Trump malahan menunjuk pejabat Sekretaris Energi dan Kepala Departemen Energi AS dengan orang yang sama sekali tidak pro terhadap energi terbarukan. Puncaknya, baru-baru ini malahan Trump bahkan memangkas anggaran pengembangan energi terbarukan pada tahun fiskal 2020 dari US$2,3 billion menjadi US$700 million, dipotong hingga 70% .
Pada masa jabatannya, Perdana Menteri Australia, Malcomm Turnbull malah mengkritik Quensland, negara bagian Australia, yang berencana mengembangkan energi terbarukannya hingga mencapai 100% di 2050 nanti, karena ingin memastikan masa depan Australia sebagai pengekspor terbesar batubara di dunia. Belakangan setelah tidak lagi menjabat, Turnbull berubah pandangannya menjadi pendukung pengembangan energi terbarukan ini.
Sekretaris Energi United Kingdom, Amber Rudd,malah mendukung pengembangan pembangkit nuklir berbiaya besar dengan alasan energy security, ketimbang mendukung pembangunan energi terbarukan seperti angin dan surya.
Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Mohamad Bin Salman, membuat kebijakan ekonomi baru dengan pengembangan EBT untuk negaranya, untuk mengurangi ketergantungan Arab Saudi pada energi fosil. Dana sebesar US$ 2 billion digelontorkan untuk pengembangan EBT ini. Meskipun belum terlihat aksi nyata rencana ini.
Diesendor dan Elliston (2018), dalam penelitiannya terkait kebijakan energi, mengatakan bahwa seringkali kritik maupun cara pandang politisi dan pemimpin ini menjadi hambatan terbesar dalam pengembangan energi terbarukan di seluruh dunia.
Teknologi dan biaya yang ekonomis melemahkan kritik terhadap energi terbarukan
Meskipun para politisi yang juga pemimpin dunia sibuk berpendapat sesuai kepentingan masing-masing. Dunia tidak dapat menolak bahwa pesatnya teknologi mendorong harga energi terbarukan yang semakin murah.
Teknologi baterai mampu menjawab keraguan akan kehandalan sistem energi terbarukan. Produksi panel surya, turbin angin, dan peralatan pendukung lainnya semakin efisien dan harganya terus mengalami penurunan.Â
Saat mereka masih sibuk berdebat untuk mempertahankan eksistensi sumber energi fosil, malahan beberapa negara di dunia sudah bergerak mendahului. IRENA mencatat bahwa Albania, Paraguay, Congo, Islandia pada tahun 2016 kebutuhan listriknya dipasok 100% dari energi terbarukan. Sedangkan Norwegia, Kostarika, Namibia, Tajikistan, Uruguay, Ethopia, Kenya, Zambia sudah lebih dari 90%Â bauran listrik energi terbarukan yang dinikmati masyarakatnya.
Perkembangan teknologi yang mendorong harga semakin bersaing, serta fakta banyak negara berhasil mencapai 100% energi terbarukan, melemahkan pendapat para politisi yang memiliki paradigma bahwa energi terbarukan hanya sekadar mimpi.Â
Bagaimana dengan Indonesia?