Mohon tunggu...
D. Rifanto
D. Rifanto Mohon Tunggu... Konsultan - Membaca, menulis dan menggerakkan.

Tinggal di Sorong, Papua Barat. Mempunyai ketertarikan yang besar pada isu literasi dan sastra anak, anak muda serta pendidikan masyarakat. Dapat dihubungi melalui dayurifanto@gmail.com | IG @dayrifanto

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Sang Penjerat Matahari: Masarasenani

1 November 2022   14:17 Diperbarui: 2 September 2024   18:22 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masarasenani dan Matahari (sumber : pribadi)

"Masarasenani -- rua sairama, rua buema sarata, aso memu aropai dioto ainei bibara to diorota"
"Masarasenani datanglah segera, pergi dan ambil daun gatal untuk kakiku yang sakit dan bengkak oleh jeratmu"

Matahari merintih dengan sedih akibat terjerat oleh seorang manusia bernama Masarasenani. Potongan kalimat ini saya temukan pada buku kumpulan cerita rakyat Irian Jaya, yang dihimpun oleh tim peneliti dari Universitas Cenderawasih.

Para peneliti yang bagi para peminat pendidikan serta budaya akan sangat mengenal mereka. Mereka adalah Drs. August Kafiar MA, Dr. Daan C Ajamiseba, Arnold C Ap, dan V. Subiat. 

Buku dengan judul "Cerita Rakyat Daerah Irian Jaya' dan diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1983 memuat belasan cerita rakyat, dan salah satunya adalah cerita rakyat dengan judul "Masarasenani."

Sebuah cerita yang berasal dari daerah Windesi, di Teluk Wondama. Tetapi, para peneliti mengambil datanya di Jayapura dengan mewawancarai informan yang merupakan penutur dari suku di daerah Windesi bernama Aquila, yang tinggal di daerah Kloofkamp, Jayapura saat itu.

Itulah kali pertama saya membaca kisah Masarasenani, perjumpaan kedua dengan kisah ini saya temukan pada buku kumpulan cerita yang ditulis oleh Bahrudin Supardi, diterbitkan penerbit Rosda Bandung pada tahun 1994 yang berjudul "Memperdaya Kasuari Sombong dan Dongeng Irian Jaya lainnya." 

Cerita tentang Masarasenani pada buku ini ditulis dengan judul " Menjerat Sang Matahari." Buku yang tipis saja, dan memuat adaptasi atau penulisan ulang beragam cerita rakyat Irian Jaya, walau sumbernya tidak disebutkan, untuk penulisan Masarasenani, saya duga juga menggunakan sumber dari buku yang dihasilkan oleh para peneliti Universitas Cenderawasih bertahun sebelumnya.

Begitu menariknya kisah ini, membuat ia kemudian diadaptasi atau ditulis ulang oleh Dr. Murti Bunanta, seorang doktor sastra anak, pada tahun 2011 dan diadaptasi menjadi cerita anak dengan ilustrasi yang memikat dengan judul "Masarasenani dan Matahari". 

Pada sebuah tulisan yang pernah saya baca, beliau pernah menyampaikan bahwa ia perlu membaca begitu banyak cerita rakyat sebelum memutuskan cerita mana yang paling pas, tepat, sesuai untuk ditulis ulang dan diadaptasi menjadi cerita bergambar. 

Atau singkatnya pemilihan cerita tersebut harus selektif, karena harus memastikan bahwa cerita tersebut menarik, bermanfaat, isi serta pesan dalam cerita tersebut yang sesuai dengan perkembangan anak.

Membaca banyak kisah dan memilih untuk mengadaptasinya menjadi cerita anak adalah sebuah kutipan yang sangat membekas pada saya, ketika membaca pendapat Ibu Murti Bunanta. 

Mengapa demikian? Mengingat buku bacaan anak, memiliki pendekatan jenjang bacaan, juga menyesuaikan dengan perkembangan psikologis anak. 

Saya menemukan banyak sekali, terutama di Papua, buku bacaan yang berisi penulisan cerita rakyat, yang dimaksudkan untuk dibaca anak-anak tetapi dengan format untuk bacaan lanjut. Betapa menyulitkan bagi anak-anak yang ingin membacanya!

Kembali lagi kepada kisah yang begitu memikat hati tentang "Masarasenani," kisah ini merupakan cerita rakyat yang berasal dari daerah Windesi di Manokwari, Papua Barat. 

Kisah ini menceritakan ihwal mengapa kemudian siang dan malam waktunya relatif seimbang. Pada jaman dahulu, dikisahkan bahwa malam begitu panjang. 

Masarasenani sang tokoh, seorang bapak dan pemimpin keluarga penuh kasih dan tanggung jawab, yang mempunyai dua anak perempuan kakak beradik yang cantik bernama: Serawiri dan Serimini merasa bersedih, karena setiap pekerjaan menokok batang -- batang sagu belum selesai dilakukan, matahari telah tergelincir dan tenggelam.

Siang terasa lebih cepat dibanding malam hari, membuat pekerjaan belum selesai gelap gulita telah datang. Tetapi, pada suatu hari yang aneh, dan hari seterusnya... tampaknya Matahari enggan pergi, malas beranjak.

Membuat orang-orang merasa terik panas yang tak pergi -- pergi mengundang tanya? Orang-orang mulai kebingungan. Mengapa matahari masih menunggu di atas sana, harusnya ia sudah tergelincir, dan tenggelam? Ada apa gerangan?

Hanya seorang Masarasenani yang tahu dan menyimpan rahasia tentang matahari rapat-rapat. Hal ini disebabkan, sebagai wujud kepeduliannya pada hajat hidup orang banyak, dan terutama keluarganya sendiri, sang tokoh mencari jalan keluar, bagaimana agar dirinya bisa menyiasati hal ini. Ditemukanlah jalan keluarnya, ia harus bertemu Marasitumi atau si Matahari. 

Masarasenani mengetahui bahwa matahari selalu terbit melalui dua buah bukit, di mana letak dari bukit ini pun sudah diketahui Marasasenani. 

Marasasenani berpikiran bahwa untuk menyelamatkan warga dari kelaparan yang sangat, berarti matahari harus terus bersinar maka ia berpikir menjerat matahari di bukit tempat ia muncul adalah pilihan paling tepat.

Masyarakat senang sekali, karena pada suatu hari mereka bisa mengerjakan menokok batang-batang sagu dengan leluasa, serasa matahari tenang dan sabar menunggui mereka menuntaskan pekerjaannya, akan tetapi lama-kelamaan timbul curiga, mengapa tak tergelincir juga matahari di ufuk barat? Dan untuk jawaban inilah hanya Masarasenani yang mengetahui jawabannya, serta jalan keluar pemecahan membuat matahari bisa kembali ke peraduannya.

Karena jeratan Masarasenani itulah akhirnya tercapai sebuah titik keseimbangan, setelah sebelumnya kaki matahari yang terjerat itu disembuhkan dengan daun "gatal", pengenalan daun gatal sebagai penyembuh ada pada cerita ini.

Dan setelah sembuh oleh olesan ramuan daun gatal di kaki matahari oleh Masarasenani, ia pun berkenan membuat panjang waktu malam hari sama dengan panjang waktu di siang hari, dan masyarakat akhirnya hidup damai dan bahagia.

Jika dalam dua buku sebelumnya, kisah Masarasenani adalah buku teks, maka pada buku "Masarasenani dan Matahari" cerita tersebut adalah buku bergambar. Hal ini menarik, mengingat teks lebih pendek sehingga mudah dipahami misalnya oleh pembaca anak.

Di sisi lain, hal ini menantang sebab, terutama bagi ilustrator perlu punya gambaran latar belakang budaya ceritanya. Nah, ini dia yang menarik. Ketika dituangkan menjadi buku ilustrasi bergambar, ada detail kecil yang kurang pas yang saya temukan pada pada penggambaran rumah. Sebab daerah Windesi tak bisa kita bayangkan ada rumah yang menyerupai rumah Honai. Sebab Windesi merupakan daerah pesisir. 

Honai sendiri yang rapat dengan satu pintu saja dan tiada jendela, karena secara natural itu adalah cara agar udara terperangkap di dalam ruangan, dengan begitu maka udara akan lebih hangat. Hal ini adalah cara untuk menyiasati hawa dingin di pegunungan, sedangkan kalau di pesisir dan suku yang berbeda tentu akan berbeda lagi bentuk rumahnya menyiasati lingkungan di pesisir.

Hal lain yang menarik adalah soal cerita rakyat yang diadaptasi ulang, walau secara umum cerita rakyat dianggap sebagai public domain, atau milik masyarakat. Di sisi lain ada diskursus menarik soal bagaimana perlindungan folklore serta perlindungan hak cipta pada cerita rakyat.

Dalam kasus cerita rakyat dari Papua, menarik untuk melihat apakah ada semacam informasi sumber cerita tersebut didapatkan, mengingat dalam cerita Masarasenani dan Matahari, ia (dapat diduga, perlu diuji) muncul pertama kali pada buku Cerita Rakyat Daerah Irian Jaya dan diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1983. Bagaimana penulisan selanjutnya perlu mengutip sumber awal? Sebuah hal menarik untuk kita telusuri dan pelajari bersama.

Sebagai penutup, Masarasenani dan Matahari yang menjadi buku cerita bergambar ini ditulis ulang dengan sangat menarik, ilustrasi buku secara visual begitu indah, berseni. Pantas saja diganjar penghargaan Ibby Honour list. Itu sudah.

***

Penerbit : Grasindo, 2011
Penulis : Murti Bunanta
Judul Buku : Masarasenani dan Matahari
Ketebalan : 22 Halaman.
Bahasa : Bilingual, Indonesia -- Inggris
Penghargaan : Honour List IBBY For High Quality Writing

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun