"MESIN BRENGSEK!"
Begitu mendengar sumpah serapah dari kantor bos pada Senin pagi itu, saya tahu bahwa tidak lama lagi saya akan dipanggil untuk memberikan bantuan teknis IT. Sebelum ada yang menyimpulkan, bukan, saya bukan petugas IT, atau arsitek sistem atau jaringan. Saya analis kebijakan di Departemen Pendidikan.
Jadi kenapa bos meminta bantuan saya untuk masalah teknis IT apa pun yang dia punya? Nah, ada dua alasan bagus: -
1. Karena ketika membaca CV saya yang waktu itu melamar sebagai analis kebijakan di Departemen Pendidikan, beliau melihat kalau saya sudah mempelajari sistem informasi sebagai mata kuliah tambahan dari Sarjana Kebijakan Publik. Secara alami, itu berarti saya pasti seorang kutu buku IT.
2. Tapi alasan lain yang lebih penting adalah karena beliau adalah seorang super gaptek yang menentang teknologi dan kebijakan baru.
Saya berharap melebih-lebihkan, tapi sayangnya tidak. Bos secara teratur mengirim email ke seluruh kantor ketika bermaksud mengirimnya hanya ke satu orang. Beliau punya headset Bluetooth untuk ponselnya, tetapi tidak tahu cara menggunakannya dengan benar sehingga setiap kali seseorang memanggil, dia akhirnya melewatkan panggilan tersebut karena tidak tahu cara mengangkatnya dan menjawab telepon sebelum panggilan terputus.
Suatu kali saya bertanya kepada beliau apakah dia mendapatkan email yang saya kirim semalam. Setelah awalnya mencoba mengatakan bahwa saya belum mengirimkannya, beliau respon dengan pernyataan yang menghantui saya hingga hari ini. "Begini, Kris, sa dapat email banyak skali, jadi biasanya sebagian besar sa hapus". Saat itulah saya catat dalam ubun-ubun kalau dokumen penting apa pun yang saya ingin beliau baca, berapa pun banyaknya, harus dicetak secara fisik. Maaf ya lingkungan, tapi saya kerja dengan orang yang belum berkembang lebih jauh dari jaman pesan di atas batu.
"Kris? mari dulu!" teriaknya.
Untuk sepersekian detik, saya membayangkan untuk tidak menjawab dan menyelinap keluar dari kantor, tetapi saya tahu bahwa sekretarisnya Inem akan mengomeli saya. Inem memang senang bikin saya kena masalah, bahkan untuk sesuatu yang tidak saya kerjakan. Suatu kali Inem mencoba menyalahkan saya karena kehilangan berkas penting yang sudah ditandatangani bos. Inem bilang kalau berkas tersebut sudah dikasih ke saya dan pasti sayalah yang menghilangkannya. Saat mengingat kembali kejadiannya, saya sadar kalau sepanjang minggu lalu saya dinas ke luar kota jadi sudah pasti tidak akan menerima berkas itu. Tentu saja, Si penuduh gila itu tidak pernah meminta maaf.
Dengan mata pemarah Inem menatapku, aku menjawab, "Ya bos, sa datang". Saya mengintip ke kantornya; sosoknya yang mengesankan duduk di sana bertengger di depan komputer, seperti seorang Neanderthal yang baru saja menemukan api. Ketika saya mengetuk pintunya, dia menoleh sesaat ke arah saya dan kemudian kembali menatap layar, tangannya memberi isyarat agar saya masuk dan berkata, "coba ko liat dulu, ini kenapa kah?".