Jika anda seorang penggemar tenis, saya yakin anda masih ingat Boris Franz Becker. Mungkin pernah menonton pertandingannya waktu masih anak-anak atau mungkin orang tua Anda adalah penggemar berat petenis yang terkenal dengan nama Boris 'boom boom' ini.Â
Boris 'boom boom' Becker merupakan atlet spesial yang mendominasi tenis pria di era 1980-an dan 90-an. Rambut pirang dan servis cepatnya menarik jutaan penggemar di seluruh dunia. Julukan 'boom boom' didapatinya karena dia melakukan servis dengan sangat cepat.Â
Becker pensiun dengan enam gelar Grand Slam, tiga di antaranya diraih di Wimbledon. Kemenangannya pada tahun 1985 membuatnya menjadi juara putra termuda. Saat itu Becker adalah raja London.
Tiga puluh tujuh tahun kemudian, segalanya berubah. Hari ini sang raja menjadi seorang terdakwa di London. Becker diadili karena belum bayar hutang. Pada tahun 2017, Boris Becker dinyatakan pailit. Petenis berkebangsaan Jerman itu berutang uang kepada sebuah perusahaan perbankan swasta di London. sekitar 14 juta dolar, tapi itu belum semuanya, secara total hutang Becker berjumlah sekitar 60 juta dolar.
Untuk melunasi hutang itu, Becker harus menjual pialanya. Dia melelang beberapa, tetapi menolak untuk menyerahkan semua trofinya, seperti piala wimbledon 1985 dan dua piala Australia Open dari tahun 1991 dan 1996 (dilansir dari Yahoo Sport).Â
Jadi sekarang pengadilan campur tangan, Boris Becker dituduh tidak menyerahkan pialanya dan dengan ekstensi tidak melunasi hutang. Jika terbukti bersalah, Becker akan menghadapi hukuman penjara.
Terus terang, semua ini sulit untuk dipahami. Boris Becker punya segalanya. Penggemar, ketenaran, dan uang. Di masa jayanya dia meraup 60 juta dolar. Jadi bagaimana boom boom bisa bangkrut?
Jawaban singkat adalah gaya hidup yang bermasalah.Â
Boris Becker menghabiskan 25 juta dolar untuk menyelesaikan perceraian, 1,2 juta dolar dalam setelan dan 2 juta dolar untuk menghindari pajak.
Kebiasaan fiskalnya sangat mirip dengan kebiasaannya di lapangan. Berapi-api, belum dewasa, dan sembrono.
Tapi Boris Becker bukan satu-satunya atlit yang jatuh dari puncak kejayaan dan menjadi headline dengan judul seputar "from hero to zero". Bagi sebagian atlet karena uang yang dihasilkan tidak sebanding dengan prestasi yang diberikan. Sebagian lagi karena karakter.
Misalnya, Tiger woods yang  merupakan salah satu yang atlit terbaik dalam sejarah golf. Namun kehidupan pribadinya terbalik. Tiger Woods berselingkuh dengan lebih dari selusin wanita saat berstatus menikah. Kehidupan berfoya-foya nyaris membuatnya bangkrut.
Lance Armstrong, pemenang enam kali tour de france, pada tahun 2013 dia mengaku menggunakan doping sepanjang karirnya. Hanya dalam hitungan hari from hero to zero menjadi headline di seantero dunia.
Kisah Ronaldinho tak jauh berbeda, mega bintang sepakbola asal brazil itu diberitakan terlilit utang dan hampir bangkrut. Lagi-lagi, karena gaya hidupnya yang foya-foya dan sembrono. Dilansir dari Bola, pada 2018, kondisi finansial Ronaldinho benar-benar berada pada titik terendah. Jaksa menggerebek rumah Ronaldinho untuk menyita aset-asetnya, termasuk koleksi mobil dan lukisan mahal.
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kisah para superstar olahraga ini? Ketenaran bukanlah mudah. Bukan hanya tentang menjadi atlet terbaik, tapi lebih kepada tentang menjadi pribadi yang lebih baik.
Sayangnya atlet pujaan kita ini tidak bisa  melakukannya. Mereka jatuh pada perangkap ketenaran. dan saya menyadari betapa sulitnya bagi mereka.
Saya bayangkan betapa kesepiannya menempati puncak piramida. Ada tekanan untuk tampil sempurna, tekanan untuk "pamer". Tiba-tiba dunia mengharapkan mereka untuk hidup dengan cara tertentu. Mungkin menunggangi mobil sport atau bepergian dengan jet pribadi. Sehingga mereka mengabaikan keuangan dan menghabiskan uang lebih banyak daripada yang bisa dihasilkan.
Khususnya bagi atlet, perangkap ketenaran ini sangat berbahaya. Sebab karir mereka di lapangan sangat pendek dibandingkan dengan karir lainnya.
Mereka tidak bisa bermain sampai usia 60-an.Â
Kebanyakan atlet profesional mengakhiri karirnya pada awal 30-a. Artinya, mereka hanya punya durasi pendek untuk menghasilkan cukup uang demi mengamankan masa depannya.
Atlet seperti Boris Becker telah gagal melakukannya. Ada juga yang jatuh pada jenis obat seperti doping. Semuanya merupakan perangkap yang berbeda dalam keputusasaan mereka untuk mempertahankan reputasi dan meninggalkan jatidiri atau prinsip-prinsip hidupnya saat masih merayap dari bawah.Â
Mereka telah mengecewakan diri sendiri dan membiarkan mentalitas juaranya ambruk, dan yang paling penting para penggemar anak-anak muda yang mengagumi.
Kejatuhan para superstar dari puncak kejayaan telah memicu perdebatan. Atlet muda diwanti-wanti untuk lebih berhati-hati tentang keuangan mereka, dan diharapkan untuk bisa berinvestasi demi masa pensiun.
Untuk itu, berhati-hatilah pada perangkap ketenaran yang menempatkan kesempurnaan di atas nilai-nilai prinsip seorang juara sejati, yang memenangkan perlombaan di dalam dan luar lapangan.
Saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah puisi. Semoga menginspirasi.
Aku menemukannya di tepi ladang jagung. Remah-remah itu diperiksa gagak, yang dengan suara ironis mengepakkan sayap dan meninggalkannya kepada para petani.
Para petani memungutnya, menyajikannya ke atas piring para raja yang siap berpesta hari ini.
Di kejauhan, gagak mengepakkan sayap antusias, memandang giur ke atas piring santapan mereka -- para raja yang akan terkapar besok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H