Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Invasi Putin ke Ukraina Menandai Era Baru Politik Hard Power

3 Maret 2022   19:08 Diperbarui: 5 Maret 2022   03:33 1324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ini diambil dari video yang disediakan oleh Layanan Pers Kementerian Pertahanan Rusia pada hari Sabtu, 19 Februari 2022, menunjukkan rudal balistik antarbenua Yars diluncurkan dari lapangan udara selama latihan militer.| Sumber: AP PHOTO/ RDMPS via Kompas.com

Dalam hubungan internasional, para ahli sering membicarakan dua jenis politik luar negeri suatu negara atau badan politik yaitu politik hard power dan politik soft power. Dalam politik hard power, penggunaan sarana militer dan ekonomi digunakan untuk memengaruhi perilaku atau kepentingan negara atau badan politik lainnya. 

Bentuk kekuatan politik ini seringkali bersifat agresif (pemaksaan), dan paling efektif bila dipaksakan oleh satu badan politik ke badan politik lain yang memiliki kekuatan militer dan/atau ekonomi yang lebih rendah. 

Hard power kontras dengan soft power, yang lebih mengutamakan diplomasi, budaya, dan sejarah. Contoh terkini bisa kita lihat adalah politik hard power yang digunakan Rusia menginvasi Ukraina.

Sekarang, negara-negara di seluruh dunia sedang menyaksikan dengan seksama invasi tersebut dan konsekuensi yang sedang ditanggung Rusia, sehingga semua mulai memikirkan kembali strategi pertahanan masing-masing.

Negara-negara netral sedang memikirkan kembali politik non-bloknya dan negara-negara pasif kembali meningkatkan kekuatan militer. Jelas invasi Putin telah memaksa dunia untuk memikirkan kembali kebijakan yang berusia hampir seabad.

Saya akan mulai dengan Jepang, satu-satunya korban serangan nuklir. Jepang mulai berpikir untuk menjadi tuan rumah nuklir. Pada tahun 1945, Amerika Serikat menjatuhkan dua bom nuklir di negeri Sakura, sekitar 200.000 orang tewas. Sejak saat itu, Jepang telah menganjurkan pasifisme, karena Jepang satu-satunya yang tahu betul kekuatan senjata nuklir, mereka tahu betul betapa jahatnya bom atom.

Namun beberapa pemimpin Jepang sempat memikirkan untuk memiliki nuklir, seperti mantan perdana menteri Shinzo Abe. Inilah yang Abe katakan tentang menjadi tuan rumah nuklir Amerika: "Di NATO, Jerman, Belgia, Belanda, dan Itali mengambil bagian dalam berbagi nuklir, hosting senjata nuklir Amerika. Kita perlu memahami bagaimana keamanan dijaga di seluruh dunia dan tidak menganggapnya tabu untuk melakukan diskusi terbuka (tentang nuklir)."

Begitulah pendapat Shinzo Abe. Hanya untuk memperjelas, Abe bukanlah politisi lokal biasa di Jepang namun merupakan perdana menteri terlama Jepang dan juga punya suara yang berpengaruh di partai penguasa Jepang. 

Saat perdana menteri Fumio Kishida menanggapinya, Kishida mengatakan menjadi tuan rumah nuklir tidak mungkin bagi Jepang dan prinsip non-nuklir Jepang adalah sakral.

Tapi tidak demikian dengan Belarus yang menyambut pelukan beruang Rusia dengan tangan lebar. Minggu ini parlemen Belarus mengesahkan undang-undang yang menjadi kunci bagi nuklir Rusia. 

Ada dua hal utama undang-undang tersebut: a) bahwa Belarus dapat menjadi tuan rumah senjata nuklir Rusia; dan b) bahwa pasukan Rusia boleh tinggal secara permanen di tanah Belarus. 

Dengan kata lain, Belarus menjadi negara satelit Rusia dan jika itu terjadi, negara-negara Eropa lainnya mungkin bereaksi. Finlandia misalnya, sampai sekarang tetap tidak bersekutu tetapi setelah invasi Rusia ke Ukraina, Finlandia sedang memikirkan kembali netralitasnya.

Suasana di Helsinki tegang: Finlandia punya perbatasan terpanjang Eropa dengan Rusia di lebih dari 1.300 kilometer, tetapi bukan bagian dari aliansi militer. Negara ini adalah sekutu dekat NATO, tetapi ada sedikit keinginan untuk bergabung dengan klub tersebut kecuali hingga belakangan ini.

Agresi Rusia di Ukraina telah mendorong publik Finlandia lebih dekat dari sebelumnya ke NATO. Partai-partai politik Finlandia berkumpul pada hari Selasa (1/3) untuk membahas serangan Rusia terhadap Ukraina dan peran Finlandia dalam keseimbangan kekuatan baru Eropa. 

Potensi keanggotaan NATO Finlandia juga akan dibahas. Perdana Menteri Sanna Marin mengatakan kepada wartawan Politico Senin (28/2). "Sangat dapat dimengerti bahwa banyak orang Finlandia telah berubah atau berubah pikiran setelah Rusia mulai berperang melawan Ukraina," kata Marin.

Sebuah survei oleh perusahaan penyiaran Finlandia Yle menemukan bahwa 53 persen orang Finlandia mendukung negara mereka bergabung dengan NATO. Angka ini naik menjadi 66 persen jika negara tetangga Swedia juga bergabung dengan NATO. 

Ini menandai perubahan drastis dalam sikap publik Finlandia--- dalam jajak pendapat sebelumnya pada tahun 2017, hanya 19 persen orang Finlandia yang mendukung keanggotaan NATO.

Inisiatif warga untuk mengadakan referendum tentang apakah Finlandia harus bergabung dengan NATO berhasil mengumpulkan 50.000 tanda tangan yang diperlukan dalam waktu kurang dari seminggu, dan akhirnya memaksa parlemen untuk memperdebatkannya.

Apa yang pemerintah mereka katakan? 

Perdana menteri Finlandia, Sanna Marin telah mendukung kebijakan non-blok, pada saat yang sama Marin ingin tetap membuka pilihan. Marin mengatakan, jika menyangkut keamanan nasional, Finlandia akan mengajukan permohonan keanggotaan NATO.

Swiss juga sedang melakukan pergerakan. Pada hari Senin, mereka mengumumkan bergabung dengan sanksi Uni Eropa terhadap Rusia.

Tetapi kekuatan besar yang paling konsekuensial yang bisa kita lihat adalah Jerman. Dua kali dalam abad terakhir ini, Jerman melepaskan perang dunia yang menyebabkan kekerasan skala besar, jadi setelah Perang Dunia II Jerman seolah mengurung diri ke dalam cangkangnya, mereka hanya menghabiskan sedikit sekali dana untuk militer, dan mengambil langkah mundur dalam politik dunia. 

Pada dasarnya Jerman menerapkan politik soft power. Tapi minggu lalu kanselir Olaf Scholz memutar arah politik internasional Jerman, Scholz berencana untuk menghabiskan USD 112 miliar untuk pertahanan dan mengirim senjata ke Ukraina. Langkah ini menandakan kembalinya politik hard power Jerman. Bisa dibilang, invasi Putin memaksa preman pensiun kembali lagi ke jalanan.

Bagaimana dengan negara-negara berbahaya (rogue state) yang dianggap mengancam perdamaian dunia? Bagaimana mereka melihat perang ini? Sebagai pelajaran Ukraina menyerahkan senjata nuklirnya pada tahun 1994. 28 tahun kemudian, mereka diserang. Apa yang dipikirkan negara-negara seperti Korea Utara dan Iran? Saya kira jelas jawabannya: "nuklir sangat membantu pertahanan negara."

Kedua negara ini menyalahkan AS atas perang Putin 2022. Korea Utara juga menguji rudal balistik pada hari minggu yang tes kedelapan mereka tahun ini. Kim Jong-un melihat apa yang terjadi di Ukraina, dia akan menarik hubungan antara nuklir dan pertahanan.

Jadi kemungkinan diktator Korut akan bertahan dekat dengan senjata pemusnah massal. Keputusan seperti itu tentu memengaruhi Korea Selatan. Jajak pendapat baru menemukan bahwa 71 persen penduduk Korea Selatan menginginkan senjata nuklir. 

Secara teknis, Seoul adalah bagian dari payung nuklir AS. Artinya, jika diperlukan AS akan mengerahkan nuklir untuk melindungi Korea Selatan. Tapi seberapa andal janji itu? Akankah AS mempertaruhkan kota-kotanya sendiri untuk melindungi Seoul?

Banyak orang Korea Selatan tidak ingin berjudi dengan janji AS itu. Sama halnya dengan iran, New York Post mengatakan bahwa Iran sudah sangat dekat dengan sebuah kesepakatan nuklir.

Sekarang nadanya telah berubah Iran, mengatakan masalah utama belum diselesaikan, dan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menyalahkan AS dengan menyebutnya sebagai rezim mafia dalam perang Rusia. Kesepakatan itu masih mungkin terealisasi tetapi Iran pasti akan bermain keras.

Sebagai kesimpulan, saya ingin mengatakan bahwa invasi Putin kali ini telah mematahkan mitos abad ke-21: bahwa perang untuk menginvasi negara lain tidak mungkin terjadi. 

Jika cukup kuat dan kepentingan inti Anda terancam, Anda bisa mengobarkan perang. Itulah pesan dari invasi Rusia, sehingga setiap negara memikirkan kembali strateginya. 

Beberapa berharap untuk dukungan aliansi seperti Finlandia, ada yang bertaruh pada payung nuklir seperti Belarus dan Jepang, ada yang membangun pertahanan mereka sendiri seperti Jerman. Apapun strateginya, yang jelas, dunia sedang memasuki era baru politik hard power.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun