Mohon tunggu...
Davira Dinda
Davira Dinda Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA

Davira Dinda Mauriska

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Mengkonsumsi Makanan dan Minuman yang Belum Bersertifikasi Halal

1 Oktober 2024   08:12 Diperbarui: 1 Oktober 2024   08:58 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Nama : Davira Dinda Mauriska (222111122) 

Kelas : 5D 

1. Masalah Hukum Ekonomi Syariah 

Dalam hukum ekonomi syariah, kasus mengonsumsi makanan dan minuman yang belum bersertifikasi halal menimbulkan masalah hukum terkait kepatuhan terhadap prinsip halal. Produk tanpa sertifikasi menimbulkan keraguan tentang status kehalalannya, sehingga konsumen Muslim menghadapi risiko melanggar ajaran agama. Sertifikasi halal diperlukan untuk menjamin produk tersebut sesuai dengan syariah, berdasarkan Undang-Undang Jaminan Produk Halal dan fatwa-fatwa lembaga seperti MUI. Selain itu, produsen juga diwajibkan mengikuti peraturan untuk melindungi konsumen dari potensi produk yang haram. 

2. Kaidah Hukum Terkait Kasus 

Kaedah Sadd al-Dzari'ah: Pencegahan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan bahaya atau dosa, seperti konsumsi produk yang tidak jelas kehalalannya.

Kaedah al-Ashl fi al-Asyya' al-Ibahah: Pada dasarnya, segala sesuatu dianggap halal kecuali ada dalil yang melarang.

Kaedah Istihsan: Mengutamakan pilihan yang lebih baik, yaitu makanan yang jelas halal.

3. Norma Norma Hukum

Prinsip kehati-hatian (ihtiyat): Dalam kasus keraguan tentang kehalalan, seseorang dianjurkan menghindari konsumsi makanan tersebut untuk menghindari dosa.

Prinsip ta'zir: Negara atau lembaga berwenang bisa memberi sanksi kepada produsen yang tidak menyediakan produk bersertifikasi halal.

Jaminan perlindungan konsumen: Konsumen memiliki hak atas informasi produk yang halal sebagai bagian dari kepastian hukum dalam transaksi.

4. Aturan-Aturan Hukum

Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU No. 33/2014): Mengatur kewajiban sertifikasi halal untuk produk yang dikonsumsi oleh masyarakat, terutama bagi konsumen Muslim.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI): Memberikan pedoman tentang konsumsi makanan halal, serta fatwa larangan terhadap produk yang statusnya tidak jelas.

5. Pandangan Positivism Hukum dan Sosiological Jurisprudence

Positivisme Hukum: Fokus pada aturan hukum formal. Dalam konteks ini, jika peraturan seperti UU Jaminan Produk Halal mengharuskan sertifikasi halal, maka konsumen dan produsen wajib mematuhinya, tanpa mempertimbangkan aspek sosial atau budaya. 

Sociological Jurisprudence: Menekankan bagaimana hukum berinteraksi dengan masyarakat. Pendekatan ini akan melihat dampak sosial dari konsumsi produk yang tidak bersertifikasi halal dan bagaimana norma agama serta budaya memengaruhi praktik tersebut dalam masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun