Mohon tunggu...
Davina Riska Suherman
Davina Riska Suherman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi menggambar, mendengarkan musik dan menonton film

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Budaya Patriarki yang Menghancurkan Emansipasi Wanita

31 Oktober 2024   06:14 Diperbarui: 31 Oktober 2024   06:19 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto Gender Equality (dokumen pribadi)

JAKARTA -- "Habis Gelap Terbitla Terang," siapa yang tidak kenal dengan kalimat tersebut? Kalimat yang diterbitkan menjadi sebuah buku oleh Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat atau biasa kita kenal dengan panggilan R.A Kartini. Yaitu, salah satu sosok wanita di Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan untuk Indonesia. Khususnya untuk memperjuangkan kedudukan kaum Wanita di dataran Jawa. 

Selain R.A Kartini, ada juga Dewi Sartika seorang Wanita yang mendukung pendidikan untuk kaum Wanita dengan mendirikan Sekolah Isteri pada tahun 1904 di Bandung, Jawa Barat. Bukan hanya mereka berdua, ada juga Hj. Rangkayo Rasuna Said yang bergerak atas isu -- isu perempuan. Sebenarnya masih banyak lagi Pahlawan Nasional perempuan yang bergerak untuk memperjuangkan kedudukan kaum Wanita di Indonesia.

Hanya saja, seiring berkembangnya zaman emansipasi Wanita yang sudah di perjuangkan oleh Pahlawan -- Pahlawan Nasional Wanita di Indonesia, tidak berjalan dengan semestinya. Masih banyak di luar sana yang beranggapan bahwa Wanita kedudukannya hanya sebatas sampai mengurus rumah, anak, hingga memasak.  

Yang padahal, baik Wanita mau pun Pria, bisa melakukan hal -- hal dasar seperti mengurus rumah, anak, hingga memasak. Namun, tetap saja meski seharusnya bisa dilakukan bersama, tetapi bagi orang -- orang yang menganut pemikiran patriarki Wanita hanyalah dijadikan sebagai objek yang harus memenuhi 'kepuasaan' para Pria.

Bahkan data mengungkapkan sepanjang tahun 2009 hingga 2023, Komnas Perempuan menemukan sekitar 450 kebijakan pemerintah yang diskriminatif terhadap perempuan. 

Deputi Bidang Kesetaraan Gender KPPPA Rini Handayani juga menyampaikan bahwa dari 450 kebijakan tersebut, 65% di antaranya dalam bentuk perarturan daerah (perda) dan 35% di antaranya dalam bentuk peraturan lainnya dan keputusan Kepala Daerah seperti, keputusan Gurbernur, Bupati, dan Wali Kota (Redaksi: Suara.com).

Tentunya banyaknya kebijakan diskriminatif terhadap perempuan ini, terjadi karena masih banyaknya orang di luar sana yang melegalkan budaya patriarki. Yang dimana bila ditelaah lebih lanjut, budaya patriarki ini bukan hanya melakukan diskriminatif terhadap perempuan. 

Tetapi, juga sudah melakukan  'penghinaan' terhadap perempuan. Seperti yang dilampirkan oleh Badan Pusat Statistik bahwa sudah ada 36.3% kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di perkotaan, dan juga sudah ada 29.8% kasus kekerasan terhadap perempuan di perdesaan pada tahun 2016. 

Sedangkan pada tahun 2022 menurut catatan tahunan Komnas Perempuan, terdapat lebih dari 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan, yang dimana meningkat 1,2% dari tahun sebelumya. Selain itu, menurut data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), pada tahun 2023 kasus kekerasan terhadap perempuan yang didominasi KDRT mencapai 73%.

Angka tesebut tidaklah sedikit. Semakin tahun, semakin banyak kekerasan yang didapati oleh perempuan dengan ada atau tanpanya alasan yang jelas. Padahal, bila kembali ke masa lalu. 

Seperti contohnya, apa yang dilakukan R.A Kartini untuk memperjuangkan kaum perempuan di dataran Jawa, seharusnya sudah jelas dan membuka kedua mata dengan lebar. 

Bahwa perempuan juga berhak untuk bersuara, bahwa perempuan juga berhak untuk menolak sesuatu hal yang memang tidak sesuai dengan keinginannya, dan bahwa perempuan juga memilki hak untuk memperjuangkan hak -- haknya sebagai perempuan.

Banyaknya kebijakan yang diskriminatif disebabkan oleh masih adanya nilai-nilai dan konsep budaya patriarki yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, yang mengakibatkan diskriminasi gender. 

Selain itu, munculnya kebijakan diskriminatif terhadap perempuan juga merupakan hasil dari kurangnya pemahaman para pembuat dan perancang peraturan perundang-undangan mengenai perspektif kesetaraan gender.

Aztau, seorang aktivis berusia 27 tahun, menyampaikan pandangannya tentang kondisi ini dalam sebuah wawancara. "Yaa kalo dilihat dari sekarang sih posisinya masih belum maksimal ya untuk baik itu dari kesetaraan gender ataupun dari emansipasi wanita itu sendiri," ungkap Aztau. 

Ia melanjutkan, "Karena kan budaya patriarki di Indonesia ini tuh masih kuat banget di masyarakat. Jadi kayak belum bisa terlepas dari itu, meskipun banyak komunitas yang kayak menyuarakan hak-hak perempuan, hak-hak sebagai manusia, atau hak-hak perorangan gitu."

Aztau juga menekankan adanya salah paham di masyarakat mengenai konsep kesetaraan gender, menjadi salah satu penyebab budaya patriarki masih sangat kuat di Masyarakat Indonesia. 

"Contoh kecilnya, 'oh kalo misalkan perempuan mau disetarakan oleh laki-laki yaudah dong pipis aja di toilet pria'," jelasnya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk meningkatkan kesadaran, masih banyak yang belum memahami esensi dari emansipasi wanita.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa norma sosial yang mengikat perempuan dalam peran tradisional, seperti menikah dan memiliki anak, masih sangat melekat. "Karena ya itu, budaya patriarki memang udah melekat banget di masyarakat Indonesia. Kayak perempuan pokoknya nanti harus nikah, harus punya anak, harus ini itu. Pokoknya kayak udah di dikte harus kayak gitu," tegasnya. 

Kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender dan emansipasi wanita perlu ditingkatkan di semua lapisan masyarakat. Komunitas, pemerintah, dan individu harus bekerja sama untuk mengubah persepsi dan norma yang ada, agar perempuan dapat menikmati hak-haknya secara penuh dan setara dengan laki-laki.

Budaya partiarki bukan hanya membunuh seorang perempuan, tetapi juga membunuh seorang anak perempuan yang ingin bermimpi tinggi. Semakin banyak orang yang melegalkan budaya patriarki, emansipasi Wanita yang sudah diperjuangkan oleh Pejuang Wanita terdahulu seolah sia -- sia. 

Dikarenakan masih banyak Masyarakat di Indonesia yang masih memandang perempuan hanyalah sebagai objek, bukan sebagai subjek yang sebenarnya dapat berperan di dalam sebuah Masyarakat.

Meski masih banyaknya kekerasan yang didapatkan oleh perempuan akibat budaya patriarki, banyak juga di luar sana yang dengan lantang menyuarakan kesetaraan gender. Salah satu contohnya, Generasi Z. 

Mereka adalah satu diantara banyaknya Generasi yang menerima perihal kesetaraan gender. Bagi mereka kesetaraan gender bukan hanya perihal pria atau pun perempuan, namun memilki  artian yang lebih luas dan juga beragam. Hal seperti ini juga, yang memberikan pandangan terhadap inklusi dan kesetaraan gender dalam setiap aspek kehidupan, baik itu dalam dunia kerja, atau pun dalam pemilihan suatu produk dan layanan.

Generasi Z juga memang dikenal memiliki toleransi yang besar terhadap berbagai banyak perbedaan, seperti halny dalam ras, agama, orientasi seksual, dan identitas gender. 

Mereka menyadari pentingnya inklusi dan keadilan gender, serta berkontribusi dalam mendorong terciptanya masyarakat yang lebih adil dan terbuka. Generasi Z memanfaatkan media sosial untuk menyoroti berbagai isu sosial, termasuk kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan perubahan iklim. Aktivisme mereka di dunia maya tidak hanya berfokus pada berbagi pendapat, tetapi juga pada peningkatan kesadaran dan penggerakan aksi nyata.

Dalam sebuah wawancara, seorang aktivis perempuan Gen Z Siti (20), mengungkapkan pandangannya mengenai situasi kesetaraan gender di Indonesia saat ini. "Menurut aku kalo ditanya gimana kesetaraan gender yang ada di Indonesia saat ini sih masih belum ada di tingkat yang cukup disadari sama publik, atau pemerintahan sih. 

Karena diskriminasi dan ketidakadilan ke perempuan dan laki-laki tuh masih terlihat jelas di muka umum, jadi belum meminimalisir gak adanya diskriminasi itu," ujarnya. Pernyataan ini menyoroti fakta bahwa meskipun kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender semakin meningkat, masih banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami dan mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu faktor yang berperan dalam memperjuangkan kesetaraan gender adalah media sosial. Siti juga menambahkan, "Menurut saya, saat ini media sosial tuh mengambil banyak peran dalam kesetaraan gender. 

Karena media sosial ini menjadi wadah atau platform bagi beberapa orang untuk menyuarakan pendapatnya mengenai kesetaraan gender." Media sosial telah menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kesadaran, berbagi informasi, dan membangun komunitas yang mendukung perjuangan kesetaraan gender.

Meskipun tantangan akan terus ada, tetapi harapan untuk masa depan yang lebih baik tentunya akan tetap ada. Melalui kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan media, diharapkan kesetaraan gender dapat terwujud secara lebih komprehensif. Penting untuk terus mendorong dialog dan tindakan nyata dalam mengatasi diskriminasi dan ketidakadilan demi menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.

Tentunya kesetaraan gender sendiri juga berkaitan erat dengan para pria juga, karena tidak menutup kemungkinan bahwa diskriminasi kesetaraan gender dapat terjadi juga pada pria. Dalam diskusi mengenai kesetaraan gender, suara laki-laki juga memainkan peran penting. Ray, seorang pria berusia 31 tahun, berbagi pandangannya tentang diskriminasi gender yang masih berlangsung di masyarakat.

"Kalo pendapat aku untuk saat ini, tentunya pasti masih banyak diskriminatif disekitar kita sama yang namanya gender ya," ungkap Ray. Ia menyoroti berbagai stereotip yang membatasi ekspresi emosional laki-laki. "Contoh kecilnya, cowok nggak boleh nangis, karena cowok harus kuat, karena cowok harus berani, dan karena cowok harus melindungi."

Ray juga menambahkan bahwa pandangan negatif terhadap laki-laki yang merawat diri masih sering ditemukan. "Bahkan ada pandangan yang mengatakan cowok yang merawat diri itu kayak cowok yang ke cewek-cewekan. Padahal kalau dilihat lebih lanjut, merawat diri itu hak semua orang," jelasnya.

Ia menegaskan bahwa hak untuk mengekspresikan emosi tidak terikat pada gender. "Namanya manusia mau siapapun itu, tanpa memandang gender, berhak yang namamnya untuk menangis. Berhak untuk mendapat perlindungan juga, mau itu perempuan atau bahkan laki-laki sekalipun" tegas Ray.

Pernyataan Ray mencerminkan pentingnya mengubah persepsi masyarakat tentang peran gender. Kesetaraan gender bukan hanya tanggung jawab perempuan, tetapi juga melibatkan laki-laki dalam mendobrak stereotip yang membatasi. Dengan meningkatkan kesadaran dan memahami hak setiap individu, kita dapat bergerak menuju masyarakat yang lebih adil dan setara. 

"Harapan saya yang pasti untuk di masa sekarang ataupun di masa yang akan datang nanti, semoga enggak ada lagi yang namanya memandang sebelah mata, baik kepada perempuan atau laki-laki" ujarnya. Ia menekankan pentingnya pengakuan terhadap hak-hak setiap individu, tanpa memandang gender. "Karena baik wanita maupun pria, mereka berhak untuk yang Namanya mendapatkan apa yang menjadi haknya sebagai manusia."

Pernyataan Ray mencerminkan keyakinan bahwa kesetaraan gender adalah isu yang harus diperjuangkan bersama oleh semua orang. Dengan menghapuskan pandangan diskriminatif dan membangun kesadaran, diharapkan setiap orang dapat saling menghormati dan mendapatkan kesempatan yang sama. 

Harapan ini sejalan dengan upaya berbagai komunitas dan aktivis yang terus berjuang untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Dengan kolaborasi antara semua pihak, masa depan yang lebih setara dapat terwujud.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun