"Kebrutalan dalam menyetir dilengkapi dengan ketololan gue dalam menghadapi jalan." (hal.2)
"Tragedi kolor membawa gue kembali ke tahun 1991, saat masih TK." (hal.19)
"Waktu itu gue masih SD dan gue masih bengong saat denger dua kata itu pertama kali dari mulut nyokap gua: cinta monyet." (hal.27)
"Padahal gue baru aja pulang dari liburan di Jakarta, kembali kuliah di Adelaine, Australia." (hal.77)
Salah satu latar sosial yang Dika ambil ialah keadaan di kota Perth. Ketika dia berada di Perth dia merasa kebingungan dan kesusahan dalam berkomunikasi karena menurutnya semua orang berbicara Bahasa Inggris dengan nada yang sangat cepat. Keadaan bangunan-bangunannya yang membuat keadaan diri tidak nyaman karena suasana gelapnya.
 "Bangunan gelap di berbagai sisi dengan batu bata merah yang agak basah membuat hari yang gue lalui ibarat hari yang indah untuk bunuh diri." (halm. 112)
"Di dunia nyata, bule-bule berbicara dengan kecepatan dengan kecepatan yang engga bisa disaring oleh kuping gue ini." (halm.112)
Dika memnceritakan semua pengalamannya melalui prespektif dirinya sendiri. Dia menggunakan kata "gue" untuk menceritakan semua kisah-kisahnya. Dalam kata lain sudut pandang yang ada di novel ini adalah sudt pandang orang pertama. Ini sudah terlihat dari awal sejak ia menceritakan kisahnya,
"Gue dulu punya bom-bom car." (hal. 1)
Dika pun menuliskan novelnya dengan bahasa-bahasa yang bisa kita sebut dengan bahasa-bahasa kekinan, dimana dia mengganti kata bapak dengan sebutan 'bokap' dan ibunya dengan istilah "nyokap." Terdapat bahasa-bahasa yang memang tidak disaring terlebih dahulu atau bisa kita sebut dengan vulgar.
"Bokap gua punya fetish sama kolor." (hal.17) Â Â Â Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!