Salah satu hal yang menarik dari Jepang adalah budayanya. Budaya Jepang menjadi daya tarik bagi banyak orang dari berbagai belahan dunia untuk datang ke Jepang.Â
Ada yang datang untuk mengenyam pendidikan, untuk bekerja atau hanya sekadar berwisata. Hal itu tidak terlepas dari masyarakat Jepang yang terus menjaga dan melestarikan budayanya hingga kini.Â
Salah satu budaya Jepang yang menarik adalah bigaku. Bigaku sendiri merupakan sebuah konsep dalam estetika Jepang yang sudah tertanam di masyarakat Jepang.Â
Bi dalam kata bigaku berarti keindahan, kecantikan, estetika dan gaku yang berarti belajar. Bigaku bisa juga diartikan mempelajari tentang keindahan.Â
Konsep bigaku ini dapat kita temukan di berbagai aspek kebudayaan Jepang, seperti dalam seni, sastra, arsitektur bangunan atau tempat.
Dalam konsep estetika Jepang ini, rasa akan keindahan dan kecantikan digambarkan sangat dekat dan tak terpisahkan dengan alam. Seperti yang tertuang dalam pemaparan Parnomo: "Alam pulalah yang menginspirasi seseorang untuk memperoleh makna hidupnya. Alam itulah titik estetika Jepang dalam salah satu kekhasan estetika Timur."Â
Seperti beberapa puisi dan novel Jepang yang sering menggambarkan alam ataupun memasukkan unsur alam ke dalam karyanya. Banyak juga lagu-lagu Jepang yang menyelipkan lirik berbau tentang alam dan membuat sebuah metafora atau perumpamaan tentang alam meskipun lagu tersebut tidak menceritakan tentang alam.
Bigaku juga mempengaruhi orang Jepang untuk menjaga alam karena mengganggap alam adalah bagian dari estetika. Hal tersebut dapat kita lihat dari lingkungan dan alam di Jepang yang masih terjaga dengan baik.Â
Salah satu alam yang masih terjaga adalah hutan-hutan yang berada di kota kecil bernama Kagoshima. Hutan-hutan yang berada di kota tersebut masih terjaga dengan baik dan tidak ada hutan yang gundul. Jepang juga memiliki beberapa peraturan untuk menjaga alamnya.Â
Salah satunya adalah tidak boleh memetik bunga sakura sembarangan. Hal itu juga yang membuat Jepang dikenal sebagai salah satu negara dengan pemandangan alam terindah dan salah satu negara terbersih karena tradisi melestarikan alam sudah tertanam sejak zaman dahulu dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Mengenai konsep estetika itu sendiri, setiap negara memiliki konsep estetikanya masing- masing yang dapat dipandang secara subjektif, begitupun halnya dengan dengan Jepang.Â
Namun yang membedakan konsep estetika Jepang dengan negara lain ialah adanya unsur bagian yang menyusun konsep bigaku ini, seperti, mono no aware, ma , wabi-sabi dan yuugen.Â
Keempat unsur bagian ini saling melengkapi dan tumpang tindih kehadirannya dan membentuk suatu keindahan yang dapat dilihat dan dinikmati. Untuk lebih memahami konsep bigaku ini, mari kita bahas lebih dalam mengenai unsur-unsur yang terkandung di dalamnya :
Mono no Aware
Scara harfiah, mono berarti sesuatu, hal atau benda dan aware yang berarti menyedihkan. Jika digabungkan bisa artikan sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan kesedihan.Â
Namun dalam arti yang lebih mendalam, arti kata aware dalam mono no aware, bukan hanya tentang hal yang menyedihkan namun lebih mengarah kepada sesuatu yang mengandung unsur kejiwaan yang menyelinap di lubuk hati sanubari.Â
Mono no aware bisa diartikan sebagai sesuatu hal yang dapat menggerakkan dan menyentuh perasaan yang timbul karena keindahan alam, seni maupun perasaan terhadap orang lain.Â
Munculnya perasaan sedih, sendu atau tersentuh dalam mono no aware disebabkan oleh pemahaman akan keindahan alam yang hanya sementara. Perasaan yang timbul karena keindahan alam yang sementara ini bisa dikaitkan dengan kondisi alam Jepang yang memiliki empat musim dalam setahun.Â
Orang Jepang sangat menikmati musim yang sedang berlangsung karena harus menunggu lama untuk musim tersebut tiba lagi. Orang Jepang juga menyukai sesuatu yang musiman seperti melihat bunga sakura ketika musim semi tiba yang sering disebut dengan hanami.
Bunga sakura hanya bermekaran selama kurang lebih 2 minggu dalam setahun. Pada saat bunga sakura mulai menguning dan berguguran itulah yang dianggap sebagai sebuah keindahan atau estetika dan di situlah perasaan orang Jepang tersentuh.Â
Begitu juga dengan beberapa situasi pemandangan alam lainnya, seperti bulan yang hanya terlihat sebagian dianggap lebih indah dibanding bulan purnama yang terlihat jelas, dikarenakan hal itu dapat dimaknai bahwa bulan tersebut perlahan-lahan akan menghilang.
Hal tersebut bukanlah sebuah pemaknaan akan penyesalan terhadap sesuatu yang akan atau telah hilang, melainkan sebuah pemaknaan bahwa segala hal tidak ada yang abadi dan sebagai bentuk penghargaan terhadap semua hal yang masih ada.Â
Hal tersebut juga sebagai sebuah penerimaan terhadap sesuatu hal yang akan atau telah hilang karena sesuatu yang akan menghilang adalah suatu kewajaran dan terjadi secara alami karena pada dasarnya semua hal yang ada di dunia ini bersifat fana, tidak kekal atau bersifat sementara.
Pandangan yang terdapat dalam mono no aware ini berkaitan dengan konsep mujo yang berarti fana atau tidak ada yang abadi. Konsep mujo ini berasal dari ajaran Buddha Zen yang di mana ajaran Buddha punya banyak pengaruh terhadap pandangan, pemikiran dan budaya Jepang.Â
Ada sebuah ungkapan dalam ajaran Buddha yang berbunyi, "Shosha hitsumetsu, seisha hissui, dan esha jori" yang berarti sesuatu yang harus mati, sesuatu yang mencapai puncak itu harus jatuh, dan sesuatu yang bertemu itu harus berpisah. Begitupula dengan konsep mono no aware ini yang dilatarbelakangi oleh pengaruh ajaran Buddha.
MaÂ
Ma merupakan salah satu konsep estetika yang terdapat dalam konsep bigaku. Ma bisa diartikan sebagai ruang kosong yang penuh makna. Ma ini terserap dalam berbagai aspek kebudayaan Jepang, seperti dalam sastra dan seni Jepang.Â
Dalam seni Jepang, contohnya seperti alat musik tradisional, lagu, musik video, lukisan dan masih banyak hal. Orang Jepang umumnya meletakkan 'ruang kosong' dalam setiap karya seninya yang menjadi ruang untuk orang yang menikmati karya tersebut dalam menemukan sesuatu makna yang tak terungkap di dalam seni tersebut.Â
Dalam lingkup sastra, penulis Jepang biasanya tidak secara eksplisit atau terang terangan dalam menyampaikan makna dari karya tulisannya. Penulis seakan-akan memberikan ruang kosong untuk pembaca dapat memaknai karya tulisannya.
Dalam ranah seni tradisional Jepang, konsep ma dapat terlihat dari salah satu seni tradisional Jepang yang bernama ikebana. Ikebana merupakan seni merangkai bunga di Jepang.Â
Dapat kita lihat dari hasil ikebana yang biasanya memberikan jarak antara satu bagian dengan bagian lainnya seperti tangkai yang satu dengan tangkai lainnya yang dibuat tidak berdekatan dan seolah seolah menciptakan sebuah ruang kosong.Â
Konsep ma ini juga terserap di berbagai arsitektur bangunan atau tempat-tempat yang ada di Jepang. Salah satu contohnya adalah sebuah taman yang ada di daerah Kyoto.Â
Taman tersebut hanya terdapat batu-batu kuno yang tersusun berjarak dan beberapa tananam hijau. Mungkin kita akan bertanya tanya, apa yang menarik dari taman seperti itu? Namun bagi orang Jepang, taman tersebut mengandung nilai seni yang tinggi. Selain taman, tempat yang juga mencerminkan konsep ma adalah kuil-kuil yang ada di Jepang.
Wabi-sabi
Wabi-sabi merupakan dua hal yang berbeda namun saling memiliki keterkaitan. Wabi-sabi adalah salah satu filosofi orang Jepang yang berasal dari ajaran Zen Buddha yang awalnya dibawa oleh seorang biksu Zen yang bernama Eisai ke Jepang pada abad ke 12.Â
Jika diterjemahkan secara terpisah, wabi memiliki beberapa arti yakni kesedihan, penderitaan atau kekosongan dan sabi memiliki arti kemunduran, memburuk atau sesuatu yang tidak bersemangat.Â
Meskipun terjemahan aslinya mengandung arti yang negatif, kata wabi-sabi ini justru bisa memunculkan kehangatan dalam kehidupan bagi masyarakat Jepang.Â
Secara sederhana, wabi dalam konsep ini dapat diartikan sebagai keindahan dalam kesederhanaan dan kekurangan sedangkan sabi dapat diartikan sebagai keindahan dalam kesunyian, ketiadaan atau sesuatu yang mengalami kemunduran. Konsep ini juga dapat dikatakan sebagai sebuah seni menghargai dan menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan.
Jika beberapa negara memandang kesepian sebagai sesuatu hal yang negatif, namun Jepang menganggapnya sebagai sesuatu yang positif dan memiliki nilai estetika di dalamnya. Begitupula dengan kesederhanaan, kesederhanaan bahkan kekurangan dianggap sebagai sesuatu yang positif. Hal ini tercermin dari kebanyakan orang Jepang yang menjalani kehidupan secara minimalis. Meskipun bisa jadi orang tersebut adalah orang yang sangat berkecukupan namun orang tersebut biasanya tidak memperlihatkan secara terang-terangan. Memperlihatkan kekayaan atau kemakmuran di Jepang secara terang-terangan dianggap sebagai sesuatu yang kurang baik.
Untuk melihat gambaran wabi-sabi ini, kita dapat melihat salah satu seni tradisional Jepang yakni upacara minum teh yang biasa disebut chanoyu. Upacara ini menekankan pada kesederhanaan dan menunjukkan perhargaan terhadap hal-hal di sekitar sebagaimana adanya, seperti kata wabi itu sendiri yang melambangkan kesederhanaan.Â
Upacara ini dilakukan dengan sangat sederhana dan tanpa kemewahan sedikitpun. Peralatan yang digunakan dalam upacara inipun tidak banyak dan menggunakan peralatan tradisional yang menjadikan upacara ini jauh dari kesan mewah dan modern.
Yuugen
Yuugen tidak hanya menjadi konsep yang cukup penting dalam konsep estetika Jepang, namun yuugen juga merupakan suatu ideologi yang penting dalam lingkup sastra klasik Jepang. Yuugen berasal dari teks-teks filosofis China yang memiliki arti dalam, misterius atau redup.Â
Yuugen dapat diartikan sebagai sebuah kesadaran yang mendalam tentang alam semesta yang memicu perasaan terlalu dalam dan misterius untuk diungkapkan melalui kata-kata. Sama seperti mono no aware, ma dan wabi-sabi, konsep yuugen juga berasal dari ajaran Zen Buddhisme.
Seperti yang kita ketahui, Jepang adalah negara maju. Hal itu membuat masyarakat Jepang semakin modern. Di samping itu, masyarakat Jepang tetap menjunjung tinggi dan melestarikan budayanya sendiri. Kondisi masyarakat Jepang yang semakin modern ditandai dengan masuknya berbagai kebudayaan dari luar Jepang dan diadopsi oleh masyarakat Jepang. Konsep bigaku ini perlahan-lahan mulai mengalami pergeseran. Walaupun demikian, konsep bigaku masih dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat Jepang. Salah satu contoh pergeseran konsep bigaku ini ialah pada bidang  fashion yakni kimono. Walaupun kimono masih dianggap sebagai simbol estetika tradisional Jepang dan rasa estetika pada kimono belum sepenuhnya hilang, namun kini kimono tidak lagi digunakan dalam hal kecantikan, namun lebih untuk menunjukkan simbol formalitas, status dan kebangsaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H