Menjadi hakim kadangkala harus berhadapan dengan banyak orang yang tidak puas. Atau bahkan menghadapi segelintir orang, tapi punya kekuatan dan kekuasaan.
Anda mungkin tidak ingat, atau lupa, atau memang tidak tahu mengenai Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita? Bagaimana kalau Tommy Suharto? Nama pertama adalah korban pembunuhan dari nama yang kedua. Menjadi hakim pemutus perkara sensitif bisa berarti bertaruh nyawa.
Tapi di Indonesia, hakim dihina-dicaci maki, dianggap rendah dan pendusta, dianggap korup, lebih rendah dari binatang. Penyebabnya satu, hakim tidak memutuskan perkara sesuai selera sebagian orang. Tidak usah jauh-jauh, ingat kasus LHI atau makian kepada Bp. Hamdan Zoelfa?
Bahwa ada hakim yang korup atau tidak amanah, ya ada. Tapi sekali lagi itu persoalan yang berbeda dengan profesinya.
4. Penyelenggara pemilu (KPU).
Ini profesi musiman.
Maksudnya ada musimnya dihujat dan dihina, sesuai dengan berlangsungnya pemilu. Tuduhan yang paling baru adalah curang, menjadi antek pemerintah, tidak netral, bahkan dituduh membantai petugas KPPS. Lho?
Padahal penyelenggaraan pemilu itu bukan sesuatu yang sederhana. Mudah berhitung dari 1 sampai 2 juta. Bagaimana menghitung lebih dari 150 juta tanpa boleh ada kesalahan satu angka pun? Itulah yang harus dilakukan oleh KPU. KPU bekerja berdasarkan UU yang dibuat oleh DPR, terikat aturan, ada ilmu khusus penyelengaraan pemilu.
Padahal selain KPU ada beberapa perangkat pemilu, ada KPU, ada Bawaslu, ada pengawas independen, ada saksi-saksi, ada "barang bukti" berupa dokumen yang diterima semua pihak, diperiksa berkali-kali sebelum diputuskan kebenaran catatannya. Setelah itu semua pihak tanda tangan. Kalau ada kesalahan, bisa diprotes untuk diperbaiki. Bagaimana caranya mencurangi dokumen?
Tapi tentu saja ketidakpuasan akibat kekalahan selalu menghasilkan amarah. Dicari-cari kesalahan, seakan menjadi pelaksana pemilu itu melaksanakan kerja hina yang penuh kebohongan.