Mohon tunggu...
Irpanudin .
Irpanudin . Mohon Tunggu... Petani - suka menulis apa saja

Indonesianis :) private message : knight_riddler90@yahoo.com ----------------------------------------- a real writer is a samurai, his master is truth, his katana is words. -----------------------------------------

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Profesi-profesi Korban Fanatisme Politik

27 Mei 2019   14:53 Diperbarui: 28 Mei 2019   09:07 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi hakim kadangkala harus berhadapan dengan banyak orang yang tidak puas. Atau bahkan menghadapi segelintir orang, tapi punya kekuatan dan kekuasaan.

Anda mungkin tidak ingat, atau lupa, atau memang tidak tahu mengenai Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita? Bagaimana kalau Tommy Suharto? Nama pertama adalah korban pembunuhan dari nama yang kedua. Menjadi hakim pemutus perkara sensitif bisa berarti bertaruh nyawa.

gambar: soidergi.com
gambar: soidergi.com

Tapi di Indonesia, hakim dihina-dicaci maki, dianggap rendah dan pendusta, dianggap korup, lebih rendah dari binatang. Penyebabnya satu, hakim tidak memutuskan perkara sesuai selera sebagian orang. Tidak usah jauh-jauh, ingat kasus LHI atau makian kepada Bp. Hamdan Zoelfa?

Bahwa ada hakim yang korup atau tidak amanah, ya ada. Tapi sekali lagi itu persoalan yang berbeda dengan profesinya.

4. Penyelenggara pemilu (KPU).

Ini profesi musiman.

Maksudnya ada musimnya dihujat dan dihina, sesuai dengan berlangsungnya pemilu. Tuduhan yang paling baru adalah curang, menjadi antek pemerintah, tidak netral, bahkan dituduh membantai petugas KPPS. Lho?

Padahal penyelenggaraan pemilu itu bukan sesuatu yang sederhana. Mudah berhitung dari 1 sampai 2 juta. Bagaimana menghitung lebih dari 150 juta tanpa boleh ada kesalahan satu angka pun? Itulah yang harus dilakukan oleh KPU. KPU bekerja berdasarkan UU yang dibuat oleh DPR, terikat aturan, ada ilmu khusus penyelengaraan pemilu.

Padahal selain KPU ada beberapa perangkat pemilu, ada KPU, ada Bawaslu, ada pengawas independen, ada saksi-saksi, ada "barang bukti" berupa dokumen yang diterima semua pihak, diperiksa berkali-kali sebelum diputuskan kebenaran catatannya. Setelah itu semua pihak tanda tangan. Kalau ada kesalahan, bisa diprotes untuk diperbaiki. Bagaimana caranya mencurangi dokumen?

Tapi tentu saja ketidakpuasan akibat kekalahan selalu menghasilkan amarah. Dicari-cari kesalahan, seakan menjadi pelaksana pemilu itu melaksanakan kerja hina yang penuh kebohongan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun