Beberapa dekade lalu keterbatasan teknologi ataupun mahalnya biaya memang menjadi halangan nyata pengembangan energi terbarukan. Namun sekarang ini, tidak lagi demikian.
International Renewable Energy Agency mencatat bahwa harga panel surya yang sudah turun hingga 80 % dibandingkan terhadap tahun 2010, dan memprediksi bahwa harga akan terus turun seiring perkembangan teknologi. Departemen of Energy USA, melaporkan bahwa biaya proyek pembangkit listrik tenaga angin (windpower) tahun 2018 sudah turun  hingga 40% terhadap tahun 2010.
Riset terkini sistem 100% listrik energi terbarukan:
Banyak riset dunia yang telah membicarakan 100% listrik dari energi terbarukan. Berikut adalah rangkuman riset lima tahun terakhir yang dilakukan oleh para pakar, dan diterbitkan oleh journal ternama, rentang tahun 2016 - 2020:
Sistem Kelistrikan di USA:
- Jacobson et al (2015) menganalisis bahwa dengan memanfaatkan energi angin, air, dan surya, pada tahun 2050, USA mampu mencukupi kebutuhan energi nya dari dengan 100% energi terbarukan dengan kapasitas sekitar 1.570 GW.Â
Sistem Kelistrikan di Australia :Â
- Bin et al (2017) mengusulkan skenario bauran energi terbarukan 90-100% pada sistem kelistrikan Australia bagian Selatan, 18,4 TWh per tahun, pada tahun 2030;
- Blakers et al (2017) menambahkan analisis skenario energi terbarukan 100% untuk Australian National Electricity Market, sistem kelistrikan terbesar di Australia, pasokan sebesar 205 TWh per tahun, pada tahun 2030;
Sistem Kelistrikan di Asia Pacific:
- Kiwan et al (2020) merancang skenario 100% pasokan energi terbarukan untuk sistem kelistrikan negara Jordan, 82,4 TWh, pada tahun 2050;
- Gulagi et al (2017) merancang energi terbarukan 100% Â untuk sistem kelistrikan interkoneksi Asia Pacific Rim (meliputi Australia, Selandia Baru, Singapore, Brunei, Cambodia, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, PNG, Filipina, Thailand, Timor-Leste, dan Vietnam), dengan total pasokan 2.794 TWh pada tahun 2030.
- Bogdanov et al (2016) meneliti untuk sistem energi terbarukan 100% Â untuk negara asia timur utara yang meliputi Jepang, Mongolia dan Semenanjung Korea, pasokan 2.000 TWh pada tahun 2030.
Sistem Kelistrikan di Afrika:
- Aghahosseini et al (2020) menganalisis bagaimana sekiranya kebutuhan listrik untuk 19 negara di Middle East and North Africa dipasok oleh 100% energi terbarukan, dengan total pasokan 800 TWh pada tahun 2030
- Oyewo et al (2019) merancang skenario  energi terbarukan 100%  untuk sistem kelistrikan negara Afrika Selatan, rencana tercapai tahun 2050;
- Barasa et al (2018)Â menghitung biaya untuk memasok 100% listrik EBT, 866 TWh, pada tahun 2030, untuk 66 negara di Sub-Sahara Afrika;
Sistem Kelistrikan di Indonesia:
- Stocks et al (2019), pakar dari Australian National University, mengusulkan konsep 100% listrik EBT di Indonesia, dengan sumber utama dari energi surya, dan dipadukan dengan PLTA pumped hydro storage yang juga berfungsi sebagai baterai;
- Günther et al (2018) menghitung biaya produksi listrik optimal jika tahun 2050 nanti, sistem Jawa-Bali, jaringan listrik terbesar di Indonesia, seluruhnya dipasok oleh energi terbarukan 100% dengan total pasokan listrik 640 TWh;
Kesimpulan penting dari beberapa riset tersebut, antara lain bahwa (i) potensi energi terbarulan tersedia, utamanya surya dan angin, lebih dari cukup untuk membangun sistem 100% listrik hijau. (ii) teknologi baterai mampu mengamankan pasokan listrik saat produksi listrik berkurang karena variasi cuaca atau musim, misalnya saat angin tidak bertiup atau matahari tidak bersinar atau tertutup awan, (iii) melalui optimalisasi maka biaya untuk mencapai biaya serendah mungkin, (iv) target pencapaian 100% umumnya pada 2030 atau 2050, mengingat diperlukan waktu untuk pembangunan pembangkit secara bertahap untuk menggantikan pembangkit berbahan bakar fosil.Â
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa secara teknis dan ekonomi tidak terdapat masalah yang tidak tertangani. Â Â
Paradigma pemimpin dunia terhadap energi terbarukan
Meskipun ilmuwan dunia mengatakan 100% listrik energi terbarukan layak secara teknis maupun keekonomian, namun ada perbedaan cara pandang para top leader dunia.Â
Sebagai contoh, ketika Obama memerintah US pada masanya, pengembangan energi terbarukan mendapat prioritas dan dukungan anggaran. Namun berbeda halnya, setelah pergantian pada Pemerintahan Donald Trump. Sejak awal, Trump memang tidak pro dengan energi terbarukan.Â
Bahkan pada masa kampanye-nya, Donald Trump nyata-nyata menolak komitmen kewajiban pengurangan emisi karbon dalam Paris Agreement. Dia menganggap US tidak boleh diatur-atur oleh pihak luar dalam mengelola sektor energinya sendiri.
Trump malahan menunjuk pejabat Sekretaris Energi dan Kepala Departemen Energi AS dengan orang yang sama sekali tidak pro terhadap energi terbarukan. Puncaknya, baru-baru ini malahan Trump bahkan memangkas anggaran pengembangan energi terbarukan pada tahun fiskal 2020 dari US$2,3 billion menjadi US$700 million, dipotong hingga 70% .
Pada masa jabatannya, Perdana Menteri Australia, Malcomm Turnbull malah mengkritik Quensland, negara bagian Australia, yang berencana mengembangkan energi terbarukannya hingga mencapai 100% di 2050 nanti, karena ingin memastikan masa depan Australia sebagai pengekspor terbesar batubara di dunia. Belakangan setelah tidak lagi menjabat, Turnbull berubah pandangannya menjadi pendukung pengembangan energi terbarukan ini.
Sekretaris Energi United Kingdom, Amber Rudd,malah mendukung pengembangan pembangkit nuklir berbiaya besar dengan alasan energy security, ketimbang mendukung pembangunan energi terbarukan seperti angin dan surya.
Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Mohamad Bin Salman, membuat kebijakan ekonomi baru dengan pengembangan EBT untuk negaranya, untuk mengurangi ketergantungan Arab Saudi pada energi fosil. Dana sebesar US$ 2 billion digelontorkan untuk pengembangan EBT ini. Meskipun belum terlihat aksi nyata rencana ini.
Diesendor dan Elliston (2018), dalam penelitiannya terkait kebijakan energi, mengatakan bahwa seringkali kritik maupun cara pandang politisi dan pemimpin ini menjadi hambatan terbesar dalam pengembangan energi terbarukan di seluruh dunia.
Teknologi dan biaya yang ekonomis melemahkan kritik terhadap energi terbarukan
Meskipun para politisi yang juga pemimpin dunia sibuk berpendapat sesuai kepentingan masing-masing. Dunia tidak dapat menolak bahwa pesatnya teknologi mendorong harga energi terbarukan yang semakin murah.
Teknologi baterai mampu menjawab keraguan akan kehandalan sistem energi terbarukan. Produksi panel surya, turbin angin, dan peralatan pendukung lainnya semakin efisien dan harganya terus mengalami penurunan.Â
Saat mereka masih sibuk berdebat untuk mempertahankan eksistensi sumber energi fosil, malahan beberapa negara di dunia sudah bergerak mendahului. IRENA mencatat bahwa Albania, Paraguay, Congo, Islandia pada tahun 2016 kebutuhan listriknya dipasok 100% dari energi terbarukan. Sedangkan Norwegia, Kostarika, Namibia, Tajikistan, Uruguay, Ethopia, Kenya, Zambia sudah lebih dari 90%Â bauran listrik energi terbarukan yang dinikmati masyarakatnya.
Perkembangan teknologi yang mendorong harga semakin bersaing, serta fakta banyak negara berhasil mencapai 100% energi terbarukan, melemahkan pendapat para politisi yang memiliki paradigma bahwa energi terbarukan hanya sekadar mimpi.Â
Bagaimana dengan Indonesia?
Pada tulisan terdahulu sudah diulas mengenai potensi listrik energi terbarukan untuk sistem Indonesia, khususnya listrik surya. Silahkan dibaca pada laman berikut: Listrik Murah Surya dan  Potensi PLTS terapung di Indonesia.
Secara potensi juga Indonesia kaya dengan energi terbarukan. Harus diakui bahwa porsi energi terbarukan Indonesia masih rendah. Dan ini mestinya dipandang sebagai peluang untuk ruang perbaikan yang masif untuk memanfaatkan potensi yang ada. Pada masa pertama Pemerintahan Jokowi ini sebetulnya cukup banyak kapasitas pembangkit energi terbarukan yang bertambah.
Penggunaan bahan bakar minyak untuk transportasi didorong untuk menuju 30% biodiesel, bahkan untuk bahan bakar pembangkit listrik diujicoba hingga 100% biodiesel. Pada tahun 2014, statistik Kementerian ESDM mencatat total kapasitas terpasang energi terbarukan sekitar 6.700 MW.
Pada akhir tahun 2019, kapasitas ini naik menjadi 10.156 MW. Â Rencana pembangunan PLTS Terapung Cirata 145 MW juga menjadi simbol gairah baru. Bukan angka yang kecil, namun secara bauran energi, kalah cepat dengan pertumbuhan pembangkit fosil lainnya.
Perubahan paradigma pelaku sektor energi Indonesia menjadi penting. Transisi penggunaan energi 'kotor' eksisting menjadi energi 'bersih' di masa depan.
Cara pandang baru perlu dikampanyekan, terlalu lama masyarakat di doktrin misalnya dengan mahalnya solar photovoltaic.
Kekuatiran akan kebutuhan listrik dipasok dimalam hari saat matahari sudah terbenam. Bagaimana pasokan listrik jika angin tidak bertiup. Ilmuwan dunia menanganinya dengan teknologi. Saat ini semua kekuatiran ini sudah terjawab.
Untuk itu, paradigma yang ada selama ini melekat di benak kita, pun perlu diperbarui. Paradigma kebijakan Pemerintah, para tokoh masyarakat, para pelaku usaha harus selaras. Mari kita mulai pikirkan, 'Energi terbarukan lah masa depan energi kita, energi Indonesia'.
Mungkin waktu 10 tahun dari sekarang tidak cukup mencapainya 100%. Namun saya meyakini bahwa 30 tahun dari sekarang sangat memungkinkan.
Seluruh elemen bangsa harus bergerak bersama. Kita tentu ingin nanti generasi anak cucu bisa tersenyum melihat langit biru yang bersih dari polusi. Anak cucu kita pasti akan bangga punya pendahulu yang menyiapkan semua itu untuk mereka.Â
"Kamu adalah apa yang kamu pikirkan!" "The mind is everything. What you think you become." - Â BuddhaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H