Para bocah mendapatkan hiburan sejak kemarin dengan adanya sapi Bali, domba Garut dan kambing. Wajah mereka ceria dan gembira, seakan ada binatang berkumpul dijadikan satu di tanah lapang.
Proses penyembelihan pun, menjadikan aktifitas para warga. Mereka membantu memotong dan mencincang daging kurban setelah disembelih dan dikuliti sang jagal. Bapak-bapak, ibu-ibu, tua-muda, dengan bekal pisau, golok, kampak dan timbangan, gotong-royong saling bahu membahu menjadikan daging kurban dalam potongan. Â
Kantung-kantung daging seberat satu kilogram pun siap bagi. Dan tak lama, warga seputar kampung dan tetangga kampung berduyun-duyun menerima kantung daging dan segala rupanya.
Kejadian tahun yang lalu masih terekam baik dalam memori, pak Udin, warga kampung di ujung lapangan tempat penyembelihan.
***
Pak Udin, Â saat ini hidup sebatang kara, isterinya telah meninggal empat bulan yang lalu. Kedua anaknya telah merantau di kota lain. Tahun yang lalu, semua berkumpul lengkap, isteri, anak, menantu dan cucu.Â
Harapannya, anak, cucu dan menantu bisa menemaninya di malam takbiran ini. Semuanya hanya tinggal harapan, kepatuhan warga kampung akan himbauan tetap di rumah, menjadikan ia melarang anaknya untuk pulang kampung.
Tanah lapang yang terhampar di depan rumahnya pun sepi.Â
Tak tampak hewan kurban yang ditali di sana. Juga tak ada suara tawa dan canda dari anak-anak kampung seperti tahun yang lalu. Suara embikan kambing dan domba, tak terdengar. tak ada api pun tak ada bunyi menguak.Â
Keramaian dan keriuhan para warga berkumpul memotong dan membagikan daging kurban, tak ada jua. Bentangan tali rafia tak dipasang begitu pula dengan barisan shaf sholat ied, sisi lain lapangan itu. Semua sepi, semua tak tampak. Hanya hamparan rumput luas yang sedikit bergoyang disapu sepoi angin.
Tangisnya di dalam hati. Sudah tiga jumatan, ia tak bisa ke surau.Â