Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

40+ Tahun Emoji, Apa yang Perlu Ditingkatkan?

20 September 2022   14:59 Diperbarui: 20 Maret 2024   11:19 2182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh-contoh emoji baru hasil rancangan WhatsApp.(Sumber: Emojipedia via tekno.kompas.com)

Di dunia maya, saat ingin mengatakan sesuatu seperti "oke", atau "duuuh...senangnya" atau "aku baik-baik saja", kita sering bingung untuk mengutarakannya hanya dengan kata-kata. 

Ada juga kondisi saat  sebuah pesan harus dibalas karena kalau tidak dibalas takutnya orangnya salah paham dan mengira kalau kita sedang marah. Tambah bingung lagi kalau dibalas. Takutnya kata-kata kita ditangkap salah sama pengirim pesan. Pokoknya, kita tidak punya cukup konteks untuk mengutarakan kondisi emosi.

Salah satu penyedia konteks dan penemuan terbesar manusia itu sedang merayakan 40 tahun keberadaannya. Sesuai judul, artikel ini akan membahas tentang provider itu, EMOJI.

Jejak  keberadaan emoji pertama kali ditemukan di jaringan intranet Universitas Carnegie Mellon di AS sejak tahun 1982. 

Profesor Scott Felman menggabungkan titik dua, tanda hubung, dan tanda kurung tutup untuk membuat wajah tersenyum sehingga lahirlah Emoji pertama yang ke depannya dinamakan "smiley".

Seperti yang saya utarakan sebelumnya, baca teks tanpa bisa melihat ekspresi pengirim sering bikin salah paham. Pada tahun 1982, terjadi salam paham seperti itu. 

Saat itu, salah satu grup diskusi salah mengartikan sesuatu yang dikatakan jujur sebagai sindiran sarkatik dalam grup diskusi intranet Universitas Carnegie Mellon mengakibatkan diskusi jadi tambah panas dan ke mana-mana. 

Diskusi melebar jauh dari intinya karena hampir seluruh anggota grup sudah kebakaran jenggot. Biar diskusi tidak tambah parah, Profesor Feldman menciptakan nenek moyang dari ribuan emoji yang kita lihat dan gunakan hari ini.

Renungkan saja konsekuensi dari apa dilakukan Profesor Felman hari itu. Sejak saat itu emoji telah mengambil alih hidup kita bentuk komunikasi digital di seluruh dunia.

Profesor Scott Felman menciptakan Emoji pertama yang sekarang dikenal dengan nama
Profesor Scott Felman menciptakan Emoji pertama yang sekarang dikenal dengan nama "smiley". (Foto: AP via The Guardian)

40 tahun kemudian jumlah emoji yang kita gunakan terus bertambah. Bahkan ada suatu konsorsium Emoji yang mengawasi standar Emoji dan memperkenalkan Emoji baru setiap bulan September. Mereka bertugas menjauhkan ikon buruk dari aplikasi perpesanan.

Konsorsium itu dinamakan Unicode Consortium. Dikutip dari Wikipedia Unicode Consortium adalah organisasi nirlaba 501 (bebas pajak) yang berpusat di Mountain View, California. 

Tujuan utamanya adalah mengelola dan menerbitkan Standar Unicode yang dikembangkan untuk mengganti skema pengodean karakter saat ini yang ukuran dan lingkupnya terbatas dan belum mampu menampung multilingualisme.

Pada tahun 2015, kita akhirnya bisa lihat warna kulit yang berbeda untuk emoji. Tahun 2016, konsorsium Emoji mengupdate opsi gender laki-laki dan perempuan. 2019, mereka mengupdate 203 Emoji baru termasuk pasangan inklusif gender untuk pertama kalinya beserta Emoji lain seperti bawang, anjing, orang dengan disabilitas, dsb.

Kumpulan Emoji (CNET)
Kumpulan Emoji (CNET)

Hari ini kita punya 3.600 Emoji untuk digunakan mewakili emosi dan situasi apa pun. Bahkan kemungkinan ada emosi dan situasi yang tidak bisa kita gambarkan dengan kata-kata tapi ada Emojinya.

Jadi, bagaimana transformasi itu terjadi? Bagaimana Emoji berubah dari coretan tanda baca menjadi emosi tingkat lanjut? Tentunya melalui proses bertahap.

Dalam proses ini, kita patut berterima kasih kepada Jepang. Pada 1990-an mereka menambahkan gambar dan karakter khusus ke perangkat lunak ponsel mereka. 

Sekarang, sebagian dari pembaca mungkin tidak tahu fakta berikut tapi, "Emoji" bukan mengacu ke kata bahasa Inggris "emosi" tapi sebenarnya berasal dari kata Jepang "Emoji" yang artinya "gambar karakter". 

Produsen ponsel seperti Docomo dan SoftBank menggunakan Emoji dalam perangkat lunak mereka. Selama era ini, sebagian besar urusan Emoji menjadi hal penting di Jepang.

Butuh waktu lama bagi dunia di luar Jepang untuk akhirnya ngeh dengan manfaat besar Emoji. Baru pada akhir 2000-an perusahaan teknologi Barat memanfaatkannya. Tren ini dimulai dengan Apple dan Google.

Pada tahun 2010 mereka berusaha untuk membakukan Emoji. Kemudian pada tahun 2011 Apple merilis keyboard Emoji pertama mereka di luar Jepang. dan sisanya seperti yang mereka katakan adalah sejarah

Dalam dekade terakhir, kita melihat munculnya ribuan varietas baru Emoji. Tidak hanya mewakili emosi, kini Emoji juga mewakili situasi, negara dan makanan.

Melihat sejarahnya, mengapa Emoji berkembang pesat?

Satu alasannya adalah jenis percakapan internet bikin obrolan jarak jauh menjadi (terlalu) mudah diakses. Kini kita bisa berbincang dengan orang di mana saja di seluruh dunia kapan pun kita mau. Tapi ada kekurangannya karena kita tidak bisa melihat wajah orangnya, bahasa tubuhnya, ekspresi atau nada suaranya. 

Contoh kata sederhananya "oke", bisa dikatakan dalam banyak hal. Ada "oke" bahagia, ada ""oke" pasrah, ada "oke" tidak puas, dan tentu saja ada "oke" tidak tertarik. Tapi di media sosial semua  "oke sama saja saat kita tidak bisa melihat orangnya. Yang bisa dibaca hanya kata "oke". Dari situlah muncul Emoji.

Hanya dengan satu Emoji kita bisa mengubah arti dari kata-kata yang diucapkan. Satu karakter lebih bisa mewakili maksud yang ingin kita sampaikan daripada deretan kalimat. Sehingga secara alami orang-orang menyukainya. Bahkan kamus merayakannya. 

Pada tahun 2015 kamus Oxford memilih Emoji sebagai word of the year, Emoji yang dengan wajah tertawa terbahak-bahak sampai meneteskan air mata, atau yang biasa kita kenal dengan LOL (Laugh Out Loud).

Jadi kalau dipikir-pikir, Emoji mengatakan banyak hal. Emoji tidak hanya mengutarakan kalau kita sedang tersenyum, tapi juga tertawa terbahak-bahak sampai meneteskan air mata (cuma mau bilang semoga berhasil mengungkapkannya dengan kata-kata).

Saat merayakan 40 Tahun Emoji, kita juga harus memikirkan bagaimana Emoji seharusnya Emoji di-update ke depannya. Ada dua hal yang bisa saya pikirkan.

Pertama adalah keragaman dan inklusivitas. Perusahaan teknologi sudah melakukannya. Sekarang kita punya Emoji untuk ras yang berbeda sampai pasangan sesama jenis. Tapi tentu saja selalu ada tuntutan untuk lebih banyak peningkatan.

Sebuah jajak pendapat tahun 2021 mempelajari 7.000 pengguna Emoji. 83 persen dari mereka ingin lebih inklusif sebagai sebuah platform. Misalnya, penyandang disabilitas hampir tidak ada Emoji yang tersedia untuk komunitas penyandang disabilitas. Jadi mereka ingin lebih banyak objek bantuan ditambahkan seperti kursi roda atau tongkat jalan, atau alat bantu dengar. Beberapa dari tuntutan ini berhasil diterima.

Tapi pasti lebih banyak lagi yang perlu ditambahkan menurut saya. Misalnya, makanan dan pakaian. Hape kita mungkin punya Emoji burger atau pizza tapi kan itu bukan makanan asli atau katakanlah kita tidak makan itu setiap hari. Emoji-emoji tersebut jadinya mubazir karena bakal jarang digunakan. Sama halnya dengan pakaian dan gaya rambut. Saya yakin, lebih banyak pakaian ala Barat pasti yang tertambat di smartphone kita saat ini.

Kedua, peningkatan pada kemampuan beradaptasi. Begini, kapan terakhir kali kalian pakai Emoji dalam percakapan resmi? Maksud saya bukan dengan teman tapi chatting resmi dengan Kementerian atau Instansi pemerintah. Kemungkinan sebagian besar dari kita tidak menggunakan Emoji. Okelah mungkin "thumbs up" (jempol ke atas) masih sering terlihat, tapi di luar dari itu kemungkinan besar Emoji jarang digunakan dalam percakapan resmi.

Jadi saya kira harus ada update di bagan itu. Alat komunikasi harus beradaptasi dengan semua jenis percakapan biar komunikasi lebih efisien dan tidak menimbulkan salah tafsir. Mulai dari santai, serius, emosional, resmi, dsb., Emoji harus dapat mencakup seluruh spectrum. Jika tidak orang pasti akan beralih ke opsi lain.

Hari ini kita punya stiker dan GIF yang bersaing dengan Emoji. Memang, keduanya masih belum mengambil alih Emoji sebagai provider perwakilan emosi dan situasi kita, tapi bagaiman 40 tahun ke depan siapa yang tahu. Faktanya  Emoji telah berevolusi lebih dari sekadar karakter.Kini Emoji menjadi tool of progress. Simbol keragaman dan inklusi.

Jika terus berkembang Emoji bisa segera menjadi landasan percakapan dan komunikasi modern. Kalau tidak, Emoji bisa saja dimusnahkan. 

Saya tahu kedengarannya mustahil sekarang tapi coba pertimbangkan, 40 tahun mungkin tampak seperti waktu yang lama bagi kita tetapi komunikasi manusia berusia hampir 32.000 tahun. Saat ini banyak alat telah muncul dan menghilang. Jadi saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah kutipan tua "kunci untuk bertahan adalah evolusi".

Sumber: 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun