Mohon tunggu...
De Baron Martha
De Baron Martha Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I am an architect of my own life.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Vacuum Cleaner

29 Oktober 2014   10:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:20 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kenapa ayah tak juga pulang, bu?” Tanyaku pada suatu sore yang muram, ketika wanita paruh baya berwajah sendu itu sedang sibuk membersihkan ruang tamu dengan sebuah vacuum cleaner.

“Jangan menunggunya lagi.” Jawabnya tanpa menatapku.

“Kenapa?” Aku mendesak sambil terus menatapnya membersihkan debu-debu yang menempel di karpet besar itu.

“Kau masih terlalu kecil untuk mengerti.” Ucapnya datar. Masih juga tanpa menatapku.

Mungkin dia benar. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti segalanya. Aku belum genap berumur tujuh tahun kala itu. Kala aku menanyakan tentang ayah yang tak kunjung pulang.

Dan mungkin juga aku memang terlalu kecil kala itu, untuk menanyakan kenapa aku dilahirkan dari kedua orangtua yang tak juga bisa mengeja kata cinta dengan benar.

Seingatku, belum pernah sekalipun aku mendengar ayah dan ibuku saling mengucapkan kata cinta. Sama sekali. Entah, mungkin lidah mereka tak tercipta untuk mengucapkannya. Atau bisa saja dengan mengucap kata cinta, itu bisa membuat mereka terbunuh. Aku hanya bisa menduga-duga, tak lebih. Karena, bagi mereka, aku masih terlalu kecil untuk diberi kesempatan bertanya.

Bahkan, makan malam kami selalu mendingin lebih cepat karena kebisuan yang membekukan apapun yang ada di atas meja makan. Bahkan, menu sarapan kami selalu terasa hambar karena semua rasa telah direnggut entah oleh siapa.

Dan begitulah hari-hariku. Hari-hari kami. Aku melewatinya tanpa bertanya. Tanpa ada kata kenapa. Aku hanya menjadi penonton yang sama sekali tak menyukai opera penuh kebencian yang dimainkan oleh ayah dan ibuku.

Aku tak menyukai satu adegan ketika ibuku menangis sambil mencuci piring di wastafel dapur. Aku juga tak menyukai adegan lain ketika ayahku melemparkan apapun yang bisa dilemparnya ke arah tembok. Telingaku menjadi perih, setiap kali suara pecahan gelas dan bantingan kursi terekam olehnya. Mataku menjadi merah berair, sewaktu ibuku terkapar tersapu ayunan tangan kekar milik ayahku.

Dan aku bingung mendapati diriku yang seperti itu. Adakah yang salah dengan indera pendengaran dan penglihatanku? Apakah aku menderita alergi terhadap suara benturan atau adegan penamparan? Ah, aku masih terlalu kecil kala itu untuk menemukan jawabannya.

Karena aku tak mau telinga dan mataku menderita lebih parah lagi, aku memutuskan untuk membangun duniaku sendiri. Di dalam kamarku. Bermain lego atau mengobrol dengan poster Superman yang kutempel di tembok samping ranjangku.

Aku merasa lebih tenang di sana. Aku merasa lebih baik dengan mengunci pintu kamarku dan membenamkan diri dengan menyusun lego demi lego yang bisa kubentuk sesuka hatiku. Atau bercerita tentang apapun dengan Superman. Dia memang tak pernah menjawabku. Tapi setidaknya dia tak pernah tak memandangku ketika aku sedang bercerita. Tak seperti ayah. Atau ibu.

Aku begitu mengidolakan Superman. Aku tak pernah ketinggalan untuk menonton episode demi episode tentang dirinya dalam Televisi di kamarku. Terkadang, aku berfikir, mungkin ada baiknya aku undang Superman untuk datang ke rumahku. Setidaknya dia bisa membasmi kejahatan seperti yang sering aku saksikan.

Bukankah Superman selalu membela mereka yang lemah? Mungkin ibuku membutuhkan Superman karena selalu saja dia tak pernah melakukan apapun, ketika ayah memberinya tamparan demi tamparan. Karena selalu saja dia hanya terpaku, tanpa berusaha mencegah ayah yang mulai membanting dan memecahkan apapun yang ada di dalam rumah.

Tapi pada akhirnya, aku tahu bahwa ibuku tak membutuhkan Superman. Dia hanya membutuhkanku. Dia hanya membutuhkan tubuh mungilku untuk dipeluknya ketika ia menangis. Dia hanya membutuhkan tawa lucuku untuk ditatapnya ketika ia merasa tak akan ada lagi senyum yang tersisa untuknya. Dan sesekali, dia membutuhkan tangan kecilku untuk mengambilkannya tisu. Tisu yang akan dia gunakan untuk menyeka air mata, dan terkadang, darah yang mengucur dari kepalanya.

Aku adalah satu-satunya kebahagiaan yang tersisa untuknya di rumah ini, kata ibuku suatu waktu. Aku adalah satu-satunya alasan yang tersisa untuknya bertahan. Dan aku tak tahu harus bagaimana, karena aku masih terlalu kecil kala itu.
Selain diriku, ibu juga membutuhkan vacuum cleanernya. Baginya, membersihkan rumah dengan alat itu, membuatnya merasa lebih nyaman. Mendengar deru suara mesinnya, membuatnya merasa lebih baik. Aku tahu itu kedengaran aneh. Tapi begitulah ibuku. Dia begitu suka menghabiskan siang dengan vacuum cleanernya. Kadang dengan menangis. Kadang dengan murung.
* * *

Dan tibalah hari itu. Aku sedang mengobrol dengan Superman, ketika sebuah pekik teriakan dan suara gelas pecah terdengar dari luar. Seperti hari-hari yang lalu, hanya kali itu lebih menyakitkan di telingaku. Aku spontan menjatuhkan diri di ranjang dan menutup telingaku rapat-rapat. Aku berusaha sekeras mungkin untuk melindungi indera pendengaranku dari rasa perih.

Tetiba, pintu kamarku –yang mungkin lupa aku kunci- terdorong dari luar. Tubuh ibuku limbung berlari masuk dan secepat kilat memeluk tubuhku. Begitu erat. Begitu memancarkan rasa takut. Tangisnya bergolak hingga air matanya mampu kurasakan membasahi pipi mungilku.

Tak lama, seorang lelaki yang kukenal sebagai ayahku, masuk dengan kemeja kantor yang berantakan dan wajah yang berkobar. Aku tak tahu ini tentang apa, karena aku masih terlalu kecil untuk mengerti. Yang kutahu hanyalah ibuku yang menangis tersedu dan memelukku dari belakang, dan ayahku dengan wajah yang membara. Bahkan panasnya mampu kurasa.

Lalu, mataku mulai merasakan perih seperti biasa. Memerah dan mulai basah. Ayahku menatap diriku, yang kedua tangan kecilku masih terkatup di telinga. Perlahan api di wajahnya mulai meredup, begitupun hawa panas yang kurasakan. Dadanya naik turun. Nafasnya memburu. Dan dia berlalu meninggalkan kami berdua tanpa kata. Aku dan Ibuku.

Seusai itu, baru kusadar bahwa ada memar di mata kanan ibuku, dan kaki kirinyapun membengkak. Aku tak tahu apa yang sudah terjadi. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti.
Yang aku tahu, ibuku memelukku makin erat dan menangis makin kencang setelah kepergian ayahku. Yang aku tahu, itulah saat terakhir aku melihat ayahku ada di rumah.
* * *

“Kalau ayah tidak pulang lagi, apakah ibu masih akan menangis lagi?” Aku bertanya pada perempuan paruh baya berwajah sendu yang sedang sibuk membersihkan ruang tamu dengan vacuum cleanernya.

Ibuku  menghentikan pekerjaannya sejenak. Dia taruh vacuum cleaner itu di atas karpet, lalu menghampiri dan menaruhku di atas pangkuannya. “Setelah dewasa, kamu harus mengerti satu hal. Kamu tahu guna vacuum cleaner itu?” Tanyanya sambil menunjuk alat penyedot debu itu.

Aku hanya mendongakkan kepala, menatap ke arahnya.

“Vacuum cleaner adalah alat untuk membersihkan debu dan kotoran. Agar rumah kita bersih dan segar.” Ucapnya sambil tersenyum. Senyum yang sudah lama tak kulihat menggaris di bibirnya.

Aku masih terlalu kecil untuk memahami apa yang dikatakan ibuku tentang vacuum cleaner kala itu.

Tapi waktu terus berjalan. Aku terus tumbuh. Dan hari ini, setelah aku cukup dewasa, aku kembali teringat suatu waktu dimana ibuku membersihkan debu di ruang tengah.

Kini aku mengerti; itu bukan debu. Yang tersedot oleh vacuum cleaner itu adalah serpihan tubuh ayahku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun