:
Memperkuat diplomasi ekonomi dengan negara-negara lain untuk menciptakan jaringan dukungan dalam menghadapi potensi ancaman dari ketergantungan pada Tiongkok.
-Rencana Kontingensi:
Menyusun rencana kontingensi yang jelas untuk menghadapi kemungkinan terburuk, seperti gagal bayar utang, termasuk opsi renegosiasi utang atau restrukturisasi.
Saran untuk Penelitian Selanjutnya
-Studi Komparatif:
Melakukan studi komparatif antara Indonesia dan negara lain yang terlibat dalam BRI untuk memahami dampak jangka panjang dari proyek tersebut.
-Analisis Mendalam tentang Sumber Daya Alam:
Penelitian lebih lanjut mengenai dampak spesifik penguasaan sumber daya alam oleh Tiongkok dalam konteks BRI dan bagaimana hal ini mempengaruhi ekonomi lokal dan nasional.
-Kaji Ulang Kebijakan Energi:
Meneliti kebijakan energi Indonesia dalam konteks BRI untuk mengevaluasi bagaimana ketergantungan pada teknologi dan investasi Tiongkok dapat memengaruhi sektor energi nasional.
-Dampak Sosial dan Lingkungan:
Melakukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak sosial dan lingkungan dari proyek-proyek BRI untuk mengevaluasi apakah pembangunan tersebut berkelanjutan dan dapat diterima oleh masyarakat lokal.
REFERENSI
Jurnal & Artikel Ilmiah
Alunaza, H. (2021). Perspektif Baru Politik Luar Negeri China dalam Konstelasi Politik Global: Resensi Buku. Indonesian Perspective, 6(1). https://doi.org/10.14710/ip.v6i1.37516
Andika, M. T. (2016) An Analysis of Indonesia Foreign Policy Under Jokowi’s Pro-People Diplomacy. Indonesian Perspective 1(2), pp. 93-105.
Buffaloe, David L. (2006) Defining Asymmetric Warfare, The Institute Land Warfare Papers (AUSA).
Damuri, Y. R., Perkasa, V., Atje, R., & Hirawan, F. (2019). The Belt and Road Initiative in Indonesia: Importance, Concerns and Issues on the Implementation. In PERCEPTIONS AND READINESS OF INDONESIA TOWARDS THE BELT AND ROAD INITIATIVE: UNDERSTANDING LOCAL PERSPECTIVES, CAPACITY, AND GOVERNANCE (pp. 9–21). Centre for Strategic and International Studies. http://www.jstor.org/stable/resrep25409.5
Hudson, V.M. (2013). Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary Theory. Lanham: Rowman & Littlefiled.
Khaerani Bannati, et.al, (2019). Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Belt and Road Initiative (BRI) Republik Rakyat Tiongkok. Prosiding Senas POLHI ke-2 Tahun 2019.
SM Palamani. (2022). Ancaman Asimaetris dalam Kerjasama Belt and Road Initiative di Indonesia. Jurnal Peperangan Asimetris. Volume 8, Nomor 1 2022.
Sriyanto, Nanto. (2018). Global Maritime Fulcrum Indonesia-China Growing Relations and Indonesia Middlepowermentsh ip in East Asia Region. Jurnal Kajian Wilayah Vol. 9 No. 1 2018.
Starte, Jaean paul. (1964). Colonialism and Neocolonialism.
Yudilla, A. (2019). Kerjasama Indonesia Cina Dalam Belt and Road Initiative Analisa Peluang Dan Ancaman Untuk Indonesia. Journal of Diplomacy and International Studies, 2(01), 52-65.
Media Online
https://www.antaranews.com/berita/844931/luhut-indonesia-siapkan-empat-koridor-proyek-belt-and-road-initiative
https://fokus.tempo.co/read/1189679/indonesia-ikut-one-belt-one-road-cina-untung-atau-rugi
https://komahi.uai.ac.id/kelanjutan-hubungan-amerika-serikat-dan-china-di-tangan-biden/
https://www.pinterpolitik.com/in-depth/siasat-tiongkok-dekati-provinsi/
https://tirto.id/q/one-belt-one-road-LG?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Lowkeyword
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H