Sedikitnya guru yang mengajar di kampung dan sebagian tetap tinggal di kota, guru-guru yang merangkap beberapa kelas saat mengajar karenanya. “Pasti lebih menyesakkan dada saat teman guru meninggalkanku mengajar sendirian di kampung. Papan tulis harus kubagi menjadi enam bagian supaya anak-anak kelas 1 sampai 6 dapat merasakan satu papan hijau yang kuwarnai dari uang korupsi. Saya perlu ceritakan sebelumnya bahwa teman guru itu pergi karena harus menjadi bendahara dan mengurusi dana BOS bisa berbulan-bulan lamanya karena sistem yang lambat di dinas pendidikan kabupaten.” – hal 53. Meski begitu, ikut hadir kisah bagaimana Casper merasa bahwa belajar kepada muridnya dan tidak menjadi sumber ilmu satu-satunya seperti pada kisah “Keep Calm and Let’s Go Hunting”. Juga beragam kesulitan yang membuat hadirnya rasa saling hormat dan menghormati antara guru dan murid (serta masyarakat).
Persoalan pembangunan diketengahkan Casper melalui cerita dana desa yang digunakan untuk memperbaiki rumah warga. “Lalu, dari sembilan warga itu, wani janda yang rumahnya sudah miring dekat gereja dan nabo yang sudah lanjut usia di pelabuhan itu, dapat bantuan tidak?” Tentu tidak.
Pada “Not Just See but Observe” Casper mendapati kenyataan bahwa rumah kepala kampung berulang kali direnovasi, dan sekarang berlantai keramik, sedang yang seharusnya perlu mendapat bantuan tinggal berdoa memohon kemudahan yang tak kunjung datang.
Tidak hanya itu, ada program bagus tetapi tidak baik dalam kisah “Never Die”. Memilih noken atau tas pada kisah “Noken is Papua”. Juga rasa miris pada alam yang kaya, tetapi untuk bertahan hidup menjadikan mie instan sebagai lauk harian pada “Fight for Gravity for Victory or Death”
Tidak berarti bahwa tidak ada persoalan lainnya dalam beragam kisah di buku ini. Semisal persoalan patriarkhi dan kesetaraan dalam kisah “Life is Nothing Without Love”- di mana seorang suami merasa gusar ditinggal istrinya ke kota, sehingga ia merasa tak berdaya, karena biasanya yang menyiapkan segalanya adalah sang istri. Juga persoalan kesehatan dalam “Making Magic Happen” dan yang lainnya.
Beragam kisah membawa kita pada refleksi tentang masalah pendidikan dan pembangungan di Mappi, dan Papua pada umumnya. Kisah mengalir lancar dengan bahasa sederhana. Meski sederhana, pilihan bentuk dialog yang hadir nyaris di seluruh tulisannya memerlukan kecermatan dalam membacanya, sebab jika tidak akan sedikit membingungkan.
Selain itu, ketika membaca buku ini, entah mengapa mengingatkan saya pada buku karya Dicky Takndare berjudul “Mama Rice” yang terbit pada tahun 2017. Apakah karena kesamaan irisan tema penulisannya, walau satunya berbentuk fiksi dan lainnya non fiksi? Entahlah, mungkin saya perlu membacanya kembali secara perlahan.
Tetapi yang jelas, buku ini begitu menarik untuk menjadi salah satu buku yang perlu kita baca. Terutama sobat yang berminat pada isu pendidikan di daerah, karena akan bertemu beragam persoalan,yang membuka mata kita bahwa permasalahan itu bisa jadi tak bergeser, dan meminta terus jawaban serta membutuhkan perhatian kita semua, dong butuh kitong pu perhatian dan dukungan.
Minggu malam lalu, saya begitu khusyuk menulis resensi atas karya yang masuk dalam nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa di tahun 2021 ini, duduk membaca dan tak menyangka sudah pukul 11 malam.
Sembari lamat – lamat mendengar deru mesin alat berat yang rasanya begitu tiba-tiba memperbaiki jalanan Kota Sorong, yang di beberapa bagiannya memang sering berlubang.