Seperti pemberitaan di kompas.com bahwa terjadi dampak pengurangan tenaga kerja di perusahaan otobus (Pandemi Bikin 6.328 Pekerja Bus AKAP dan Pariwisata Kena PHK,28/04/2020). Jumlahnya dirumahkan bahkan hingga ribuan orang.
Dengan asumsi bahwa mereka adalah tulang punggung keluarga dalam memberikan penghidupan, maka akan lebih besar orang yang terdampak. Angkanya bisa sampai puluhan ribu.
Di sisi lain, juga ada berita yang menyatakan bahwa terdapat potensi penyebaran virus Covid-19 di transportasi massal (KCI: Tiga dari 325 Penumpang KRL Jakarta-Bogor Positif Covid-19, 04/05/202).
Transportasi tak bisa dilepaskan dengan kerumunan orang, apalagi dengan jumlah di atas 5 orang. Hampir semua moda transportasi umum mengangkut jumlah orang yang relatif banyak. Mungkin hanya angkutan umum yang bersifat privat seperti taksi yang relatif sedikit orang yang diangkut.
*
Transportasi sebagai vector*). Dari perspektif epidemiologis, pergerakan orang melalui transportasi dapat dianggap sebagai vektor, ini tentunya untuk sistem transportasi penumpang.
Transportasi sesuai fungsinya adalah memindahkan orang (dan tentu barang) dari satu tempat ke tempat lain. Dengan fungsi ini, transportasi memberikan peluang untuk membentuk difusi pandemi.
Wabah yang berasal dari negara lain berpotensi menular melalui sistem transportasi baik laut maupun udara. Sedangkan untuk level lokal, pergerakan orang melalui sistem transit menambah peluang tersebut.
Di sisi lain, transportasi memiliki ruang publik baik bandara, pelabuhan, stasiun maupun terminal, tempat banyak orang berkumpul. Dan tentunya ruang publik yang lebih sempit berada di armada atau sarana pengangkut.
Sistem angkutan massal merupakan sarana bagi para pekerja untuk melakukan aktivitasnya dalam bekerja. Kegiatan ini berkaitan erat dengan fungsi mendukung perekonomian.
Angkutan massal sesuai namanya memiliki tingkat kepadatan penumpang yang tinggi, jarak antar penumpang yang dekat, serta terjadi kontak secara langsung (social distancing dan physical distancing). Angkutan seperti KRL, Trans Jakarta, Metromini, Angkot, sudah pasti memiliki tingkat kepadatan yang tinggi. Hal ini menimbulkan risiko terhadap kontaminasi antar penumpang.
Opsi mematikan sistem angkutan umum dalam mengurangi risiko penularan, telah juga dilakukan di beberapa negara yang memutuskan untuk lockdown.
Namun ada juga sistem transit dibiarkan tetap beroperasi selama pandemi, dengan melakukan pengurangan frekuensi layanan dan juga pembatasan jumlah penumpang. Hal ini tentunya akan menurunkan permintaan komuter, kepadatan penumpang dalam sistem angkutan umum pun menurun.
Dalam dokumen perencanaan nasional, pertumbuhan ekonomi salah satunya di dukung oleh sektor transportasi. Transportasi modern merupakan salah satu fungsi dari rantai pasok sebagai media distribusi barang.
Keunggulan komparatif dan manajemen rantai pasokan yang rinci dan memiliki ketergantungan terhadap waktu dan pergerakan yang cepat, merupakan ciri yang diimplementasikan melalui pergerakan.
Sehingga persediaan dijaga seminimal mungkin. Kondisi seperti ini memberikan beban transportasi yang sangat besar dalam hal pengiriman tepat waktu. Hal ini hanya dibedakan pada jenis komuditasnya.
Urat nadi ekonomi yang tersemat di sektor transportasi pada rantai pasok logistik tersebut, memberi ikutan pergerakan orang. Orang akan bergerak untuk melakukan negosiasi, pengawasan dan kontrol pada jalur-jalur titik distribusi. Keterkaitan ekonomi global, regional dan lokal, dengan rantai pasokan, menjadikan satu kesatuan sistem.
***
Dua peran transportasi tersebut di atas, dalam posisi yang bertolak belakang. Terletak di kutub yang berbeda. Pandemi yang terjadi tentunya memilih untuk menghentikan pergerakan orang melalui transportasi.
Di sisi lain itu pula, pergerakan barang pun akan mendapatkan pengaruh dari minimalisasi pergerakan itu. Gangguan sekecil apa pun dalam rantai pasok dapat menghentikan beberapa aspek kehidupan kontemporer.
Penularan virus secara global, salah satunya ditengarai melalui transportasi udara. Hal ini menyebabkan permintaan perjalanan udara menjadi menukik dramatis selama pandemik.
Pembatasan terhadap aktivitas berkumpul, menyebabkan pembatalan acara konferensi, kegiatan wisata dan juga kompetisi olah raga. Hal ini menyebabkan bandara kehilangan konektivitas dan juga peluang layanan kargo.
Untuk tingkat lokal, tuntutan pelarangan pergerakan masssal yang disuarakan beberapa pihak, dianggap menjadi satu strategi pencegahan penyebaran, selain pada himbauan untuk beraktivitas di rumah.
Di sisi lain terdapat mobilitas individu, sebagai bentuk transportasi yang aman selama pandemik. Namun biaya mobilitas individu ini relatif mahal bagi sebagian besar masyarakat. Di sisi lain, untuk dapat menjalankan aktivitasnya bagi warga yang tidak bisa melakukan aktivitasnya di rumah, tentu akan menggunakan transportasi massal.
Inilah dilema yang dihadapi transportasi, bagai buah simalakama. Antara memutus rantai penyebaran dan mendukung aktivitas ekonomi sosial. Aktivitas ekonomi baik yang bersifat makro maupun sosial ekonomi dari individu masyarakat. Negara tentunya tak akan mampu menanggung biaya hidup semua masyarakat perkotaan dalam keadaan “tidak bergerak”.
Sehingga ini yang menyebabkan kenapa angkutan massal masih diperbolehkan jalan. Ini untuk memenuhi pergerakan orang berpenghasilan rendah. Di sisi lain, angkutan massal KRL telah berkurang cukup drastis hingga dibawah 8% daya angkut harian. Meski secara prosentase kecil namun angka jumlah penumpangnya masih ribuan.
Jadi apakah pilihannya menghindar sebagai vektor atau menggerakkan roda ekonomi. Dua hal yang tidak bisa dihindari. Akhirnya posisi tengah sebagai jalan kompromi.
Kompromi yang dilakukan seperti yang diterapkan pada KRL, MRT dan Trans Jakarta, adalah pengurangan frekuensi perjalanan dan juga pembatasan kapasitas angkutan.
Pihak penumpang diwajibkan menggunakan pelindung diri berupa masker sebagai tindak pencegahan terhadap potensi penularan. Semoga kompromi ini dapat menjawab dilema transportasi tersebut dan
*) Dr. Jean-Paul Rodrigue, Dr. Thomas Luke (Department of Virology, Naval Medical Research Center) and Dr. Michael Osterholm (Director of the Center for Infectious Disease Research and Policy (CIDRAP), University of Minnesota)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H