Mohon tunggu...
David F Silalahi
David F Silalahi Mohon Tunggu... Ilmuwan - ..seorang pembelajar yang haus ilmu..

..berbagi ide dan gagasan melalui tulisan... yuk nulis yuk.. ..yakinlah minimal ada satu orang yang mendapat manfaat dengan membaca tulisan kita..

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Kala Bagaskara Tersipu Membelai Tirta (When the Sun meets the Water)

17 April 2020   05:23 Diperbarui: 17 April 2020   18:43 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada masa-masa pandemi Covid-19 ini, ada anjuran berjemur dibawah sinar matahari pagi untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Bagi saya yang berkecimpung di bidang energi, ini menjadi hal baru.

Selama ini saya berpikir bahwa sinar matahari itu hanya merepresentasikan energi. Ternyata lebih dari itu, sinar matahari pun bisa menstimulus tubuh kita untuk lebih imun terhadap penyakit. Namun tulisan ini tidak membahas hal ini lebih jauh. 

Berkat istimewa menjadi negara kathulistiwa

Sinar mentari, seakan tanpa kenal lelah, menyapa bumi nusantara ini setiap hari. Ini menjadi salah satu, keuntungan Indonesia yang terbentang pada garis Kathulistiwa. 

Sepanjang tahun, kecuali hari hujan, kita bisa mengeringkan pakaian dengan menjemurnya dibawah sinar matahari. Biasanya dengan menghamparkan atau menggantung pakaian pada tali jemuran. Tanpa mengeluarkan energi apapun, pakaian pun kering sekitar 4 jam kemudian. Matahari memberikan energi panasnya secara cuma-cuma, bahkan untuk sekedar bermalas-malasan di bawah sinarnya. 

Penduduk di negeri lain sana, misalnya di Eropa, Kanada, Amerika, Australia, tidak bisa demikian. Mereka pasti iri sama Indonesia. Pada saat musim dingin, disaat diluar cuaca dingin, mereka harus mengeringkan pakaiannya dengan mesin pengering. Bertambahlah pengeluaran listriknya.

Belum lagi mereka kedinginan, harus menyalakan penghangat ruangan. Indonesia tidak ada musim dingin seperti ini. Itulah mungkin, mengapa pada saat musim dingin tiba di negaranya, mereka berbondong-bondong berlibur ke negara tropis, misalnya menghabiskan musim dinginnya di Bali, Indonesia. Negara Indonesia istimewa, sinar mataharinya banyak.

Sekilas listrik surya

Energi matahari ini bersifat unik, tidak hanya panas-nya yang bisa dimanfaatkan. Beberapa diantara kita mungkin sudah duluan menggunakan 'solar water heater system', biasanya ditempatkan diatas atap rumah, panas matahari langsung diserap untuk memanaskan air yang bersikulasi dalam pipa-pipa kecil. Tidak hanya itu, selain untuk menerangi sekitar, pancaran sinar matahari ini pun bisa diubah menjadi listrik. 

Sinar matahari ini ternyata mampu menggerakkan bermiliar-miliar elektron saat bersentuhan dengan permukaan sel surya. Gerakan miliaran elektron ini pulalah yang melahirkan arus listrik.

Sel surya bukan hal asing bagi kita, kalau ada yang punya kalkulator tanpa baterai, pasti menemukan strip warna kecoklatan bergaris dekat dengan layarnya. Itu adalah sel surya, kalkulator bisa digunakan, hanya saat sel surya tadi dikenai cahaya. 

Jadi, dengan menjemur sebanyak-banyaknya hamparan panel sel surya (photovoltaic), lalu tunggu paparan sinar matahari jatuhnya di atasnya, maka bimsalabim, diperolehlah listrik. Ini yang dikenal sebagai teknologi PLTS (solar photovoltaic power plant). Sedemikian sederhana proses produksi listriknya. 

Tidak ada suara bising dari turbin yang berputar, sebagaimana pada PLTU, PLTG, PLTD, PLTA, atau PLT Angin. PLTS ini operasinya senyap, namun nyetrum.

Namun demikian, PLTS membutuhkan lahan yang luas untuk menghamparkan panel surya-nya. Lahan yang dibutuhkan bisa mencapai 10 kali lahan PLTU pada kapasitas yang sama.

Emang punya lahan? Mau dipasang di mana itu PLTS? 

Sebetulnya negara kita itu luas. Daratan yang Indonesia miliki sekitar 1,9 juta kilometer persegi. Meski demikian, ada beberapa yang berpendapat, agar tanahnya digunakan untuk pertanian saja, kita masih kekurangan pangan.

Ada lagi yang mengatakan, lahan daratan untuk perkebunan saja. Kebun kopi, kebun teh, atau bahkan kebun sawit. Lebih menjanjikan, lebih menguntungkan. Pengembang real estate mengatakan, kami masih butuh lahan untuk membangun perumahan. Kebutuhan lahan untuk PLTS menjadi bersinggungan dengan kebutuhan lainnya. 

Betul, bahwa PLTS skala kecil (roof-top)bisa dipasang menumpang pada bangunan. Misalnya dengan memanfaatkan atap maupun dinding bangunan tersebut. Atap stadion, atap perkantoran, dinding gedung-gedung tinggi, atap pabrik, atap rumah menjadi permukaan yang bisa ditempati oleh panel surya.

Namun tentu terbatas kapasitasnya, tidak besar produksi listriknya. Kalau begitu, perlu dicarikan alternatif tempat di mana panel-panel surya dihamparkan, PLTS ini diberikan tempat di mana?

Saatnya Bagaskara membelai Tirta !

Dalam ilmu biologi, dinyatakan bahwa tubuh manusia tersusun dari sangat banyak air, sekitar 70% air. Dalam ilmu geografi pun, mirip halnya, permukaan bumi yang kita huni ini, 70% adalah permukaan air. Entah kebetulan atau tidak, luas perairan Indonesia jika dibandingkan dengan daratannya, sekitar 70% juga.

Kita bisa memanfaatkan permukaan air ini untuk meletakkan panel surya. Mari kita jemur panel surya diatas permukaan air. Bisa saja proporsinya 30% di daratan, 70% di permukaan air.

Atau lebih ekstrim, semuanya di permukaan air saja. Tidak perlu bersaing dengan kebutuhan penyediaan lahan pertanian, perkebunan, atau perumahan.

Luas perairan kita, wilayah teritorial 12 kilometer dari garis pantai terluar, mencapai 290 ribu kilometer persegi. Lalu luas permukaan danau air tawar mencapai 119 ribu kilometer persegi. Ini belum termasuk luas bendungan, waduk, muara sungai, rawa-rawa, bentangan sungai, waduk pengendali banjir, waduk pengolahan air minum, dan permukaan air tenang lainnya. 

Permukaan air ini bisa menjadi habitat baru PLTS, dengan cara dibangun terapung. Bisa juga terapung dibangun diatas laut. Permukaan laut kita juga relatif aman, gelombang air laut relatif rendah, anginnya tidak sekuat angin di Jepang misalnya, yang sering dilanda badai topan.

Saatnya tiba, Bagaskara membelai Tirta ! It is the time when the Sun meets the water !

Untuk skala kecil, mungkin sudah ada juga, namun tidak terekspose. Universitas Indonesia misalnya, membangun PLTS terapung dengan kapasitas 10 kWp di Danau Kampus UI.

Untuk skala besar, akan segera terhubung ke grid dalam waktu kurang dari dua tahun lagi, akan dibangun di atas Waduk Cirata, Jawa Barat. Mari kita ulas tentang PLTS terapung Cirata ini. 

Langkah bagus mengawali 2020!
Meskipun rendahnya bauran energi terbarukan dalam pembangkitan listrik seringkali dikritik oleh pemerhati energi terbarukan, Pemerintah tidak lantas patah semangat. Memang harus diakui bahwa bauran energi terbarukan Indonesia tahun 2019 baru mencapai sekitar 12%.

Namun demikian, Indonesia tetap optimis bahwa angka tersebut akan naik menjadi 23%, sekitar dua kalinya pada tahun 2025 nanti. Awal tahun 2020 menjadi permulaan yang sangat baik. 

Perusahaan energi baru terbarukan (EBT) Masdar yang berbasis di Abu Dhabi akan bermitra dengan PT. Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) membangun PLTS Terapung Cirata berkapasitas 145 mega watt peak (MWp). “Pembangkit tenaga surya ini akan dibangun di Waduk Cirata, Purwakarta, hampir 240 Ha luas area terpakai nya, dengan target konstruksi selama 16 bulan. Harga jual tenaga listrik nya pun telah ditetapkan, yaitu 5,82 cUSD/kWh”, ungkap Direktur Aneka EBT, Harris.

Demikan rilis berita pada laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada Januari 2020. Berita baik ini patut diapresiasi karena membawa angin segar bagi dunia pengembangan energi terbarukan Indonesia. 

PLTS di Waduk Tengeh, Singapura, sumber : pv-magazine-australia.com
PLTS di Waduk Tengeh, Singapura, sumber : pv-magazine-australia.com

Mirip-mirip dengan sepakbola, yang dimainkan oleh sebelas orang per tim. Saya pun menganalisis bahwa setidaknya ada sebelas hal yang bisa digarisbawahi dengan lahirnya proyek PLTS Terapung Cirata ini.

Pertama: Ini tentunya menjadi pionir PLTS terapung skala besar di Indonesia untuk saat ini. Pun dilevel ASEAN, PLTS Terapung Cirata ini memecahkan rekor pembangkit bertenaga surya terbesar setelah PLTS di Filipina, Cadiz Solar Powerplant sebesar 132,5 MW. Indonesia boleh berbangga saat ini. Lebih besar daripada PLTS terapung 60 MW yang dibangun oleh Singapura.

Kedua: Lompatan kapasitas. Bayangkan, hingga akhir tahun 2019, kapasitas seluruh PLTS (yang terdaftar), baru mencapai 97 megawatt. Dengan masuknya PLTS Terapung Cirata ini, maka kapasitas PLTS meningkat 150%. Dengan rencana pembangunan yang dimulai awal 2021 nanti, maka pada tahun 2022 kapasitas total PLTS di Indonesia setidaknya mencapai 242 megawatt.

KetigaHarga 5,8 cent USD/kWh menjadi bukti bahwa energi terbarukan bisa kompetitif di Indonesia. Bahkan lebih rendah dari biaya produksi listrik pada sistem Jawa-Bali yang mencapai 6,9 cent USD, biaya produksi listrik tahun 2018 terendah di Indonesia.

KeempatTarget penyelesaian kurang dari 1,5 tahun. Hanya 16 bulan. Ini seakan mengatakan kepada PLTU, jika lomba lari maka PLTS duluan sampai pada garis akhir. Proyek PLTU normalnya memakan waktu konstruksi selama 3 tahun dalam pembangunannya.

KelimaMeningkatkan kapasitas produksi listrik pembangkit eksisiting. Selama ini hanya diperoleh dari putaran tenaga air pada turbin PLTA Cirata.

Maka kedepan, terdapat tambahan produksi listrik dari PLTS terapung. Tidak perlu menambah investasi pengadaan lahan baru, mengingat PLTS ini memanfaatkan permukaan waduk. Dimungkinkan bersama-sama memanfaatkan titik koneksi eksisting PLTA Cirata dengan jaringan PLN.

Hal ini tentu membuat biaya proyek yang lebih efisien, sehingga tidak heran jika harga jual ke PLN bisa bersaing. 

Keenam: Akan mendorong PLTA lainnya yang memiliki waduk, untuk melakukan kajian kelayakan pembangunan PLTS terapung juga. Jika menambah kapasitas PLTA, belum tentu air yang tersedia mencukupi.

Misalnya PLTA Sigura-gura di Sumatera Utara atau PLTA Jatiluhur di Jawa Barat, juga PLTA yang memiliki bendungan/waduk lainnya. PLTS sendiri tidak menggunakan air, hanya 'numpang' terhampar pada permukaan waduk. Terdapat beberapa waduk yang besar di Indonesia, yang dimungkinkan untuk PLTS terapung ini, tentu kapasitas nya akan bervariasi tergantung luasan waduk masing-masing.

Bukan tidak mungkin, pembangkit lainnya pun menirunya. PLTP yang punya lahan luas bisa membangun PLTS disekitarnya. PLTU yang mempunyai lahan 'nganggur' juga bisa mengawinkan instalasinya dengan PLTS.

Ketujuh: Berada dipermukaan air, memberi keunggulan bagi PLTS terapung. Untuk membersihkan, mudah, air tersedia dekat dengan instalasi. Panas merupakan hal yang menyebabkan menurunnya efisiensi panel surya, namun panel surya yang ditempatkan terapung, mendapat pendinginan alami dari permukaan air disekitar. SERIS, lembaga peneliti surya Singapura, melaporkan bahwa PLTS terapung efisiensinya lebih tinggi, sehingga dengan kapasitas yang sama. Lebih tinggi 5 - 10% dari PLTS yang dibangun di daratan (ground-mounted) maupun PLTS roof-top

Kedelapan: Dengan asumsi capacity factor 20%, maka PLTS Terapung Cirata 145 MW ini akan mampu menghasilkan sekitar 250ribu MWh listrik per tahun. Apabila sejumlah ini dibangkitkan dengan PLTU tercanggih sekalipun, timbul emisi gas rumah kaca sekitar 230ribu ton CO2 per tahun. Listrik bersih yang dihasilkan dari PLTS Terapung Cirata ini mengurangi emisi karbon dioksida sejumlah yang sama. 

Kesembilan: Dengan tertutupnya sebagaian permukaan air, tentunya ini berdampak pada berkurangnya alga yang muncul di waduk. Alga ini seringkali menjadi musuh bagi pengelola waduk. Berkurangnya alga ini, juga berdampak baik bagi ekosistem perairan.

Kesepuluh: Potensi penambahan revenue bagi pengelola waduk. Misalnya selama ini waduk hanya dikelola untuk fungsi irigasi atau fungsi pengolahan air minum saja. Maka dengan menghamparkan panel surya diatasnya, dihasilkan lah listrik. Jika listrik ini dijual, menghasilkan pendapatan tambahan bagi pengelola. Jika-pun tidak dijual, bisa digunakan sendiri, sehingga tagihan rekening listrik akan berkurang. Menarik kan!

KesebelasTerciptanya lapangan kerja. Tentulah setiap ada proyek, maka disitu dibutuhkan tenaga manusia, dalam pembangunan PLTS ini. Demikian pula pada bahan bakunya. Mungkin untuk sementara masih mengandalkan produk luar negeri.

Namun ke-depan, akan tumbuh industri komponen PLTS, misalkan pabrik panel surya, pabrik inverter, yang didorong dikembangkan di dalam negeri. Ini pun menjadi lapangan usaha baru dan lapangan kerja baru.

Memang saat ini, Bagaskara (matahari) masih malu-malu membelai Tirta (air). Bauran energi surya yang kecil, seakan mengatakan bahwa kita masih malu-malu memanfaatkan energi surya yang berlimpah ini. Namun demikian, ketersediaan permukaan perairan yang luas dan keunggulan-keunggulannya, rasanya PLTS terapung ini cukup menjanjikan sebagai salah satu pilar masa depan listrik energi terbarukan Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun