Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengurai Debat Nepotisme: Nepotisme vs Prestasi, Menang Mana?

8 Juni 2024   17:09 Diperbarui: 8 Juni 2024   17:09 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Kompas/Heryunanto)

Pilpres 2024 menghidupkan kembali perdebatan tentang nepotisme. Tim Ganjar menuding Presiden Jokowi melakukan nepotisme untuk memenangkan Tim Prabowo. Benarkah tudingan Tim Ganjar? Saya dan artikel ini tidak bisa menjawabnya, karena tidak tahu jawabannya. Artikel ini akan fokus pada pertanyaan-pertanyaan seperti; apakah nepotisme selalu tentang politik? bagaimana dengan industri dan lapisan masyarakat lainnya? juga apa sebenarnya nepotisme itu? Kenapa nepotisme menjadi masalah? Dan pertanyaan yang lebih tersirat, haruskah kita peduli dan baper pada nepotisme?

Sebenarnya nepotisme bukan hal baru di Indonesia. Faktanya praktik nepotisme sudah menjadi perdebatan di negeri ini sejak lama. Dan tidak hanya di negara kita. Jika kita melihat sejarah manusia, ada satu benang merah yang terjalin melalui pemerintahan Kerajaan dan industri. Benang merah itu adalah Nepotisme. Artinya kurang lebih adalah tindakan memanfaatkan kekuasaan atau pengaruh untuk memberikan pekerjaan yang baik atau keuntungan yang tidak adil kepada kerabat atau anggota keluarga sendiri.

Sederhananya adalah pilih kasih terhadap orang yang kita kasihi. Akhir-akhir ini telah menjadi bahan perdebatan sengit. Saking dibenci, nepotisme sendiri telah berubah menjadi sebuah industri.

Di Instagram, salah satu tagar yang sedang tren tahun 2024 adalah #BoycottNepotism atau Boikot nepotisme. Sebanyak 33.505 postingan yang berisi tagar ini.

Majalah New York menyebut tahun 2022 sebagai tahun "Nepo baby" atau "bayi Nepo". Mereka bahkan bikin sampul yang menampilkan bayi nepotisme yang ada di Hollywood.

Poster Nepo Baby (Vulture.com)
Poster Nepo Baby (Vulture.com)

Jadi ini bukan sekadar tren pemilu karena sebenarnya (seperti yang sudah saya tulis sebelumnya) nepotisme bukan hal baru.

Kata nepotisme berakar dari gereja Katolik. Dalam bahasa Latin "nepos" yang secara kasar berarti "keponakan". Dalam kasus ini, Paus akan menunjuk keponakan mereka untuk posisi Kardinal. Mereka tidak punya anak sendiri sehingga keponakan menjadi pilihan terbaik.  Selanjutnya berkembang menjadi istilah "Papal dynasty" atau dinasti kepausan. Itulah asal muasal kata "nepotisme".

Tetapi sebenarnya praktik nepotisme tidak dimulai dari Paus. Filsuf Yunani, Aristoteles, mungkin pernah menjadi korban nepotisme. Gurunya adalah Plateau. Plateau punya posisi kepemimpinan di akademi tempat Aristoteles belajar. Aristoteles berpikir dia adalah murid Plateau dan akan mendapatkan pekerjaan sebagai pemimpin setelah Plateau pensiun. Sebaliknya Plateau malah memberikannya kepada keponakannya.

Lalu ada Charles Darwin. Beliau memberi tahu bagaimana kita berevolusi tetapi teori Evolusi Darwin sendiri ditelurkan oleh seorang pria bernama Erasmus Darwin.

Dan bagaimana kita bisa lupa Charlie Chaplain. Chaplin juga seorang bayi nepo. Orang tuanya adalah komikus Inggris terkenal di abad ke-19.

Jadi saya kira intinya adalah nepotisme telah lama dipraktikkan dan tersebar luas. Bermula dari jaman kerajaan. Selama berabad-abad masyarakat berkembang sehingga perlu adanya para pemimpin yang dipilih dan bukannya ditahbiskan karena garis keturunan. Dan para pejabat kerajaan seharusnya dipilih berdasarkan sistem Merit, yang kerjanya bagus yang seharusnya dipromosikan.

Perusahaan seharusnya bertanggung jawab kepada pemegang saham. Sistem baru seharusnya tidak memberikan ruang kepada nepotisme. Tapi sistem ini tetap bertahan. 

Contohnya, Presiden AS John F. Kennedy yang menunjuk saudaranya Robert F.  Kennedy sebagai Jaksa Agung Amerika. Saudara iparnya menjadi direktur pertama Peace Corp (Lembaga independen Pemerintah AS). Akibatnya nepotisme menjadi begitu tidak terkendali, sehingga pada tahun 1967 AS harus membuat undang-undang yang melarang pejabat Federal mempekerjakan kerabat dekat.  ironisnya UU ini disebut undang-undang Bobby Kennedy.

Lalu ada mantan presiden Indonesia, Soeharto. Beliau menggunakan kekuasaannya untuk memberi keuntungan kepada anak-anaknya. Bisnis mereka mendapat untung secara tidak adil dari Industri di Indonesia. Nepotisme menjadi sangat tidak terkendali sehingga masyarakat kita mengadopsi slogan perlawanan baru "Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Kemudian ada mantan presiden Srilanka, Gotabaya Rajapaksa. Pada satu titik, keluarga Rajapaksa mengendalikan semua portofolio penting di ibu kota Colombo. Sekitar 11 Kementerian secara keseluruhan berasal dari keluarga Rajapaksa.

Di dunia Arab, pemimpin dipilih karena garis keturunan. Banyak dari negara-negara ini masih berupa kerajaan atau kediktatoran. Di mana para penguasa mempertahankan kekuasaan dengan cara mengangkat keluarga ke dalam lingkaran kekuasaan.

Namun demikian, bukan berarti nepotisme tidak tumbuh subur di negara-negara demokrasi. Kita sudah lihat contoh Kenedy di AS. Di negara kita, tanya saja sama diri sendiri, apa nepotisme ada di sekitar kita?

Untuk lebih membenarkan pernyataan saya, saya akan mengambil contoh dari negara demokrasi terbesar di dunia,India. Di mana demokrasi dibalut dengan Politik Dinasti. Keluarga Gandhi Nehru menjadi contoh utama karena memonopoli salah satu partai politik terbesar di India yaitu Partai Kongres dan mereka bukan satu-satunya yang mempraktekan politik dinasti. 

India memiliki lebih dari 34 dinasti politik terkemuka di seluruh partai dan garis agama di seluruh negara bagian. Faktanya, di 20 negara bagian di India terdapat keluarga dengan setidaknya tiga anggota yang merupakan politisi aktif, tiga anggota dari satu keluarga.

Intinya, nepotisme merajalela tidak hanya di kerajaan. Di negara-negara demokrasi juga, paparan  nepotisme menusuk hingga ke hampir semua lini. Dari ruang sidang hingga ruang rapat. Dari ruang legislatif hingga lembaga peradilan.

Hal ini sangat umum sehingga sulit untuk diindeks dan diukur. Hingga kini hanya ada indeks demokrasi tapi tidak ada indeks nepotisme.

Namun ada beberapa data yang bisa memberikan gambaran tentang tingkat nepotisme. Contohnya, Amerika Serikat. Dari orang berusia 30 tahun ke atas, sekitar 22% Anak Laki-Laki Amerika akan bekerja di perusahaan yang sama dengan ayahnya. Dan mereka akan bekerja pada saat yang sama dengan ayahnya.

Bayi-bayi nepo tidak hanya menikmati koneksi namun juga dukungan dari seluruh ekosistem yang menyertainya. Gen Z mungkin menyerukan dan mengutuk nepotisme namun data menunjukkan bahwa mereka adalah penerima manfaat terbesar dari nepotisme.

Sebuah survei melibatkan 2.000 pekerja. Hasilnya, lebih dari 60% mengatakan bahwa mereka menggunakan nepotisme untuk mendapatkan kesempatan melamar pekerjaan. 42% mengatakan bahwa mereka menggunakan nepotisme untuk mendapatkan pekerjaan.

Jadi Gen Z mungkin menganggap bahwa sistem yang diwariskan orang tua mereka tidak adil, namun mereka tetap menggunakannya untuk memperoleh keuntungan.

Dan tidak mengejutkan bahwa nepotisme juga memiliki ketidakseimbangan gender. Laki-laki cenderung mendapat manfaat lebih banyak dari hal tersebut. Jadi meskipun mudah untuk menyalahkan bayi nepo, coba lihat sekitar lingkunganmu. Sekitar 30% orang yang kita kenal kemungkinan besar mendapat manfaat dari nepotisme. Artinya mereka ini sampai pada posisi atau jabatan tertentu  menggunakan "koneksi" sehingga membawa kita pada pertanyaan apakah nepotisme itu buruk?

Saya bisa membayangkan tanggapan pertama terhadap Gibran Rakabuming hingga Haley Bieber. Pastinya keluhan yang sama jika mereka mendapat kesempatan maupun posisinya karena nepotisme.

Nepotisme itu tidak adil, memang iya. dan disebut sebagai musuh dari bakat. Tetapi bagaimana jika anak-anak berbakat ingin mengikuti jejak orang tua mereka?  Apakah masih pantas menjelek-jelekkan mereka?

Saya bertanya karena apa ada yang pernah mendengar keluhan tentang George Clooney atau Drew Barrymore? Mereka juga bayi nepo. Tetapi mereka tidak menjadi sasaran buli karena mereka berbakat dalam apa yang mereka lakukan.

Jadi saya rasa ini juga tentang apa yang kita lakukan dengan segala keuntungan koneksi yang dimiliki. Beberapa orang mendapatkan keuntungan yang sepihak dan tidak adil terhadap orang lain di awal, tetapi dalam jangka panjang, kelebihan atau kekurangan mereka yang membuat perbedaan.

Tidak... artikel ini tidak sedang membenarkan atau membela nepotisme. Namun lebih ke pengakuan bahwa ini adalah fakta  kehidupan.

Ranah publik mengkriminalisasikan nepotisme. Namun pada ranah pribadi, nepotisme merupakan hal yang lumrah.

Tanyakan saja kepada diri sendiri, jika punya uang atau pengaruh, akankah kalian menggunakannya untuk membantu kerabat?

Pada akhirnya, koneksi yang menentukan kualifikasi di dunia yang kita tinggali. Memang tidak ideal. Tapi hidup ini tidak ideal. Dan di dunia nyata bahkan mereka yang punya koneksi yang ideal pun gagal mengungguli mereka yang tidak hanya mengandalkan prestasi dan kerja keras.

Terus menerus mengeluhkan nepotisme tidak akan membawa kita kemana pun. Bagi mereka yang punya keuntungan koneksi cobalah untuk tidak menyia-nyiakannya. Dan bagi mereka yang tidak punya keuntungan, terimalah bahwa kalian harus bekerja lebih keras daripada hanya mengeluh dan menyerah.

Ada cukup banyak contoh orang yang naik pangkat tanpa dukungan nepotisme. Jadi saran saya, kejarlah bayi nepo tanpa banyak mengeluh. Anggaplah mereka hanya satu atau dua langkah unggul start dengan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun