Mohon tunggu...
De Baron Martha
De Baron Martha Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I am an architect of my own life.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Vacuum Cleaner

29 Oktober 2014   10:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:20 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karena aku tak mau telinga dan mataku menderita lebih parah lagi, aku memutuskan untuk membangun duniaku sendiri. Di dalam kamarku. Bermain lego atau mengobrol dengan poster Superman yang kutempel di tembok samping ranjangku.

Aku merasa lebih tenang di sana. Aku merasa lebih baik dengan mengunci pintu kamarku dan membenamkan diri dengan menyusun lego demi lego yang bisa kubentuk sesuka hatiku. Atau bercerita tentang apapun dengan Superman. Dia memang tak pernah menjawabku. Tapi setidaknya dia tak pernah tak memandangku ketika aku sedang bercerita. Tak seperti ayah. Atau ibu.

Aku begitu mengidolakan Superman. Aku tak pernah ketinggalan untuk menonton episode demi episode tentang dirinya dalam Televisi di kamarku. Terkadang, aku berfikir, mungkin ada baiknya aku undang Superman untuk datang ke rumahku. Setidaknya dia bisa membasmi kejahatan seperti yang sering aku saksikan.

Bukankah Superman selalu membela mereka yang lemah? Mungkin ibuku membutuhkan Superman karena selalu saja dia tak pernah melakukan apapun, ketika ayah memberinya tamparan demi tamparan. Karena selalu saja dia hanya terpaku, tanpa berusaha mencegah ayah yang mulai membanting dan memecahkan apapun yang ada di dalam rumah.

Tapi pada akhirnya, aku tahu bahwa ibuku tak membutuhkan Superman. Dia hanya membutuhkanku. Dia hanya membutuhkan tubuh mungilku untuk dipeluknya ketika ia menangis. Dia hanya membutuhkan tawa lucuku untuk ditatapnya ketika ia merasa tak akan ada lagi senyum yang tersisa untuknya. Dan sesekali, dia membutuhkan tangan kecilku untuk mengambilkannya tisu. Tisu yang akan dia gunakan untuk menyeka air mata, dan terkadang, darah yang mengucur dari kepalanya.

Aku adalah satu-satunya kebahagiaan yang tersisa untuknya di rumah ini, kata ibuku suatu waktu. Aku adalah satu-satunya alasan yang tersisa untuknya bertahan. Dan aku tak tahu harus bagaimana, karena aku masih terlalu kecil kala itu.
Selain diriku, ibu juga membutuhkan vacuum cleanernya. Baginya, membersihkan rumah dengan alat itu, membuatnya merasa lebih nyaman. Mendengar deru suara mesinnya, membuatnya merasa lebih baik. Aku tahu itu kedengaran aneh. Tapi begitulah ibuku. Dia begitu suka menghabiskan siang dengan vacuum cleanernya. Kadang dengan menangis. Kadang dengan murung.
* * *

Dan tibalah hari itu. Aku sedang mengobrol dengan Superman, ketika sebuah pekik teriakan dan suara gelas pecah terdengar dari luar. Seperti hari-hari yang lalu, hanya kali itu lebih menyakitkan di telingaku. Aku spontan menjatuhkan diri di ranjang dan menutup telingaku rapat-rapat. Aku berusaha sekeras mungkin untuk melindungi indera pendengaranku dari rasa perih.

Tetiba, pintu kamarku –yang mungkin lupa aku kunci- terdorong dari luar. Tubuh ibuku limbung berlari masuk dan secepat kilat memeluk tubuhku. Begitu erat. Begitu memancarkan rasa takut. Tangisnya bergolak hingga air matanya mampu kurasakan membasahi pipi mungilku.

Tak lama, seorang lelaki yang kukenal sebagai ayahku, masuk dengan kemeja kantor yang berantakan dan wajah yang berkobar. Aku tak tahu ini tentang apa, karena aku masih terlalu kecil untuk mengerti. Yang kutahu hanyalah ibuku yang menangis tersedu dan memelukku dari belakang, dan ayahku dengan wajah yang membara. Bahkan panasnya mampu kurasa.

Lalu, mataku mulai merasakan perih seperti biasa. Memerah dan mulai basah. Ayahku menatap diriku, yang kedua tangan kecilku masih terkatup di telinga. Perlahan api di wajahnya mulai meredup, begitupun hawa panas yang kurasakan. Dadanya naik turun. Nafasnya memburu. Dan dia berlalu meninggalkan kami berdua tanpa kata. Aku dan Ibuku.

Seusai itu, baru kusadar bahwa ada memar di mata kanan ibuku, dan kaki kirinyapun membengkak. Aku tak tahu apa yang sudah terjadi. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti.
Yang aku tahu, ibuku memelukku makin erat dan menangis makin kencang setelah kepergian ayahku. Yang aku tahu, itulah saat terakhir aku melihat ayahku ada di rumah.
* * *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun