Mengenai ketergantungan pada teknologi dari satu negara, diversifikasi sumber teknologi adalah langkah penting untuk mengurangi risiko ketergantungan yang berlebihan pada satu negara, dalam hal ini Tiongkok. Indonesia perlu menjalin kerjasama dengan berbagai negara dan memanfaatkan teknologi dari berbagai sumber guna menjaga keseimbangan teknologi dan mengurangi potensi risiko strategis. Selain itu, ada kekhawatiran terkait beban fiskal yang mungkin dihadapi Indonesia dari proyek-proyek besar BRI. Dalam beberapa tahun terakhir, utang pemerintah Indonesia telah meningkat lebih dari 40 persen, yang menimbulkan kekhawatiran tentang kemampuan pemerintah mengelola risiko utang, terutama karena penerimaan pajak Indonesia yang relatif rendah (kurang dari 11 persen dari PDB). Hal ini menyebabkan defisit fiskal yang terus-menerus, di mana pemerintah harus meminjam dana baru untuk menutupi pembayaran bunga utang yang sudah ada. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur yang intensif dapat meningkatkan beban utang jika tidak dikelola dengan hati-hati.
Dalam kerjasama BRI, pemerintah Indonesia telah menerapkan skema Business to Business (B2B), di mana proyek-proyek infrastruktur dilakukan oleh perusahaan-perusahaan, bukan pemerintah secara langsung. Tujuannya adalah untuk meminimalkan risiko gagal bayar dan memastikan bahwa utang yang timbul dari proyek-proyek ini tidak dihitung sebagai utang negara. Namun, skema ini tetap memiliki kelemahan, terutama karena keterlibatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah contoh di mana BUMN Indonesia terlibat, meskipun seharusnya proyek tersebut bersifat B2B. Karena BUMN adalah perusahaan milik negara, utang yang diambil oleh BUMN tetap menjadi tanggung jawab pemerintah secara tidak langsung. Meskipun strategi B2B dirancang untuk mengurangi risiko fiskal, kenyataannya masih ada potensi risiko bagi Indonesia jika tidak hati-hati dalam mengelola kerjasama ini. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk tetap waspada dan menyusun strategi mitigasi risiko yang tepat dalam proyek-proyek BRI agar tidak terjebak dalam jebakan utang yang dapat merugikan di masa depan.
Ancaman Neokolonilaisme Pemerintah Tiongkok terhadap Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, isu debt trap diplomacy yang ditujukan kepada Tiongkok kian berkembang. Hal ini merujuk pada dugaan bahwa Tiongkok memberikan pinjaman atau investasi besar-besaran kepada negara-negara berkembang yang kesulitan membayar kembali, sehingga mereka kehilangan kedaulatan dan dipaksa mengikuti kebijakan yang ditentukan oleh Tiongkok. Contoh-contoh yang sering dikemukakan adalah Sri Lanka, Pakistan, dan beberapa negara di Afrika, di mana Tiongkok mengambil alih pelabuhan atau infrastruktur penting sebagai ganti dari utang yang tak mampu dibayar oleh negara-negara tersebut. Namun, meski tuduhan ini relevan di beberapa kasus, penting untuk menganalisis situasi secara lebih mendalam dan sesuai dengan konteks Indonesia.
BRI dan Risiko Ketergantungan Ekonomi Tiongkok melalui inisiatif Belt and Road Initiative (BRI) telah memberikan pinjaman besar kepada banyak negara, termasuk Indonesia. Meski terdapat kekhawatiran bahwa BRI akan memaksa Indonesia berutang besar kepada Tiongkok, Indonesia sebenarnya telah menerapkan beberapa mekanisme untuk mengurangi risiko ini, termasuk menggunakan skema Business to Business (B2B) yang melibatkan perusahaan swasta, bukan langsung antara pemerintah. Namun, meski skema ini bisa mengurangi potensi risiko fiskal, keterlibatan BUMN dalam proyek BRI, seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, menunjukkan bahwa risiko terhadap beban utang negara tetap ada, karena BUMN adalah entitas milik negara.
Debt Trap Diplomacy: Apakah Indonesia Rentan? Kasus Sri Lanka, di mana pelabuhan Hambantota diambil alih oleh Tiongkok setelah negara tersebut gagal membayar utang, sering dijadikan contoh utama dari debt trap diplomacy. Namun, penting dicatat bahwa Indonesia tidak berada dalam situasi yang sama. Sebagai ekonomi yang lebih besar dengan kapasitas fiskal yang lebih beragam, Indonesia lebih mampu mengelola pinjaman asing. Namun, Indonesia tetap harus berhati-hati terhadap risiko ketergantungan yang berlebihan pada satu sumber pembiayaan asing dan harus memastikan transparansi serta ketahanan dalam pengelolaan utang.
Diversifikasi dan Kedaulatan Ekonomi Indonesia sebaiknya menghindari ketergantungan teknologi dan bahan baku dari satu negara, termasuk Tiongkok. Diversifikasi sumber teknologi dan investasi adalah langkah penting untuk menjaga kedaulatan ekonomi dan menghindari ketergantungan pada satu kekuatan besar. Jika tidak, ada risiko bahwa Indonesia akan kehilangan kemandirian dalam menentukan kebijakan ekonominya di masa depan.
Neokolonialisme dan Pengaruh Budaya Selain ancaman dalam bentuk ekonomi, ada juga kekhawatiran bahwa dominasi Tiongkok dalam ekonomi dapat disertai dengan dominasi budaya dan pasar. Globalisasi telah membawa arus barang, jasa, dan budaya Tiongkok ke banyak negara. Meskipun hal ini sering dilihat sebagai fenomena ekonomi biasa, ada kekhawatiran bahwa dominasi ekonomi bisa berujung pada pengaruh politik dan budaya yang lebih besar. Hal ini juga dapat mengikis nilai-nilai lokal dan melemahkan nasionalisme.
Asimetris Ekonomi: Sebuah Ancaman? Kerjasama ekonomi antara Tiongkok dan Indonesia juga bisa dilihat sebagai bentuk "perang asimetris" di mana negara yang lebih kuat menggunakan kekuatan ekonominya untuk mendapatkan pengaruh politik di negara yang lebih lemah. David L. Buffaloe dalam “Defining Asymmetric Warfare” menjelaskan bahwa perang asimetris bukan hanya tentang kekuatan militer, tetapi juga tentang ancaman dalam bentuk operasi ekonomi, kultural, dan pembiayaan yang bisa memperlemah suatu negara secara perlahan. Meskipun Tiongkok belum menunjukkan tanda-tanda langsung melakukan hal ini terhadap Indonesia, penting untuk tetap waspada terhadap potensi efek jangka panjang.
Tenaga Kerja Asing dan Regulasi Turnkey Project Regulasi terkait Tenaga Kerja Asing (TKA) Tiongkok dan penggunaan bahan baku dari Tiongkok dalam proyek-proyek BRI di Indonesia juga menjadi topik sensitif. Indonesia perlu memastikan bahwa setiap proyek yang melibatkan Tiongkok mematuhi regulasi ketenagakerjaan dan mengutamakan transfer teknologi yang benar-benar bermanfaat bagi industri lokal. Jika tidak, proyek ini berisiko hanya menguntungkan Tiongkok tanpa memberikan manfaat yang setara bagi Indonesia.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan oleh penulis, kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok terhadap Indonesia membawa sejumlah implikasi penting. Meski BRI menawarkan peluang bagi pembangunan infrastruktur, ada potensi risiko yang perlu diantisipasi, termasuk ancaman debt trap atau jebakan utang dan potensi neokolonialisme, seperti yang telah terjadi di beberapa negara lain. Kebijakan BRI bukan sekadar program ekonomi, tetapi juga diduga memiliki motif geopolitik dan geo-ekonomi yang lebih luas, termasuk penguasaan sumber daya alam serta pengaruh dalam kebijakan politik dan ekonomi negara mitra.