Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Pengalaman Pertama Main TikTok: Bikin Pusing, Parno, tapi Ketagihan

8 Februari 2022   11:15 Diperbarui: 11 Februari 2022   08:57 1796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi TikTok (KOMPAS)

TikTok merupakan salah satu aplikasi berbagi video yang paling banyak diunduh dalam beberapa tahun terakhir. Sejujurnya saya terkejut dengan reaksi saya sendiri ketika pertama kali mencobanya minggu lalu, meski Ini bukan pertama kalinya saya mencoba aplikasi baru, juga bukan pertama kalinya saya melihat klip video serupa. Tapi pengalaman pertama kali pakai TikTok bikin saya sedikit parno.

Pertama, saya ingin memberi tahu latar belakang singkat tentang tipe kepribadian saya. Saya seorang introvert jadi agak imajinatif. Saya pikir sifat ini yang berpengaruh pada reaksi awal saat pertama kali coba TikTok.

Saya pernah berhasil merancang dan memelihara situs web sendiri menggunakan komputer sendiri sebagai server yang online selama satu minggu sebelum akhirnya menutupnya karena boros waktu dan listrik, dan juga pernah (coba-coba lalu) berhasil mengembangkan aplikasi sendiri yang telah diunduh lebih dari 1.000 kali secara online.

Jadi, saya seorang introvert yang tidak terlalu gaptek tapi juga bukan penggila atau pakar teknologi.

Sebenarnya, saya tidak ingin mencoba menjatuhkan reputasi aplikasi milik Zhang Yiming ini. Saya pribadi percaya bahwa TikTok menawarkan banyak peluang dan punya potensi besar untuk membantu pengusaha, influencer, dan bahkan orang biasa yang mencari saluran untuk mengekspresikan diri dan terhubung dengan audiens yang relevan.

Tulisan ini bukanlah review dari seorang profesional, melainkan personal, sekedar apa yang saya pikir dan rasakan saat pertama kali menggunakan TikTok.

1. Orang tidak terlihat seperti orang normal

Ada yang mungkin tertawa sekarang dengan alasan yang baru saja saya tulis. filter kan sudah biasa di jaman sekarang di mana orang-orang terlihat seperti anak anjing atau anak kucing lucu? Atau foto orang-orang dengan kumis dan telinga kelinci? Iya sih. Tapi pertama kali menjelajahi TikTok bikin saya sadar kalau jumlah video atau foto yang difilter sebanyak itu bisa menjadi norma hari ini.

Ketika menjelajahi YouTube, saya hanya mendapati beberapa video yang menggunakan filter seperti itu. Begitu juga Instagram, hanya beberapa saja. Tetapi TikTok adalah pengalaman yang sama sekali baru. 

TikTok punya rentang waktu yang sangat singkat yaitu satu menit atau kurang untuk setiap video dan karena itu, kita terus-menerus diperlihatkan klip video yang menampilkan satu demi satu filter aneh.

Dalam waktu 15 menit di TikTok, kita bisa disuguhkan lebih dari 10 orang dengan filter berbeda-beda. Instagram juga punya kerangka waktu yang singkat untuk video, tetapi saya pikir kebanyakan orang masih memposting foto.

Di TikTok, kita diputarkan secara otomatis klip video yang "menuntut" perhatian.

2. Orang tidak terdengar seperti orang normal

Alasan kedua ini terkait dengan alasan pertama. Sementara di alasan pertama kita disuguhkan gambar orang yang terlihat seperti binatang atau punya fitur wajah yang berlebihan, alasan ini memberi pengalaman mendengar orang dengan cara yang tidak biasa layaknya orang normal. 

Berbagai efek digunakan agar orang bisa menyinkronkan lagu-lagu populer. Orang juga bisa lip-sync lagu atau perkataan orang lain yang tujuannya untuk melucu.

Saya akui kalau fitur ini agak lucu. Tapi seperti alasan pertama, terpapar secara konstan ke berbagai klip pendek menggunakan fitur ini punya efek yang agak aneh pada saya.

3. Kita tidak tahu apa yang akan kita lihat selanjutnya

Saya tidak bisa menebak sedikit pun tentang apa yang akan saya lihat selanjutnya. Terutama bagi pengguna yang baru pertama kali menggunakan aplikasi ini.

AI (Kecerdasan buatan) yang digunakan oleh TikTok belum disesuaikan dengan preferensi pribadi pengguna pada awalnya sehingga akan memberi satu set klip acak bagi pengguna baru.

Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan ditunjukkannya kepada kita, tidak tahu apakah klip berikutnya akan menunjukkan seseorang yang berteriak atau meneriakkan sesuatu menggunakan suara yang bukan miliknya.

Kita juga tidak tahu apakah seseorang akan menari atau bernyanyi mengikuti tren terbaru, atau apakah seseorang akan memberikan lelucon atau mencoba mem-prank kita dengan gendoruwo sampai badut setan ala film IT hanya untuk sekedar lucu-lucuan.

Semua yang disuguhkan ini merupakan rentetan klip pendek yang terus-menerus mencoba menarik perhatian pengguna, tetapi sebelum sepenuhnya memahami arti sebuah klip, kita didesak untuk beralih ke yang berikutnya.

Saya kira di sinilah perbedaan kecil yang menjadikan TikTok sukses dibanding aplikasi berbagi konten lainnya. Zhang Yiming percaya bahwa sebenarnya kita tidak pernah tahu apa yang akan menarik perhatian kita.

Jadi, alih-alih percaya dengan penilaian pengguna tentang apa yang akan menarik perhatian pengguna itu sendiri, Zhang Yiming percaya lebih percaya dengan perilaku kita di TikTok. Sehingga 'apa yang akan menarik untuk kita tonton' ditentukan oleh AI, berdasarkan perilaku kita, bukan pengakuan kita tentang preferensi pribadi yang kita sampaikan di awal pembuatan akun.

"You never really know what you desire or need." 

Begitulah kira-kira filosofi AI TikTok. Coba pikirkan kembali, berapa kali kita ke mall atau pasar, lalu pulang dengan belanjaan yang tidak kita rencanakan sama sekali?

Misal, pengen ke mall untuk nonton, eh pulang nonton kita bawa sepatu atau kaos atau es boba dari mall.

Meskipun cerdas, saya pikir, secara jangka panjang TikTok bisa mempengaruhi cara berpikir sistematis kita. Bukankah banyak yang bilang, baca satu buku sampai tuntas bisa meningkatkan cara berpikir sistematis kita?

Berselancar di TikTok seperti membaca satu kalimat dari buku tentang demokrasi kemudian melompat ke satu kalimat di buku resep masakan, kemudian melompat lagi ke buku tentang cara menjahit celana sobek, kemudian lompat lagi ke buku lain yang berbeda genre sama sekali, dst., dst...

Berikut beberapa hal positif yang saya amati:

1. TikTok penuh dengan orang biasa

Saya melihat banyak orang biasa yang berhasil mendapatkan ribuan suka dan pengikut. Mereka bukan influencer dan selebriti yang kebanyakan saya temukan di platform lain.

2. TikTok punya alat yang mudah digunakan

TikTok punya banyak alat yang dapat untuk membuat konten menarik. Bukan hanya saluran media sosial, tetapi juga alat edit video yang sederhana dan mudah digunakan. 

Pengguna dapat dengan mudah membuat tayangan slide gambar dan dengan cepat menambahkan musik yang relevan untuk membuat video menarik. Ada juga banyak stiker dan filter yang bisa digunakan untuk membuat konten semakin menarik.

3. TikTok bisa membantu pengguna untuk mendapatkan pengikut di media sosial lain

Saya kira kemampuan yang satu ini standar untuk aplikasi berbagi konten saat ini. TikTok bisa menghubungkan penonton dengan saluran media sosial pemilik konten yang lain seperti Facebook dan Instagram. 

Selain itu, pengikut TikTok dapat mengikuti media sosial pengguna karena TikTok menyediakan cara untuk menghubungkan/menautkan ke akun Instagram, YouTube, dan Twitter, seperti halnya Kompasiana, di mana pembaca bisa mendapatkan tautan ke akun media sosial kita yang lain.

Kesimpulan

Saya pikir sebagian besar masalah saya adalah tentang sifat saya yang sangat sensitif dan terlalu berpikir mendalam tentang sesuatu. Saya cenderung fokus untuk menyerap banyak hal sehingga rentang waktu yang singkat dari klip video dan desakan terus-menerus video yang terputar otomatis bikin saya kewalahan.

Saya tidak tahu apa yang diharapkan selanjutnya. Tidak ada "kata pengantar" untuk mempersiapkan diri pada video berikutnya yang akan ditonton. Aplikasi ini cenderung menuntut perubahan konstan fokus pengguna, sesuatu yang tidak biasa saya lakukan dalam kehidupan nyata.

Sifat kepribadian saya sebagai seorang introvert juga mempengaruhi reaksi awal saya. Sebagai seorang introvert, saya tidak terbiasa berinteraksi dengan orang baru.

Namun menggunakan TikTok seperti membuka pintu terus-menerus kepada berbagai macam orang yang tidak kita kenal, orang-orang yang tiba-tiba berbicara dengan cara yang berbeda, berpikir dengan cara yang tidak saya harapkan, dan bertindak sedemikian rupa sehingga akan mengejutkan.

Saya merasa seperti orang yang hidup di masa lalu dan tiba-tiba pergi ke masa depan, masa depan yang ditunjukkan pun tidak bertindak sebagai pemandu wisata yang menunjukkan tempat wisata secara jelas, tetapi seperti naik roller coaster yang memaksa saya untuk terus memperhatikan seluruh pengalaman dalam waktu singkat. 

Pada akhirnya, saya pikir harus ada penyesuaian yang saya lakukan agar bisa menggunakan TikTok dengan lebih bermanfaat. 

Saya pikir saya perlu mengikuti orang yang saya kenal serta topik dan tagar yang saya sukai. Dengan cara itu, mungkin AI aplikasi ini bisa memberi saya pengalaman yang lebih sesuai dan saya sukai sambil sesekali menawarkan konten yang sama sekali berbeda.

Dengan aplikasi ini, sekarang saya lebih siap untuk mengharapkan yang tak terduga.

Banyak hal yang cenderung bikin takut, tetapi yang terpenting pada akhirnya adalah cara kita mengatasi ketakutan tersebut biar tidak terlalu parno dengan hal baru. Sekali lagi "You never really know what you need or desire, right?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun