Mohon tunggu...
David Cornelis
David Cornelis Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa

Mahasiswa Doktor Bisnis dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pekerjaan Rumah Tim Ekonomi Kabinet Jokowi 2.0

21 Oktober 2019   14:07 Diperbarui: 21 Oktober 2019   14:20 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bank of International of Settlement menghitung kerentanan utang korporasi via indikator Credit to GDP gap untuk mengukur besarnya kredit terhadap gap antara produk domestik bruto aktual dengan trennya, adapun skor Indonesia mencapai 5,4 yang artinya ada kerentanan, dan gap yang relatif besar ini mengindikasikan utang korporasi tak cukup optimal mendorong pertumbuhan produksi atau utang tersebut hanya untuk menutup utang yang akan jatuh tempo. Adapun data 2010-2018 menunjukkan penggunaan utang luar negeri untuk tujuan refinancing tumbuh rata-rata 29 persen per tahun.

Adapun salah satu penyebab krisis keuangan yang pernah dialami Indonesia pada krisis moneter yang lampau adalah ketidakseimbangan tenor pinjaman dibandingkan penggunaan pinjaman. Terkait itu, penggunaan utang korporasi wajib dimonitor sebagai upaya antisipasi gagal bayar berlanjut. Perusahaan harus mempertahankan agar pendapatan bersih tak turun hingga 25 persen, selain itu perusahaan sedapat mungkin berkreasi dan bertransformasi secara digital agar dapat mempertahankan pangsa pasarnya serta memiliki fleksibilitas finansial dan operasional.

Daya Saing 

Sebanyak 16 paket kebijakan yang sudah diterbitkan sejak September 2015 dalam 4 tahun terakhir terlihat belum mampu mengangkat daya saing perekonomian Indonesia. Dalam penelitian World Economy Forum tentang Indeks Daya Saing Global tahun 2019, Indonesia melingsir 5 peringkat menjadi di posisi 50 di antara 140 negara, dengan catatan kemampuan inovasi yang mendapat poin terendah. Hal ini harus segera diperbaiki melalui peningkatan mutu akademik, kebebasan berpikir, dan perlindungan hak cipta.

Dalam Rapat Terbatas Presiden di awal September lalu, dibahas mengenai risalah dari Bank Dunia yang menyebutkan tidak ada satu pun dari 33 perusahaan asal China yang merelokasi bisnisnya memilih Indonesia sebagai destinasi pada Juni-Agustus 2019, justru menjatuhkan pilihan paling banyak yaitu sebanyak 23 perusahaan ke negara Vietnam. Tidak masuknya ke Indonesia disebabkan oleh beberapa penghambat seperti tidak harmonisnya peraturan pusat dan daerah, kepastian hukum dan keamanan, dan kurangnya tenaga kerja ahli di Indonesia.

Laporan e-Conomy Sea 2018 pada awal Oktober ini menyingkapkan nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai Rp567 triliun pada 2019, atau mendominasi sekitar 40 persen dari agregat nilai ekonomi digital di Asia Tenggara. Ini tentu berpeluang menjadi lokomotif perekonomian seiring perkembangannya yang kian laju. Regulasi yang kondusif perlu lekas dibuat diikuti pengembangan peta jalan industri digital disertai insentif terkait.

Indonesia sedang menikmati bonus demografi yang ditandai dengan pencari kerja usia muda dan produktif yang jumlahnya sebesar 2 juta setiap tahunnya. Sementara itu, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya sanggup menyediakan sekitar 200 ribu tenaga kerja. Adapun tingkat pengangguran pendidikan tinggi dan menengah cenderung meningkat, sekitar 9 persen sepanjang periode 2015-2018, dan tingkat penggangguran SMK naik menjadi hampir 21%. Padahal, sejak 1 dekade lalu, dana pendidikan sudah dialokasikan sebanyak 20% dari APBN.

Indonesia harus bersaing keras dan cerdas agar dapat menjadi tujuan investasi yang bisa membuka lapangan kerja berkualitas bagi milenial yang kini mendominasi pasar tenaga kerja yang jumlahnya sekitar 88 juta atau sepertiga penduduk Indonesia. Pemerintah perlu meningkatkan lagi kapabilitas sumber daya manusia, seperti memperbaiki gizi balita, meningkatkan pendidikan dasar, dan keahlian tenaga kerja. Selain itu perlu juga untuk menstimulasi pendalaman pasar keuangan agar dapat membuka ruang untuk investasi.

Tantangan ke Depan

Perseteruan dagang oleh AS dan China menurunkan volume perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia. Indonesia setidaknya terkena resultan tidak langsung berupa penurunan harga komoditas dan energi yang disebabkan ekonomi China yang melambat. Pemerintah harus fokus pada kebijakan investasi, produktivitas, dan pertumbuhan riil, serta menjadikan pertumbuhan lebih inklusif. Untuk itu, perlu mengoordinasikan kebijakan moneter dan fiskal untuk menggenjot permintaan dalam jangka pendek. Prioritas kebijakan menjadi sangat esensial untuk dikoordinasikan, karena tidak semua strategi bisa digunakan saat ini disebabkan keterbatasan ruang moneter dan fiskal.

Deselerasi pertumbuhan ekonomi terjadi karena iklim dunia bisnis yang terganggu penurunan daya beli. Indonesia harus cepat merestorasi soal struktural ekonomi, terlebih penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak yang melorot signifikan dibanding 2018 karena penurunan harga komoditas. Defisit anggaran yang meningkat dan pendapatan negara yang melandai membutuhkan kebijakan fiskal yang kontra-siklus sehingga pertumbuhan tetap kuat dari paparan eksternal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun