Muasal Jilbab
Dalam rentang sejarahnya, praktik ber-jilbab telah ada sebelum Islam. Jilbab, sebagai pakaian yang menutupi bagian dari kepala atau wajah, pertama kali dipakai lebih dari 5000 tahun yang lalu. Misalnya, pada abad ke-13 SM, raja-raja Assyria “telah memperkenalkan seklusi perempuan dalam harem kerajaan dan jilbab.” Di negeri Persia sebelum Islam, ada satu bukti tertulis tentang perempuan yang ber-jilbab (khususnya mereka yang menikah dengan orang-orang kaya). Menurut Stern, seperti dikutip El Guindi,[9] perempuan-perempuan Yunani dan Romawi juga memakai hijâb ketika keluar dan muncul di hadapan publik dengan menutupi kepala dan wajahnya. Namun, katanya, praktik jilbab di Semenanjung Arabia tampaknya tidak berhubungan dengan seklusi perempuan.
Dalam agama Yahudi dan Kristen, jilbab pernah dihubungkan dengan kesederhana-an dan kesopanan (definisi tentang kedua hal ini berubah sepanjang waktu). Ketika agama Kristen lahir, perempuan Yahudi menutup kepala dan wajahnya. Bukti biblikal ini, seperti dikutip El Guindi,[10] ada dalam Kitab Kejadian (Genesis) 24: 65, “Dan Rebekah mengangkat pandangannya, dan sewaktu ia melihat Ishaq …ia mengambil kerudung kepala dan menutupi dirinya.” Begitupula, dalam Corinthians II: 3-7 terdapat satu bukti bahwa, “Perempuan yang berdoa dengan kepala tidak tertutup, mencemarkan kepalanya—seakan-akan kepalanya gundul. Karena jika perempuan tidak mau menutup kepalanya, dia harus memangkas rambutnya, tetapi jika gundul memalukan bagi perempuan, hendaknya ia berkerudung. Laki-laki tidak perlu menutup kepala karena ia adalah cermin dan kemuliaan Tuhan. Sedangkan perempuan adalah kemuliaan laki-laki.” Menurut El Guindi,[11] sepanjang yang dikenal hingga saat ini, Islam tidak menemukan dan memperkenalkan praktik jilbab dalam makna seklusi dan segregasi. Praktik jilbab buat laki-laki dan perempuan telah ada sebelum Islam, seperti yang dijelaskan sebelumnya, dalam budaya-budaya Helenis (Yunani), Yahudi, Bizantium, dan Balkan. Entah itu melalui pengadopsian, penemuan kembali, atau penemuan yang independen, praktik jilbab dalam sistem-sistem sosial Arab mengembangkan satu fungsi dan makna khas yang beda daripada di wilayah Mediterania.
Islam memperkenalkan pemakaian hijâb dan jilbâb sebelum tahun 5 hijrah, yaitu ketika diturunkannya surat al-Ahzab ayat 53 di kota Madinah. Namun tidak ada bukti dan riwayat yang menyebutkan pemakaian niqâb(cadar) bagi perempuan. Pada masa-masa khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, aturan tentang berpakaian sama informalnya seperti 22 tahun sebelumnya. Dan ketika Islam menyebar melampaui wilayah kelahirannya, terutama pada masa Umayyah dan Abbasiyah (periode hampir selama 600 tahun), hanya sebagian kelas perkotaan yang memilih ber-hijâb, sekulusi atau keduanya, sebagian besar sebagai simbol status yang menggambarkan bahwa perempuan dari keluarga itu tidak perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pada masa awal dinasti Safawiyah (1500-an), praktik hijâb dianjurkan sebagai sebuah kebiasaan, sedangkan pada masa-masa akhir Safawiyah (1600-an) ia tidak begitu dianjurkan.[12]
Kontruksi Sosial
Jilbab adalah fenomena yang unik. Senantiasa bergeser dari zaman-kezaman sesuai dengan kehendak sipemakainya. Penafsirannya tidak melulu bersifat ideologi-agama, Atau sebagai alat kepatuhan pada ajaran agama. Tatkala jilbab diinterpretasi sedemikian rupa, maka ia akan mengalami kodifikasi. Sebagaimana yang di tunjukan dalam masyarakat modern, manusia dituntun untuk menunjukan dirinya (performer). Suatu gaya berpakaian (fashion) yang mempertunjukan identitas kedirian sipemakai.
Dunia dikonstruksi dan disajikan secara sosial oleh diri kita baik secara individual maupun komunal. Jilbab sebagai simbol sakralitas agama, pada realitasnya dimaknai ulang dan direpresentasi oleh subjeknya. Ia menjadi bermakna jika hadir dihadapan yang lain. Suatu subjek atau seseorang bukanlah entitas universal, melainkan efek dari bahasa yang mengkontruksi dari suatu ‘aku’ dalam tata bahasa. Subjek yang berbicara tentang performnya dalam ber-hijab dengan tidak meninggalkan aspek syariah, dan masih dalam kategori ber-iman.
Melalui jilbablah seseorang bisa mempertontonkan status sosial, ekonomi, budaya, ideologinya apakah sebagai ibu rumah tangga, wanita karier, santri, atau sekedar perempuan biasa. Pada akhirnya jilbab hanyalah alat Demonstrasi kebudayaan. Seperti yang di ungkapkan oleh Piere Bourdieu sebagai habitus. Habitus adalah penanaman seperangkat disposisi dalam manusia yang menghasilkan praktik-praktik tertentu. Artinya, kebudayaan menjadi seperangkat nilai yang diinternalisasikan dalam diri sedemikian rupa sehingga menjadi taksadar. Menurut Bourdieu sebagai ketaksadaran kebudayaan (cultural unconscious)[13]. Sipemakai jilbab melupakan makna yang dikandung dalam pakaiannya, ia lebih cendrung kepada tren berpakaian modis yang penting masih sesuai dengan aspek syariah.
Komodifikasi Jilbab