Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Bahasa Anak Jaksel Seharusnya Dirayakan

16 Januari 2022   20:45 Diperbarui: 30 November 2022   10:53 2000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada satu kesamaan antara English, Bahasa Indonesia, bahasa Melayu, bahasa Sanskerta, bahasa ngeblog, hingga bahasa anak Jaksel: SEMUA ADALAH BAHASA.

Sama halnya dengan bahasa yang saya gunakan sehari-hari di Papua, yang mungkin sebagian besar dari pembaca tidak mengerti artinya. Dan mungkin menyebutnya "oh ini pasti bahasa Papua."

Misalnya:
"Ko mo pi mana?" (Kau mau pergi ke mana?)
"Sa mo pi pasar." (Saya mau pergi ke pasar)

Sebenarnya, dua kalimat di atas merupakan bahasa Indonesia, hanya saja disingkat-singkat.

Ko= kamu, kau
Mo = mau, ingin
Pi = pergi
mana = mana
Sa = saya, aku

Itu adalah bahasa yang saya dan hampir semua penduduk (bukan hanya masyarakat asli) Papua gunakan dalam  percakapan sehari-hari.

Para ahli bahasa menamakannya bahasa "Melayu Papua". Bahasa tersebut bukanlah bahasa daerah asli Papua. Melainkan bahasa yang baru berkembang karena ada desakan kebutuhan untuk berinteraksi antar seribu suku yang berbeda bahasa di Papua.

Begitu juga bahasa Indonesia yang bukan bahasa asli masyarakat Indonesia, melainkan bahasa yang berkembang karena desakan kebutuhan untuk berinteraksi dengan ribuan suku di Indonesia. Ribuan kali terjadi campur-kode hingga akhirnya dapat digunakan oleh segenap bangsa Indonesia.

Poin saya di sini adalah bahasa berkembang karena adanya kebutuhan.

'Bahasa berkembang karena kebutuhan' merupakan sifat alami dari bahasa apapun yang ada di dunia.

Sifat ini "memaksa" bahasa untuk terus berkembang dan mustahil mati seiring dengan kebutuhan manusia yang mustahil hanya itu-itu saja.

Bahasa itu sesuatu yang hidup!

Seperti makhluk hidup, bahasa akan terus berkembang. Suatu bahasa akan mati ketika bahasa tersebut berhenti (menolak) berkembang. 

Dulu kita tak punya kata "tetikus" namun karena Indonesia tak bisa menangkis kebutuhan akan salah satu perangkat komputer itu, munculah kata 'tetikus' dalam kamus bahasa Indonesia.

Sama halnya, IMO (:D), bahasa anak-anak Jakarta selatan yang tak bisa menangkis sifat alami bahasa ini, pun muncul karena adanya kebutuhan

Apa saja kebutuhan yang bikin bahasa Jaksel muncul?

Ada yang berpendapat, karena kebutuhan sosial agar terlihat keren, atau agar terlihat intelek.

Beberapa orang lagi, karena kebutuhan berkomunikasi yang lebih efisien.
Memangnya bahasa Indonesia yang sesuai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) atau kaidah kebahasaan tak cukup efisien? Sepertinya begitu.

Dosen di Departemen Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Yogyakarta, Rasman berbagi pendapat kepada KOMPAS:

"Terkadang komunikasi justru bisa lebih bermakna jika menggunakan semua jenis bahasa yang dikuasai baik oleh pihak-pihak yang sedang berkomunikasi, dibandingkan dengan hanya menggunakan salah satu (bahasa) saja."

Menurut Rasman penggunaan berbagai macam bahasa dalam komunikasi tidak memberikan efek yang negatif. Kadang satu atau dua kata asing yang digunakan dalam kalimat, terasa lebih pas untuk menekankan inti dari apa yang ingin disampaikan penutur.

Sebab, bisa jadi jika kalimat yang digunakan adalah bahasa Indonesia dalam kalimat yang ingin disampaikan, makna atau maksudnya akan terdengar kurang pas.

Selain itu, penggunaan banyak bahasa dalam sekali bicara juga akan membantu daya ingat, kreativitas, dan kepandaian penuturnya.

Kita pun sebenarnya sudah melakukan campur bahasa dari dulu. Di Kompasiana juga, banyak penulis yang melakukannya, karena merasa mencampurkan bahasa lebih terasa bermakna dalam menyampaikan isi kepala.

Boombastis.com
Boombastis.com

Oktober 2020, admin sempat mengangkat topil bahasa ngeblog, karena kebanyakan blogger yang menulis tidak sesuai kaidah kebahasaan. Saya termasuk salah satu dari banyak yang setuju kalau penggunaan bahasa ngeblog harus dirayakan. Karena itu menandakan kreativitas berpikir manusia. Pendapat saya, kelenturan suatu bahasa menunjukan kreatifitas penuturnya.

Seperti halnya bahasa Jaksel, sepatutnya kita rayakan sebagai salah satu kreatifitas berfikir bangsa.

Meski berpotensi (besar) akan hilang dengan sendirinya, kehadiran bahasa Jaksel (dan kebanyakan 'bahasa gaul' lainnya) bisa kita jadikan sebagai bahan analisa, kebutuhan apa yang mengakibatkan munculnya bahasa Jaksel? Apa bahasa Indonesia belum bisa menjawab kebutuhan tersebut? Langkah apa yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut?

Misalnya, kata-kata seperti 'jujurly', 'literally', 'actually' dan kata-kata berakhiran '-ly' lainnya yang sering digunakan anak Jaksel, bikin kita bertanya: apakah penggunaan kata-kata tersebut dirasa lebih efisien daripada padanan Bahasa Indonesianya?

Karena sifat bahasa yang akan terus berkembang (tak tertahankan) untuk mencari efisiensi komunikasi.

Artinya, bahasa akan terus berkembang mencari jalan untuk menyederhanakan konsep panjang menjadi kata sependek mungkin. Sependek mungkin kata tersebut, semakin baik, karena semakin efisien.

Kata-kata tersebut ('jujurly', 'literally', 'actually') merupakan kata-kata yang dijadikan kata sifat dari kata dasarnya lewat cara menambahkan akhiran '-ly'. Bahasa Inggris punya akhiran '-ly' yang mampu "men-sifatkan" kata-kata.

Sebenarnya Bahasa Indonesia juga punya, namun dengan penambahan awalan 'se-' dan akhiran '-nya', misalnya: 'jujurly' yang dimaksudkan untuk kata 'sejujurnya'; 'actually' untuk 'sebenarnya'; dan 'literally' untuk 'secara harfiah'.

Jika dibandingkan, kata-kata English-nya lebih pendek dalam jumlah suku kata daripada Bahasa Indonesia. Apa itu penyebab penggunaannya meluas dicampur dengan Bahasa Indonesia.

Ataukah karena penggunaan imbuhan '-ly' yang lebih pendek dirasa lebih efisien (singkat) daripada dua imbuhan ('se-' dan '-nya') yang dimiliki Bahasa Indonesia?

Saat menanyakan pertanyaan di atas kepada salah seorang pengkaji bahasa di Balai Bahasa Papua yang kebetulan seorang Kompasianer, Jemmi Ayomi menjawab "bisa jadi, waktu masih jadi Menteri Pendidikan, Anies (Baswedan) sempat ingin mengerjakan penyederhanaan kata-kata (Bahasa Indonesia)." lanjut Jemmy.

Saya tidak berpendapat bahwa English lebih efisien daripada Bahasa Indonesia, toh ada juga kata-kata yang lebih efisien dalam Bahasa Indonesia, namun yang ingin saya katakan adalah bahwa Badan Bahasa Indonesia juga menganggap penting untuk melakukan efisiensi Bahasa.

Kemajuan suatu bahasa tercermin dari tingkat efisiensinya. 

Beberapa pakar berpendapat demikian. Ilustrasi tentang efisiensi bahasa bisa kita lihat pada film Arrival (2016) yang bercerita tentang bangsa alien yang sangat maju karena bahasa mereka yang sangat efisien, saking efisiennya, mereka berkomunikasi dengan hanya menggunakan beberapa simbol.

Mereka mampu menjelaskan Satu kalimat atau bahkan suatu konsep besar dengan hanya satu simbol. Bisa kita bayangkan, secepat apa bangsa tersebut mengkomunikasikan konsep-konsep besar karena mampu mengembangkan simbol yang mewakili konsep-konsep tanpa menimbulkan salah tafsir. 

Sedangkan, untuk ilustrasi bahasa yang sangat tidak efisiensi bisa kita lihat pada film Lord of the Rings: the Two Towers, adegan rapat para Ent (makhluk pohon), saking tidak efisiennya, Merry dan Pippin harus menunggu berjam-jam agar pemimpin Ent menyampaikan kepada hadirin rapat, kalimat yang butuh kurang dari semenit jika disampaikan menggunakan bahasa Indonesia "Dua orang hobit ingin kita membantu mereka berperang". 

Bisa dimaklumi, pohon tidak butuh bahasa seefisien kita karena tidak melakukan kolaborasi dan perencanaan besar seperti halnya manusia, mereka bahkan tidak saling berbicara selama ratusan tahun, sehingga tidak butuh bahasa kompleks seperti punya manusia

Di dunia nyata, kita terus-menerus berusaha menyederhanakan konsep-konsep besar tanpa menimbulkan salah tafsir. Rumus fisika, istilah kedokteran, politik, dan semua cabang ilmu pengetahuan sudah dan terus mengembangkan istilah-istilah singkat untuk memahami konsep-konsep besar, bahkan terkadang konsep yang butuh ratusan halaman disederhanakan dalam satu kata saja. Tujuannya tentu saja, agar komunikasi menjadi lebih efisien dan tidak membuang banyak waktu. 

Untuk itu, sekali lagi, kehadiran bahasa baru sepatutnya dirayakan sebagai kreatifitas berpikir manusia; dan sebagai bahan pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan komunikasi kita dalam menjawab tantangan perkembangan zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun