Pertama-tama rasanya saya perlu perkenalkan sedikit tentang Ustad Syam -- ustad millenial yang setiap hari mengisi acara religi Islam itu Indah di sebuah stasiun TV. Â Kalau saja dia tidak terpeleset saat mengutip ayat yang menjanjikan 72 bidadari sebagai suatu kesempatan untuk pesta seks, pasti saya tidak akan memperhatikannya.Â
Oh ini tho ustads Syam...begitu klik program TV itu, kesan pertamanya  hmm masih muda jadi dimaklumi saja jika ada kesalahan, apalagi dia sudah meminta maaf. Ustad juga manusia #rockerjugamanusia_modeon.Â
Sayapun jadi sering menyimak tausiahnya walaupun tidak rutin. Saya senang saat dia menjelaskan bahwa ucapan seorang ustads yang menyakiti pendengarnya juga berpotensi sebagai dosa, maka ustad terutama dirinya harus hati-hati dalam berucap.Â
Ini lebih lanjut dibuktikan saat ia menikahi isteri yang dikenalnya melalui aplikasi TikTok, tuh kan milenial banget. Ketika berdua diambil fotonya dan sang isteri memeluknya mesra, ustads Syam mengingatkan isterinya supaya tidak mesra-mesra, "Nanti ada yang sedih melihat kita."
Usai memasuki tahun 2021 ini Islam itu Indah membahas masalah pergantian waktu serta penggunaannya. Betapa kita sering merasakan waktu begitu cepat berlalu; Â perasaan baru saja memasuki tahun 2020 eh tetiba karena virus Covid-19 harus di rumah saja sepanjang tahun.Â
Dan tanpa terasa kita sudah memasuki tahun 2021. Fenomena perasaan baru saja, tahu-tahu sudah memasuki tahun baru menurut ustad Syam termasuk tanda-tanda kiamat sudah dekat. Sehari tetap 24 jam tapi kenapa sekarang serasa lebih cepat dari sebelumnya , begitulah tanda-tanda yang harus dicermati.
Lebih jauh lagi ustad Syam mengingatkan, "Selama nyaris setahun di rumah saja, apa yang sudah dilakukan? Seharusnya bacaan Al Quran jauh lebih maju. Bagaimana dengan hafalan Quran-nya, berapa ayat yang sudah dihafalkan dalam setahun ini?"
Peringatan ustad Syam ini benar-benar menampar, paling tidak buat saya. Benar juga ya, harusnya bacaan Al Quran sudah jauh lebih baik, harusnya hafalan ayat sudah banyak bertambah. Nyatanya tidak, bacaan Quran saya jangankan dibandingkan dengan Qariah. Dibandingkan dengan Syahrini saja kalah jauh.
Benak saya berjalan lebih jauh.....sebagai penulis, berapa novel yang sudah saya selesai dalam tahun 2020 lalu, sudah berapa naskah kamu turunkan dalam berbagai applikasi penulisan?
Saya menatap kaca sembari berkata dalam hati, "Hei...kamu kan di rumah saja, kenapa pencapaianmu hanya pertambahan berat badan?"
Untung soal ini saya tidak sendiri, kan ada kamu, kamu dan kamu.
Baiklah, Ramadan ini saya akan meningkatkan kemampuan dan produktifitas.
Nomor wahid yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan membaca Al Quran, Ramadan ini melanjutkan yang sedang dibaca, tinggal beberapa surat lagi menuju khatam. Usai Ramadan perlu banget untuk memasuki kelas khusus agar kemampuan lebih terasah.Â
Namun membaca dalam huruf Arabnya saja tidak lah cukup, mengerti arti tiap ayat, menerapkan dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikannya sebagai way of life adalah tujuan terpenting.
Dalam aplikasi-aplikasi demikian selain menggelar beberapa event kompetisi dengan hadiah yang luar biasa, baik berupa uang maupun kesempatan-kesempatan lain seperti dibukukan oleh penerbit mayor bahkan difilmkan segala.Â
Seorang teman yang eks Kompasianer yang akhirnya menggeluti usaha penerbitan novel baru-baru ini mengabarkan jika baru saja menandatangani kontrak penerbitan novelnya yang sekaligus akan difilmkan oleh Falcon Publisher. Dia mengikuti kompetisi penulisan novel di suatu aplikasi novel.Â
Saya langsung terpecut karena beliau hanya tamatan SMP. Karya-karyanya bertebaran diberbagai aplikasi dan semua menjadi karya yang diminati. Jika itu terjadi di aplikasi berarti akan ada cuan.
Mencermati berbagai aplikasi penulisan novel tersebut bisa disimpulkan bahwa tiap aplikasi punya genre-genre unggulan disebabkan preferensi dari pembacanya. Â Unggulan dari aplikasi A adalah cerita bertema CEO dan lelaki kaya. Aplikasi B lebih variatif dari novel-novel asmara hingga cerita fantasi maupun cerita mistis. Terbukti pilihannya on track karena dia digandeng oleh berbagai penerbit mayor dan Falcon Pictures.
Ada satu aplikasi yang belum ada 6 bulan terlahir namun penulisnya sudah menangguk cuan yang banyak dan lucunya walaupun maunya penulis menuliskan kisah syar'i, ujung-ujungnya sih kisah poligami dan pelakor. Dan yang amazing tuh satu penulis bisa menyelesaikan 12 novel. Bayangkan belum ada 6 bulan loh.
Anyway menurut coach penulisan saya yang pernah jadi Head of Fiction Dept. di Grup Gramedia, jika memutuskan untuk jadi penulis profesional harus mampu menuliskan kisah dari berbagai genre.
Baiklah kalau begitu, saya harus mulai disiplin menulis. Dan saya sudah memulainya sejak akhir tahun lalu dengan menuliskan 15 kisah misteri selama sebulan. Sekarang saya mengikuti tantangan Samber THR 2021 juga untuk melatih kedisiplinan dan kreatifitas.
Akan halnya Kompasiana, kenapa tidak mencoba membuat aplikasi penulisan novel. Bisa jadi cash cow loh. Saya ingat di era kepemimpinan Kang Pepih, Kompasiana sudah pernah mencoba menambahkan kanal Fiksi Berbayar. Sayang belum dimulai, sudah diakhiri. Bayangkan seandainya dicoba ketika itu, pasti sudah besar saat ini. So gak ada salahnya dicoba saat ini kan? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H