Merasa kekuatan pasukan perang tidak seimbang dibanding dengan kekuatan musuh, Pu Sindok membuat strategi perang yang disebut "Lorong Parit". Sehingga pada saat terjadi perang, banyak prajurit musuh yang terjebak dan masuk ke dalam parit.Â
Akhirnya, kemenangan yang gilang-gemilang ada di pihak Pu Sindok akibat dibantu oleh rakyat sipil Srijayamerta di bawah komando Samgat Pu Anjukladang.
Selanjutnya, Pu Sindok bersama pengikutnya melanjutkan perjalanan ke Timur, menuju Desa Tawmlang, daerah Jombang di dekat Sungai Brantas. Di sana, Pu Sindok dinobatkan menjadi Raja Medang sebagai kelanjutan dari Kerajaan Mataram di Jawa Tengah dengan gelar "Sri Maharaja Pu Sindok Isana Wikrama Dharmotunggadewa".
Hanya, setelah pemerintahan Pu Sindok berjalan 8 tahun, istana kerajaan Medang dipindahkan ke Watugaluh, daerah Jombang juga, karena sering mendapat gangguan keamanan dari musuh dan dilanda banjir dari Sungai Brantas. Bersamaan perpindahan istana ke Watugaluh ini, Pu Sindok teringat atas jasa dari rakyat Srijayamerta ketika perang melawan prajurit Swarnadwipa Sriwijaya.Â
Pu Sindok memerintahkan kepada dua pejabat kerajaan, yaitu Pu Baliswara dan Pu Sahasra untuk membangun sebuah prasasti. Isi prasasti tentang pemberian hadiah kepada rakyat Srijayamerta agar dibebaskan dari kewajiban membayar pajak atau disebut "Swatantra". Sebuah prasasti yang kemudian disebut "Prasasti Anjukladang", adalah sebagai "jayastambha", simbol tugu kemenangan melawan musuh.Â
Dalam prasasti itu juga tertulis tentang perintah Pu Sindok agar Sri Jayamerta (Candi Lor) sebagai tempat persembahan kepada para dewa dan perintah tentang pemberian hadiah kepada rakyat sipil berupa emas dan kain.
Kemudian Prasasti Anjukladang yang di dalamnya tertulis angka 10 April 937 Masehi, ditetapkan sebagai hari jadi kabupaten Nganjuk. Dan nama Anjukladang berubah nama menjadi Nganjuk.
Dari jenis wayang, pengkarya menciptakan genre wayang baru, dari goresan tangannya sendiri, yaitu perpaduan antara wayang purwa dengan wayang madya. Kendati sama-sama berbahan dari kulit kerbau atau sapi, tampilan wayang sindok benar-benar berbeda dari purwa atau pun madya. Karena dalam cerita wayang purwa sendiri menceritakan kisah Pandawa dan Kurawa (mahabarata) hingga cerita parikesit (wayang madya). Padahal, di antara dua generasi pewayangan tersebut masih terdapat cerita wangsa-wangsa di Jawa, mulai Sanjaya, Syailendra, Isana, dan Darmawangsa Teguh.
"Wayang Sindok ini mengisi rumpang-rumpang yang sempat terlupakan, maka bentuk wayangnya harus berbeda dari wayang-wayang sebelum dan sesudahnya," kata Badar Alam.
Sedangkan nama-nama tokoh wayangnya, Badar Alam mengambil dari isi puluhan prasasti yang dikeluarkan pada masa Pu Sindok memerintah. Di antaranya, Prasasti Anjukladang, Turyyan, Linggasutan, Waharu, Sumbut, dan lain-lain.
"Yang terbanyak, nama-nama tokoh saya ambil dari Prasasti Anjukladang yang ditemukan di Candi Lor, karena di tempat ini, telah terjadi peristiwa besar berupa perang antara laskar Pu Sindok yang dibantu rakyat Srijayamerta melawan tentara Melayu," tegasnya.