Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Konflik Ukraina, Raksasa Teknologi dalam Pusaran Perang Informasi

13 Maret 2022   14:00 Diperbarui: 16 Maret 2022   08:11 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pengunjuk rasa mengambil bagian dalam demonstrasi menentang intervensi militer Rusia di Ukraina di alun-alun Sol di Madrid, Spanyol, Jumat, 25 Februari 2022. Foto: AP Photo/Manu Fernandez via Kompas.com

Invasi Rusia ke Ukraina memasuki minggu ke-tiga. Pertempuran militer masih berlangsung. Begitu juga pertempuran narasi. Jadi, perang ini juga merupakan PERANG INFORMASI, sehingga pihak yang melakukan perang informasi juga sama, media pemerintah Rusia dan media barat. 

Keduanya mempersenjatai informasi untuk kepentingan pemerintah masing-masing, sehingga kita harus menavigasi pencarian informasi dengan agak hati-hati untuk mendapatkan laporan akurat tentang apa yang sedang berlangsung. Bahkan cerita pertempuran yang spesifik pun harus dipertanyakan. 

Misalnya jumlah korban, sebuah headline dari media barat Express mengatakan bahwa pasukan Putin sedang dipermalukan dan "telah menderita banyak korban". 

Sebagian besar, keduanya menggunakan angka dalam narasi masing-masing. Ukraina mengatakan 11.000 tentara Rusia telah tewas, setidaknya 22 kali lebih tinggi dari apa yang dikatakan Kremlin. 

Variasi liar ini juga meluas ke angka kehancuran di kedua sisi. Ukraina mengatakan telah berhasil menghancurkan lebih dari 300 tank Rusia. Rusia mengatakan sekitar 900 tank Ukraina yang berhasil diremukan tentara Rusia. 

Kedua belah pihak juga saling menyangkal informasi yang dikatakan pihak lain, dan mengatakan kalau yang pihak lawan berbohong. 

Perbedaan ini menggambarkan jenis cerita yang ingin ditawarkan masing-masing pihak kepada rakyatnya sendiri untuk mendapat dukungan domestik. Karena dukungan domestik adalah faktor paling menentukan dalam sebuah peperangan. 

Jadi, Ukraina ingin mendorong rakyatnya melalui kisah perlawanan gagah berani yang sukses, Rusia ingin meyakinkan rakyatnya melalui cerita kedigdayaan militer mereka. Dan tidak ada yang ingin berbicara tentang korban di barisan masing-masing, sehingga sulit untuk menentukan pihak mana yang benar-benar bisa dipercaya. 

Memverifikasi angka yang diberitakan keduanya merupakan pekerjaan yang sulit. Kenapa? Konflik ini adalah konflik bersenjata, mengingat akses ke zona pertempuran terbatas, tidak ada pengamat independen yang benar-benar bisa dipercaya. 

Jadi kita tidak tahu berapa banyak informasi yang sudah disaring, dimodifikasi, diblokir atau dikarang. Seperti pertandingan tinju, narasi dan kontra narasi saling melayangkan dan menangkis pukulan, ronde demi ronde. 

Ronde I, Ukraina melayangkan pukulan via narasi yang mengatakan bahawa tentara mereka berhasil mempertahankan tanah airnya. 

Rusia menangkis (sekaligus melayangkan) pukulan lewat narasi yang mengatakan bahwa pasukan Rusia mencapai pinggiran Kiev hanya dalam dua hari. 

Ronde II, Ukraina melayangkan narasi tentang pasukan Rusia yang mengalami kesulitan dan bergerak lambat. Rusia membalas lewat sebuah sindiran "bagaimana Anda mampu mengukur kecepatan dan langkah Rusia tanpa akses ke rencana pertempuran Rusia?"

Dan seterusnya, keduanya masih bertarung di atas ring. 

Selain narasi dari kedua pelaku perang, ada juga narasi ke-tiga yang pada dasarnya merupakan biner moral, benar dan/atau salah. Apa pun yang dikatakan barat benar dan siapa pun yang tidak menerima narasi ini akan dicap "sedang mencoba merusak kedaulatan Ukraina". 

Semua narasi ini bisa diuji, harus diuji malahan. 

Di era media sosial, informasi tanpa filter membentuk opini. Lebih buruk lagi, media sosial bukanlah lapangan permainan yang adil. Karena dikendalikan oleh barat. 

Ilustrasi (Misha Friedman/Getty via FT)
Ilustrasi (Misha Friedman/Getty via FT)

Saya menyinggung raksasa media digital seperti Twitter, Facebook, YouTube, Google, dan Apple. Perusahaan-perusahaan swasta ini telah secara terbuka bersekutu dengan barat. Mereka mendorong narasi barat dan membatasi cerita dari sisi Rusia. 

Raksasa-raksasa ini telah menyetujui untuk menjatuhkan sanksi digital kepada Rusia. Ingat, tidak ada sanksi pemerintah yang memaksa perusahaan teknologi untuk menghukum Rusia. Tidak ada kewajiban hukum atau peraturan yang memerintahkan perusahaan-perusahaan ini untuk memihak. 

Jadi, perusahaan-perusahaan ini memihak berdasarkan perspektif stakeholder di masing-masing perusahaan. 

Google telah melarang media pemerintah Rusia memonetisasi konten di platformnya. Apple telah melangkah lebih jauh dengan menangguhkan semua penjualan produk di Rusia. Apple mengisolasi Rusia dari apple play, serta layanan lain yang juga telah diblokir. Dua raksasa digital Rusia, RT dan Sputnik juga telah diblokir dari Apple Store.

Kemudian ada Twitter yang memberi label semua postingan oleh media pemerintah Rusia. Twitter menambahkan semacam peringatan pada cerita pro-Rusia. 

Tangkapan layar sebuah tweet yang diberi label oleh Twitter. (@sweetsuzzzie/Twitter)
Tangkapan layar sebuah tweet yang diberi label oleh Twitter. (@sweetsuzzzie/Twitter)

Lalu Meta, perusahaan induk Facebook yang telah mengubah kebijakan layanannya. Sebuah laporan yang dirilis pada hari Jumat mengatakan Facebook dan Instagram akan mengizinkan postingan yang menyerukan kekerasan terhadap Rusia dan presiden Vladimir Putin. 

Bukankah tindakan itu merupakan sebuah tindakan kriminalisasi? Bukankah itu akan mempromosikan kebencian dan menghasut permusuhan terhadap semua rakyat Rusia? Hanya mengingatkan, tidak semua rakyat Rusia sekata dengan Putin dan desain imperialisnya. 

Semua raksasa teknologi ini melenceng dari tujuannya sendiri sebagai sarana berbagi informasi dengan memutuskan kapan boleh menyerukan kekerasan dan kapan tidak. Tindakan ini akan menjadi preseden yang salah untuk masa depan dunia informasi. 

Hal ini juga menimbulkan pertanyaan strategis untuk negara lain: bagaimana jika Amerika yang jadi agresor dalam konflik ini? bagaimana jika AS menginvasi negara lain seperti yang pernah dilakukannya di masa lalu? 

Tahukah Anda berapa banyak negara yang pernah diserang atau diintervensi oleh AS? Setidaknya ada 84 dari 193 negara yang diakui oleh PBB. Apakah para raksasa media ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan kepada Rusia sekarang?

Meski begitu, tidak satu pun dari apa yang baru saja saya tulis membenarkan tindakan Rusia. Jelas, invasi merupakan tindakan kriminal, saya tidak akan membantahnya. Yang ingin saya garisbawahi di sini adalah kemunafikan institusi Amerika. Lebih spesifiknya, pendekatan selektif raksasa teknologi. 

Dilansir dari DW, pada tahun 2021, sebuah kelompok aktivis hak asasi AS, merilis sebuah laporan yang mengatakan bahwa alih-alih tetap netral, raksasa teknologi meraup keuntungan besar dari perang Amerika melawan "terorisme", terutama Facebook, Google, Microsoft, dan Amazon. 

Dilansir dari Big Tech Sells War, perusahaan besar teknologi ini diberikan kontrak USD 44,5 miliar kontrak dari Pentagon dan Departemen Keamanan Dalam Negeri AS. Apa isi kontraknya? 

Untuk membantu militer AS dalam operasinya yaitu dengan menyediakan alat digital yang dapat digunakan dalam perang.Alat apa saja itu? Basis data penting, layanan komputasi awan (cloud computing), pengawasan, teknologi drone, bahkan MENDORONG NARASI. 

Laporan tersebut mengatakan bahwa Facebook sendiri menjual iklan senilai USD 350 ribu untuk mempromosikan ekstremisme yang didanai dewan pengawas federal Amerika yang mencakup cerita dan tren ekstremisme kekerasan di negara-negara Islam. 

Facebook membantu platform milik pemerintah ini mempromosikan cerita-cerita kekerasan di negara Islam. Dan ini hanyalah laporan dari satu kontrak saja.

Laporan lain mengatakan bahwa ada ratusan kontrak dan subkontrak lain yang diberikan kepada raksasa teknologi Amerika dan belum dipublikasikan. 

Hanya untuk memperjelas bahwa kita berbicara tentang platform yang memiliki hubungan langsung dengan hati dan pikiran miliaran orang di dunia, lebih dari 2,7 miliar  orang menggunakan Facebook setiap hari. 206 juta pengguna harian Twitter. YouTube punya 122 juta pengguna aktif setiap hari (Dilansir dari Statista). 

Bayangkan jenis jangkauan dan potensi raksasa teknologi dalam memanipulasi opini global tentang tindakan Amerika. 

Dalam mengendalikan pembincangan tentang sebuah konflik, pejabat AS terlibat. Keadaan menjadi tampak lebih suram ketika kita melihat siapa yang menjalankan platform-platform pengendali opini ini. 

Laporan kelompok aktivis HAM AS mengatakan bahwa ratusan mantan pejabat pemerintah AS saat ini menjabat di posisi kunci di perusahaan raksasa teknologi, termasuk pejabat dari Departemen Pertahanan, Departemen Keamanan dan Keadilan Dalam Negeri, Badan Keamanan Nasional, dan Biro Investigasi Federal (FBI). 

Berikut nama beberapa pejabat pemerintah AS tersebut:

Joe Kohen yang merupakan perencana kebijakan di Departemen Luar Negeri AS. Saat ini Kohen menjalankan Jigsaw, sebuah inkubator teknologi yang dibuat oleh google untuk mengembangkan alat kontra-terorisme untuk platform media sosial. 

Steve Pandelines, bekerja di FBI selama 20 tahun. Saat ini dia menjabat Direktur Keamanan di layanan web Amazon. 

Joseph D. Rozek, bekerja di Departemen Pertahanan AS. Sekarang dia bekerja di Microsoft dan mengkhususkan diri dalam "berbagi informasi".

Ini hanya beberapa nama, ada banyak lagi nama yang diberitakan laman bightechsellswar.com. Kesimpulannya, ada semacam pintu putar antara raksasa teknologi dan lembaga pemerintah AS. Pejabat keamanan yang tak terhitung jumlahnya, dan pembuat kebijakan mengelompokkan informasi agar sesuai dengan kepentingan Amerika. 

Ada yang bilang "siapa pun yang mengendalikan arus informasi, mengendalikan dunia."

Saya kira, tidak ada deskripsi lain yang lebih bisa menggambarkan apa yang terjadi saat ini selain kutipan barusan.

Perusahaan informasi terbesar di dunia seperti Apple, Facebook, Google, dan Microsoft berasal dari barat. Ketika melihat daftar negara big power yang disimpulkan ilmuan politik indenpenden manapun, kebanyakan akan menempatkan AS di urutan paling atas, kalaupun turun, paling hanya sampai di urutan dua.

Iya sih, Rusia adalah agresor dalam konflik di Ukraina, tapi monopoli barat atas arus informasi yang sedang terjadi menciptakan rumus opini yang lebih rumit. 

Sehingga kita tidak bisa menilai setiap cerita dengan mengandalkan angka saja. Kita tidak bisa salah menyamakan visibilitas dengan transparansi. Setidaknya tidak sampai penjaga gerbang informasi dunia menjaga kepentingan global di atas kepentinganya sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun