g. Kajian perubahan pasal 25 ayat (9) dan (10), serta perubahan pasal 27 ayat (5d)
Selain ancaman, UU HPP lebih banyak memberi keringanan seperti perubahan dalam pasal 25 ayat (9) dan (10) yang juga merupakan bentuk keringanan dari pemerintah kepada Wajib Pajak yang terkena sanksi administratif keberatan. Sanksi ini semula sebesar 50%, melalui UU HPP diturunkan menjadi 30%.
Selain sanksi keberatan, keringanan lain dari pemerintah juga diatur dalam UU HPP adalah keringanan sanksi banding (dalam perubahan pasal 27 ayat 5d) dimana sanksi yang sebelumnya sebesar 100% diturunkan menjadi sebesar 60%. Pasal 27 juga mengatur adanya sanksi baru yang belum diatur dalam UU lama yaitu sanksi administratif atas putusan peninjauan kembali sebesar 60%.
h. Kajian penambahan pasal 27C
Pasal baru 27C juga bermakna dukungan dari pemerintah Indonesia pada Wajib Pajak khususnya Wajib Pajak yang bermasalah dan mengalami diskriminasi dalam pengenaan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B). Wajib Pajak yang mengalami diskriminasi pengenaan pajak di negara mitra Indonesia dapat mengajukan permintaan bantuan kepada pemerintah Indonesia untuk dilakukan perundingan antar pemerintah.
i. Kajian perubahan pasal 32 ayat (3a) dan penambahan pasal 32A
Pasal 32 ayat (3a) mengalami perubahan dimana kuasa yang ditunjuk Wajib Pajak menurut UU HPP harus merupakan seseorang yang memiliki kompetensi dalam aspek perpajakan. Aturan ini menandakan Wajib Pajak tidak dapat sembarang menunjuk seseorang diluar keluarga untuk menjadi kuasanya. Pihak DJP dapat menolak kuasa yang tidak kompeten menurut aturan dalam ayat ini.
Pasal baru 32A merupakan perwujudan dari upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan menunjuk penyelenggara sistem elektronik sebagai pemotong dan pemungut pajak. Namun hal ini sekaligus menjadi tanda akan adanya aspek pajak yang belum pernah ditanggung rakyat menjadi ada sehingga pasal baru ini juga bermakna sebagai penambahan beban pajak kepada rakyat.
j. Kajian penambahan ayat (1a) dalam pasal 43A
Penambahan ayat (1a) dalam pasal 43 A bermakna adanya penegasan dari DJP bahwa yang berhak melakukan penyidikan hanyalah pejabat penyidik di DJP yang menerima surat perintah pemeriksaan bukti permulaan.
k. Kajian penambahan pasal 44C dan 44D