Mohon tunggu...
Adi Gunawan
Adi Gunawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Seorang jurnalis, penulis dan blogger. Aktif dalam kegiatan di alam bebas, outbound dan travel agent.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Zero City: Selamat (Part 2)

24 Februari 2023   19:06 Diperbarui: 24 Februari 2023   19:55 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Zero City. Ilustrasi gambar: Deviantart/darkthespark

Ruang Isolasi Blok B Pusat Imigrasi Kota Zero tiba-tiba terjadi keributan. Tubuh Grace terasa sangat dingin dan pucat. Jalannya sudah goyah, dadanya sangat sesak, dan napasnya sangat berat.

"50 menit sebelum kericuhan di Ruang Isolasi Blok B terjadi"

Pukul 10 malam, Thomas dan David bergegas menuju lorong berdinding baja, menuju petugas yang sedang berjaga. Mereka membekap dua petugas hingga tak sadarkan diri dan mengambil senjata api yang mereka gunakan. Hanya butuh waktu 20 menit untuk membuat kekacauan sebelum petugas sadar kembali.

"Thom, virusnya hilang," kata David.

"Apa? Kau gila. Bedebah, kita tak ada waktu untuk mencarinya."

"Bagaimana ini?"

"Gunakan ini, tancapkan ke anak perempuan itu," pinta Thomas, sambil mengikuti David menuju ruangan Grace dan ayahnya menjalani isolasi.

Mereka tiba di Ruang 103 B dan menemukan pintu dalam keadaan terkunci. Thomas menggedor penghalang baja itu dengan cukup kuat, "Cepat buka pintunya, ini Petugas!" Ayah Grace membuka pintu dan dihadapkan dengan permintaan pemeriksaan kartu bungker mereka.
Ayah Grace menyadari sesuatu yang mencurigakan, yaitu penampilan yang kurang rapih dari Thomas dan David yang menyamar sebagai petugas. Namun, mereka berhasil memasuki ruangan itu dan David dengan cepat mengambil tiket isolasi Grace.

Jika Ayah Grace tidak menyerahkan tiket itu, Thomas mengancam akan menyuntikkan putrinya dengan virus. Akhirnya, Ayah Grace menyerahkan tiket itu, tetapi saat David menancapkan tabung kecil di lengan Grace, dia meronta dan Ayah Grace mencabut tabung itu.

Sirine kencang berbunyi dan mereka bergegas untuk keluar dari ruangan tersebut dan mengganti pakaian dan memotong rambut mereka untuk menghilangkan jejak. Situasi menjadi mencekam karena kabar bahwa Grace terpapar virus tawa menyebar dengan cepat. Seluruh petugas dipanggil untuk menangani situasi tersebut.

Ini kali pertama Grace naik dan merebahkan diri di dalam ambulans, menggigil. Demamnya tinggi dan wajahnya sedikit memar. Sepertinya ia harus mengganti baju dua kali dalam satu jam.

Sirine ambulans meraung panjang, membelah Kota Zero yang sepi menjelang dini hari, lengkap dengan pengawalan ketat. Kantor Berita Kota Zero telah bergegas mengabadikan momen langka dalam masa-masa mencekam.

Malam telah memasuki jam-jam yang larut. Grace tersenyum lebar dan menahan tawa sampai berkeringat di seluruh tubuhnya. Tim medis memberitahunya bahwa virus tawa ini akan lebih cepat menyebar ke dalam tubuh jika pasien terinfeksi tidak bisa menahannya.

"Ya Tuhan, apa yang terjadi? Paru-paruku rasanya ingin pecah. Kenapa ini begitu lucu dan sulit untuk ditahan?" gumam Grace. Seorang petugas medis membekap mulutnya dengan sebuah karet.

"Maaf Ny. Grace, kamar rawat khusus pasien terinfeksi kami penuh. Silakan cari rumah sakit lain," kata seorang suster sambil memperbaiki infus Grace yang sedang mengeluarkan darah.

Dalam keadaan terhenyak, Grace berusaha menghubungi ayahnya yang terpisah darinya saat kerusuhan tadi. Sementara itu, petugas medis mencari ruangan untuk Grace agar dapat menerima perawatan intensif.

Dalam keadaan sesak dan berkeringat, akhirnya Grace tiba di sebuah kamar yang kosong. Oksigen di hidungnya membuat penglihatannya semakin buram dan akhirnya ia pingsan.

"Apakah perempuan itu baik-baik saja?" tanya David.

"Hey, tenang saja, itu hanya virus tawa jenis pertama. Tidak akan membuatnya mati," jawab Thomas.

Setelah kerusuhan, petugas melakukan pendataan ulang. Beberapa pendatang meninggalkan ruangan isolasi dan memutuskan untuk kembali. Beberapa pendatang yang memiliki tiket eksklusif dipindahkan ke tempat isolasi Blok A, termasuk David dan Thomas.

***

Grace terbangun dari tidurnya yang panjang selama seminggu. Ia merasa linglung dan mencoba mengingat kembali apa yang telah terjadi. Ayahnya tidak diketahui keberadaannya.

Sebuah tim medis datang untuk memeriksa kondisi fisik Grace. Suster Jenie merawat Grace selama seminggu dan memberitahunya bahwa ayahnya masih tertahan di pusat isolasi. Mendengar itu, Grace menghela napas.

"Darimana asal virus ini, Sus? Apakah virus ini ciptaan manusia?" tanya Grace.

Jenie hanya tersenyum dan melepaskan infus yang terhubung ke tangan Grace. "Besok kamu boleh pulang. Kamu memiliki kekebalan tubuh yang cukup untuk menangkal virus yang telah bertarung di dalam tubuhmu selama seminggu ini. Namun, kamu harus tetap berhati-hati karena virus ini telah bermutasi."

Grace bertanya lagi, "Apakah orang seperti saya dilarang mengetahui asal muasal virus ini?"

Jenie memberitahu Grace bahwa virus ini berasal dari mutasi virus orangutan yang sengaja dilakukan oleh seseorang yang belum diketahui siapa pelakunya. Virus ini seperti virus monyet gila yang menular melalui nyamuk malaria.

Beberapa tahun lalu, para peneliti menduga bahwa kepunahan populasi orangutan disebabkan oleh adanya kelompok yang menciptakan virus dan melakukan ujicoba kepada orangutan.

Meskipun dugaan kuat mengarah pada faktor kedua, pemerintah enggan mempublikasikan hasil penelitian tersebut karena takut akan memperkeruh krisis ekonomi dan berkepanjangan.

Kota Zero dipersiapkan dengan sedemikian rupa oleh pemerintah yang telah mengetahui apa yang akan terjadi saat ini.

Jenie menjelaskan bahwa ia adalah salah satu tim peneliti yang berhasil melarikan diri. Rekan-rekannya yang tergabung dalam tim penelitian dibantai tanpa rasa kemanusiaan setelah mengungkap kejahatan tersebut.

Grace terkejut dan bertanya tentang rekan-rekan Jenie. Jenie menjawab bahwa mereka semua telah meninggal. Posisinya seharusnya diisi oleh saudara kembarnya, namun ia yang terpilih. Ia memberikan kartu namanya kepada Grace untuk membantunya di masa depan.

Saat Jenie meninggalkan ruangan, seorang pria berjaket kulit bersandar di dinding. Ia berkata bahwa Jenie seharusnya tidak berbohong kepada Grace.

Jenie tidak menggubris dan berjalan pergi. Pria itu pun berusaha menyusulnya dengan pertanyaan mengenai rencana restorasi dan balas dendam.

"Kau tahu, Al. Kehilangan satu-satunya orang yang kita cintai itu sangat menyakitkan. Kau tak akan bisa mengerti. Dan kau tahu, perempuan itu baru saja pulih."

"Kenapa kau memilihnya untuk bergabung?"

"Entah, aku meyakini dia mampu dan memiliki tekad yang sama denganku. Aku merasakan dia memiliki kemampuan yang terpendam."

***

Rombongan pejabat sedang melintasi pemukiman Kota Zero dengan pengawalan yang sangat ketat. Di hari itu, diadakan sebuah pertemuan besar untuk membahas proyeksi penyelesaian akar masalah pandemi wabah. Tampak seorang seperti tunawisma yang kurang waras mengolok-olok rombongan yang melakukan peninjauan dengan berjalan kaki.

Dia bernyanyi dengan nada sumbang, "Manusia membayar semuanya. Sisa-sisa. Sia-sia. Percuma. Hutan hancur lebur, binatang mati. Hayo siapa yang jadi tumbuhan? Manusia ditanam. Hayo siapa yang akan jadi binatang? Anda mau Presiden?"

Presiden bertanya kepada Wali Kota Zero, "Bagaimana bisa orang gila itu bisa berada di kota ini? Bukankah para pemilik bunker menarik harga yang begitu tinggi?"

"Izin Pak Presiden, dia adalah ayah dari salah satu pemilik saham terbesar proyek Kota Zero ini," jawab Wali Kota. "Anda tidak perlu khawatir, Pak Presiden. Semua penduduk di kota ini telah dinyatakan bebas dari virus melalui penelitian medis."

Nyanyian tunawisma itu terhenti, "Hai, Nona. Apa orang tua sepertiku ini baru pertama melihatmu di kota ini?"

"Wah, Anda benar, Pak. Saya baru datang di hari ini."

Sambil membangkitkan tubuhnya yang bergetar, dia mengajak Grace singgah di bunker miliknya. "Nona sangat cantik, maukah berkenalan dengan anak laki-lakiku?" kata Jack kepada Grace.

Grace tersenyum. Ia merasakan sosok ayahnya pada orang tua tersebut. Dia pun tidak keberatan untuk singgah di bunker milik keluarga orang tua yang biasa dipanggil Jack oleh warga kota.

"Oke baiklah, Nona. Ikuti aku," sambil melangkah, Jack bertanya, "Oh ya, apakah kau datang ke kota ini sendiri?"

"Aku belum mengetahui di mana keberadaan ayah saat ini, kami terpisah," jawab Grace.

"Ohh baiklah. Aku tidak keberatan jika orang gila ini dipanggil Ayah oleh anak perempuan cantik sepertimu."

"Ahhh.. baiklah, Ayah!"

"Siapa namamu, Nak?"

"Grace."

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun