Masyarakat senang sekali, karena pada suatu hari mereka bisa mengerjakan menokok batang-batang sagu dengan leluasa, serasa matahari tenang dan sabar menunggui mereka menuntaskan pekerjaannya, akan tetapi lama-kelamaan timbul curiga, mengapa tak tergelincir juga matahari di ufuk barat? Dan untuk jawaban inilah hanya Masarasenani yang mengetahui jawabannya, serta jalan keluar pemecahan membuat matahari bisa kembali ke peraduannya.
Karena jeratan Masarasenani itulah akhirnya tercapai sebuah titik keseimbangan, setelah sebelumnya kaki matahari yang terjerat itu disembuhkan dengan daun "gatal", pengenalan daun gatal sebagai penyembuh ada pada cerita ini.
Dan setelah sembuh oleh olesan ramuan daun gatal di kaki matahari oleh Masarasenani, ia pun berkenan membuat panjang waktu malam hari sama dengan panjang waktu di siang hari, dan masyarakat akhirnya hidup damai dan bahagia.
Jika dalam dua buku sebelumnya, kisah Masarasenani adalah buku teks, maka pada buku "Masarasenani dan Matahari" cerita tersebut adalah buku bergambar. Hal ini menarik, mengingat teks lebih pendek sehingga mudah dipahami misalnya oleh pembaca anak.
Di sisi lain, hal ini menantang sebab, terutama bagi ilustrator perlu punya gambaran latar belakang budaya ceritanya. Nah, ini dia yang menarik. Ketika dituangkan menjadi buku ilustrasi bergambar, ada detail kecil yang kurang pas yang saya temukan pada pada penggambaran rumah. Sebab daerah Windesi tak bisa kita bayangkan ada rumah yang menyerupai rumah Honai. Sebab Windesi merupakan daerah pesisir.Â
Honai sendiri yang rapat dengan satu pintu saja dan tiada jendela, karena secara natural itu adalah cara agar udara terperangkap di dalam ruangan, dengan begitu maka udara akan lebih hangat. Hal ini adalah cara untuk menyiasati hawa dingin di pegunungan, sedangkan kalau di pesisir dan suku yang berbeda tentu akan berbeda lagi bentuk rumahnya menyiasati lingkungan di pesisir.
Hal lain yang menarik adalah soal cerita rakyat yang diadaptasi ulang, walau secara umum cerita rakyat dianggap sebagai public domain, atau milik masyarakat. Di sisi lain ada diskursus menarik soal bagaimana perlindungan folklore serta perlindungan hak cipta pada cerita rakyat.
Dalam kasus cerita rakyat dari Papua, menarik untuk melihat apakah ada semacam informasi sumber cerita tersebut didapatkan, mengingat dalam cerita Masarasenani dan Matahari, ia (dapat diduga, perlu diuji) muncul pertama kali pada buku Cerita Rakyat Daerah Irian Jaya dan diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1983. Bagaimana penulisan selanjutnya perlu mengutip sumber awal? Sebuah hal menarik untuk kita telusuri dan pelajari bersama.
Sebagai penutup, Masarasenani dan Matahari yang menjadi buku cerita bergambar ini ditulis ulang dengan sangat menarik, ilustrasi buku secara visual begitu indah, berseni. Pantas saja diganjar penghargaan Ibby Honour list. Itu sudah.
***
Penerbit : Grasindo, 2011
Penulis : Murti Bunanta
Judul Buku : Masarasenani dan Matahari
Ketebalan : 22 Halaman.
Bahasa : Bilingual, Indonesia -- Inggris
Penghargaan : Honour List IBBY For High Quality Writing