Mohon tunggu...
saeful anwar almaqtul
saeful anwar almaqtul Mohon Tunggu... nongkrong -

seseorang yang menghabiskan sisa hidupnya di kamar berukuran 3x3 meter. sering ditemani oleh caffein dan nikotin, dan setumpuk traktat bisu dan berdebu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ber [Iman] kepada Jilbab

18 Desember 2015   13:55 Diperbarui: 18 Desember 2015   14:46 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Muasal Jilbab

Dalam rentang sejarahnya, praktik ber-jilbab telah ada sebelum Islam. Jilbab,  sebagai  pakaian  yang menutupi bagian dari kepala atau wajah, pertama kali dipakai lebih  dari 5000 tahun yang lalu. Misalnya, pada abad ke-13 SM, raja-raja Assyria “telah memperkenalkan seklusi perempuan dalam harem kerajaan  dan  jilbab.”  Di negeri Persia sebelum Islam, ada satu bukti tertulis tentang perempuan yang ber-jilbab (khususnya mereka yang menikah dengan orang-orang kaya). Menurut Stern, seperti dikutip El  Guindi,[9] perempuan-perempuan  Yunani dan Romawi juga memakai hijâb ketika keluar dan muncul di hadapan publik dengan  menutupi  kepala  dan  wajahnya.  Namun,  katanya,  praktik jilbab di Semenanjung Arabia tampaknya tidak berhubungan dengan seklusi perempuan.

Dalam agama Yahudi dan Kristen, jilbab pernah dihubungkan dengan kesederhana-an dan kesopanan (definisi tentang kedua hal ini berubah sepanjang waktu). Ketika agama  Kristen lahir, perempuan Yahudi menutup kepala dan wajahnya. Bukti biblikal ini, seperti  dikutip El Guindi,[10] ada dalam Kitab Kejadian (Genesis) 24: 65, “Dan   Rebekah   mengangkat pandangannya, dan sewaktu ia melihat Ishaq …ia mengambil kerudung kepala dan menutupi dirinya.” Begitupula, dalam Corinthians II: 3-7 terdapat satu bukti bahwa,  “Perempuan  yang  berdoa  dengan  kepala  tidak  tertutup, mencemarkan kepalanya—seakan-akan kepalanya gundul. Karena jika perempuan tidak mau menutup kepalanya, dia harus memangkas rambutnya, tetapi jika gundul memalukan bagi perempuan, hendaknya  ia berkerudung. Laki-laki tidak perlu menutup kepala karena ia adalah cermin dan kemuliaan Tuhan. Sedangkan perempuan adalah kemuliaan laki-laki.” Menurut El  Guindi,[11] sepanjang  yang  dikenal  hingga  saat  ini,  Islam tidak  menemukan  dan  memperkenalkan  praktik jilbab dalam makna seklusi dan segregasi. Praktik jilbab buat laki-laki dan  perempuan telah ada sebelum Islam, seperti yang dijelaskan sebelumnya, dalam budaya-budaya Helenis (Yunani), Yahudi, Bizantium, dan Balkan. Entah itu melalui pengadopsian, penemuan kembali, atau  penemuan  yang  independen,  praktik  jilbab dalam sistem-sistem sosial Arab mengembangkan satu fungsi dan makna khas yang beda daripada di wilayah Mediterania.

Islam memperkenalkan pemakaian hijâb dan jilbâb sebelum tahun 5 hijrah, yaitu ketika diturunkannya surat al-Ahzab ayat 53 di kota Madinah. Namun tidak ada bukti dan riwayat yang menyebutkan pemakaian niqâb(cadar) bagi perempuan. Pada masa-masa khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, aturan tentang berpakaian sama informalnya seperti 22 tahun sebelumnya. Dan ketika Islam menyebar melampaui wilayah kelahirannya, terutama pada masa Umayyah dan Abbasiyah (periode hampir selama 600 tahun), hanya sebagian kelas perkotaan yang memilih ber-hijâb, sekulusi atau keduanya, sebagian besar sebagai simbol status yang menggambarkan bahwa perempuan dari keluarga itu tidak perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pada masa awal dinasti Safawiyah (1500-an), praktik hijâb dianjurkan sebagai sebuah kebiasaan, sedangkan pada masa-masa akhir Safawiyah (1600-an) ia tidak begitu dianjurkan.[12]

 

Kontruksi Sosial

Jilbab adalah fenomena yang unik. Senantiasa bergeser dari zaman-kezaman sesuai dengan kehendak sipemakainya. Penafsirannya tidak melulu bersifat ideologi-agama, Atau sebagai alat kepatuhan pada ajaran agama. Tatkala jilbab diinterpretasi sedemikian rupa, maka ia akan mengalami kodifikasi. Sebagaimana yang di tunjukan dalam masyarakat modern, manusia dituntun untuk menunjukan dirinya (performer). Suatu gaya berpakaian (fashion) yang mempertunjukan identitas kedirian sipemakai.

Dunia dikonstruksi dan disajikan secara sosial oleh diri kita baik secara individual maupun komunal. Jilbab sebagai simbol sakralitas agama, pada realitasnya dimaknai ulang dan direpresentasi oleh subjeknya. Ia menjadi bermakna jika hadir dihadapan yang lain. Suatu subjek atau seseorang bukanlah entitas universal, melainkan efek dari bahasa yang mengkontruksi dari suatu ‘aku’ dalam tata bahasa. Subjek yang berbicara tentang performnya dalam ber-hijab dengan tidak meninggalkan aspek syariah, dan masih dalam kategori ber-iman.

Melalui jilbablah seseorang bisa mempertontonkan status sosial, ekonomi, budaya, ideologinya apakah sebagai ibu rumah tangga, wanita karier, santri, atau sekedar perempuan biasa. Pada akhirnya jilbab hanyalah alat Demonstrasi kebudayaan. Seperti yang di ungkapkan oleh Piere Bourdieu sebagai habitus. Habitus adalah penanaman seperangkat disposisi dalam manusia yang menghasilkan praktik-praktik tertentu. Artinya, kebudayaan menjadi seperangkat nilai yang diinternalisasikan dalam diri sedemikian rupa sehingga menjadi taksadar. Menurut Bourdieu sebagai ketaksadaran kebudayaan (cultural unconscious)[13]. Sipemakai jilbab melupakan makna yang dikandung dalam pakaiannya, ia lebih cendrung kepada tren berpakaian modis yang penting masih sesuai dengan aspek syariah.

 

Komodifikasi Jilbab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun