40 tahun kemudian jumlah emoji yang kita gunakan terus bertambah. Bahkan ada suatu konsorsium Emoji yang mengawasi standar Emoji dan memperkenalkan Emoji baru setiap bulan September. Mereka bertugas menjauhkan ikon buruk dari aplikasi perpesanan.
Konsorsium itu dinamakan Unicode Consortium. Dikutip dari Wikipedia Unicode Consortium adalah organisasi nirlaba 501 (bebas pajak) yang berpusat di Mountain View, California.Â
Tujuan utamanya adalah mengelola dan menerbitkan Standar Unicode yang dikembangkan untuk mengganti skema pengodean karakter saat ini yang ukuran dan lingkupnya terbatas dan belum mampu menampung multilingualisme.
Pada tahun 2015, kita akhirnya bisa lihat warna kulit yang berbeda untuk emoji. Tahun 2016, konsorsium Emoji mengupdate opsi gender laki-laki dan perempuan. 2019, mereka mengupdate 203 Emoji baru termasuk pasangan inklusif gender untuk pertama kalinya beserta Emoji lain seperti bawang, anjing, orang dengan disabilitas, dsb.
Hari ini kita punya 3.600 Emoji untuk digunakan mewakili emosi dan situasi apa pun. Bahkan kemungkinan ada emosi dan situasi yang tidak bisa kita gambarkan dengan kata-kata tapi ada Emojinya.
Jadi, bagaimana transformasi itu terjadi? Bagaimana Emoji berubah dari coretan tanda baca menjadi emosi tingkat lanjut? Tentunya melalui proses bertahap.
Dalam proses ini, kita patut berterima kasih kepada Jepang. Pada 1990-an mereka menambahkan gambar dan karakter khusus ke perangkat lunak ponsel mereka.Â
Sekarang, sebagian dari pembaca mungkin tidak tahu fakta berikut tapi, "Emoji" bukan mengacu ke kata bahasa Inggris "emosi" tapi sebenarnya berasal dari kata Jepang "Emoji" yang artinya "gambar karakter".Â
Produsen ponsel seperti Docomo dan SoftBank menggunakan Emoji dalam perangkat lunak mereka. Selama era ini, sebagian besar urusan Emoji menjadi hal penting di Jepang.
Butuh waktu lama bagi dunia di luar Jepang untuk akhirnya ngeh dengan manfaat besar Emoji. Baru pada akhir 2000-an perusahaan teknologi Barat memanfaatkannya. Tren ini dimulai dengan Apple dan Google.