NGANJUK - Merasa kuwalahan untuk meluruskan nilai-nilai sejarah kepada generasi muda, di Nganjuk ada salah seorang dalang nekat menciptakan jenis wayang baru, diberi nama "Wayang Sindok".Â
Dilihat dari namanya, wayang karya baru yang diciptakan oleh Badar Alam, (25) dalang asal Jalan Mastrip, Kelurahan Ganungkidul, Kecamatan/Kabupaten Nganjuk ini menceritakan tentang sejarah perjalanan Pu Sindok, ribuan tahun silam. Yaitu, seorang Raja Medang pendiri wangsa Isana keturunan wangsa Syailendra.Â
Pertama kali, wayang Sindok digelar di lapangan eks Kawedanan Warujayeng, Kecamatan Tanjunganom, Sabtu, 27 April 2019 dengan lakon "Prahalaya Lereng Wilis" atau "Asal Mula Nama Nganjuk".
Menurut Badar Alam, yang membuat berbeda dari jenis wayang yang telah ada, seperti wayang purwa, madya, golek, timplong, krucil, dan lain-lain adalah pada isi cerita, jenis wayang dan para tokohnya.
Isi cerita, wayang Sindok menceritakan sebuah babad atau asal-usul nama suatu daerah atau kerajaan pada saat Raja Sindok memerintah sebagai raja Medang. Yaitu dimulai sekitar tahun 928 Masehi, hiduplah seorang raja Medang yang sangat bijak bernama Pu Sindok.Â
Ia memerintah kerajaan Medang di Jawa Timur, didampingi oleh dua istrinya, yaitu Dyah Kebi dan Dyah Mangibil, serta dibantu oleh delapan punggawa kerajaan. Mereka adalah Srawana, Sahasra, Sahitya, Susuhan, Madhura Lokaranjana, Jatu Ireng, Buyut Manggali, dan Kunda.
Sebelum menjadi raja, Pu Sindok bersama pengikutnya dikejar-kejar oleh prajurit Kerajaan Haji Wura-Wari dari Luwaram, sekutu dari Kerajaan Swarnadwipa Sriwijaya.Â
Mereka ingin membunuhnya, karena Pu Sindok diketahui seabagai keturunan Wangsa Syailendra dari Kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Sedangkan antara Wangsa Syailendra dengan Kerajaan Swarnadwipa Sriwijaya sudah lama menjadi musuh sejak raja-raja terdahulu.
Suatu hari, terjadi perang besar antara prajurit Kerajaan Swanadwipa Sriwijaya yang dibantu oleh Kerajaan Haji Wura-Wari dari Luwaram pada saat Kerajaan Mataram dipimpin oleh Dyah Wawa.Â
Bersamaan itu, juga terjadi gunung merapi meletus yang sangat dahsyat dan banyak kerajaan kecil yang menentang kepada Raja Dyah Wawa. Sehingga, kondisi Kerajaan Mataram hancur lebur, dan Dyah Wawa mati. Perang ini disebut "Pralaya".