Mohon tunggu...
djarot tri wardhono
djarot tri wardhono Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis apa saja, berbagi dan ikut perbaiki negeri

Bercita dapat memberi tambahan warna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gema Takbir dalam Kesunyian

21 Juli 2021   14:14 Diperbarui: 21 Juli 2021   14:18 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak ada orang yang berajakan menuju surau dimana takbir dikumandangkan. Himbauan "tetap di rumah", ditaati dengan perasaan sedih. Takbir yang dikumandangkan berulang kali tak ada sautan serempak di surau itu. Kampung itu, menyambut seruan takbir dengan sunyi. Mereka menjawab seruan takbir di rumah masing-masing.

Jalan terasa lengang, tak ada barisan anak-anak dan remaja mengumandangkan takbir di  malam itu. Semua berdiam diri di rumah, dan menyerukan takbir dari kediaman masing-masing. Balasan takbir dari surau, seakan terdengar geremeng-geremeng. Situasinya tak sesemarak di tahun-tahun yang lalu. Pun, juga di tahun kemarin yang dalam kondisi pandemik covid.  

***

Anak-anak sudah berkumpul di depan surau. Ada yang dibuatkan obor dan juga lampion. Mereka sangat antusias menunggu malam takbiran. Yang remaja, sibuk menyiapkan bedug dari tong bekas. 

Kulit domba yang menutupi salah satu lubang tong mulai dikencangkan dan distel bunyinya. Dug….dug….dug…..tek, mereka mencoba menalukan stik pemukul bedug. Suasana meriah di semburat kemerahan awan di ufuk barat.

Gema adzan pun berkumadang, menghentikan semua aktifitas di halaman surau. 

Anak-anak dan remaja, menuju tempat wudhu untuk bersiap sholat maghrib. Dan setelah sholat, imam mulai mengucapkan takbir dan disahut semua jamaah sholat yang berada di dalam surau. Suara takbir sahut menyahut. Dari suara cempreng para bocah hingga suara serak anak akil baliq

Semuanya menyambut dengan wajah gembira, menyongsong esok hewan qurban akan disembelih. Sahutan takbir pun mulai diiringi dengan bedug yang bertalu-talu.

Dan selepas sholat isya’, pawai lampion dan obor mulai dijalankan dengan barisan yang tertib. Pak Haji Akbar, imam surau, memimpin pelepasan pawai takbir keliling kampung. 

Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar…Laa ilaha illahu akbar. Dan barisan pun mulai berkeliling kampung, dan disambut para orang tua di pagar rumah mereka. Malam itu kumandang takbir, menggema dan sambung menyambung dengan alunan suara banyak orang.

Esok harinya, sebelum dilaksanakan sholat Ied, anak-anak berkerumun di sekitar lapangan tempat sapi dan kambing yang diikat. Mereka mengambil rumput dan memberikan pada hewan kurban milik warga. 

Para bocah mendapatkan hiburan sejak kemarin dengan adanya sapi Bali, domba Garut dan kambing. Wajah mereka ceria dan gembira, seakan ada binatang berkumpul dijadikan satu di tanah lapang.

Proses penyembelihan pun, menjadikan aktifitas para warga. Mereka membantu memotong dan mencincang daging kurban setelah disembelih dan dikuliti sang jagal. Bapak-bapak, ibu-ibu, tua-muda, dengan bekal pisau, golok, kampak dan timbangan, gotong-royong saling bahu membahu menjadikan daging kurban dalam potongan.  

Kantung-kantung daging seberat satu kilogram pun siap bagi. Dan tak lama, warga seputar kampung dan tetangga kampung berduyun-duyun menerima kantung daging dan segala rupanya.

Kejadian tahun yang lalu masih terekam baik dalam memori, pak Udin, warga kampung di ujung lapangan tempat penyembelihan.

***

Pak Udin,  saat ini hidup sebatang kara, isterinya telah meninggal empat bulan yang lalu. Kedua anaknya telah merantau di kota lain. Tahun yang lalu, semua berkumpul lengkap, isteri, anak, menantu dan cucu. 

Harapannya, anak, cucu dan menantu bisa menemaninya di malam takbiran ini. Semuanya hanya tinggal harapan, kepatuhan warga kampung akan himbauan tetap di rumah, menjadikan ia melarang anaknya untuk pulang kampung.

Tanah lapang yang terhampar di depan rumahnya pun sepi

Tak tampak hewan kurban yang ditali di sana. Juga tak ada suara tawa dan canda dari anak-anak kampung seperti tahun yang lalu. Suara embikan kambing dan domba, tak terdengar. tak ada api pun tak ada bunyi menguak. 

Keramaian dan keriuhan para warga berkumpul memotong dan membagikan daging kurban, tak ada jua. Bentangan tali rafia tak dipasang begitu pula dengan barisan shaf sholat ied, sisi lain lapangan itu. Semua sepi, semua tak tampak. Hanya hamparan rumput luas yang sedikit bergoyang disapu sepoi angin.

Tangisnya di dalam hati. Sudah tiga jumatan, ia tak bisa ke surau. 

Sekarang pun, untuk sekedar bersholat Ied pun, ia pun tak bisa. Bukan karena tak mampu tetapi memang imam surau sudah membuat keputusan setelah berkonsultasi dengan para kyai. Tak terasa leleh air matanya membasahi pipi, ditengah alunan takbir yang dikumandangkannya.

***

Pak Udin, sendiri mengumandangkan takbir. Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar…Wa lillahilhamd…tabirnya terasa kelu. Terucap, terdengan tapi juga tertahan.  Sedih tak bisa beribadah seperti biasanya, sendu dengan kesendiriannya.
“Takbirku dalam sepi”, gumamnya dalam hati.
 

Depok, 20 Juli 2021

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun