Dari sudut pandang positivisme hukum, sukuk hijau dilihat sebagai produk hukum yang harus sesuai dengan aturan tertulis seperti perundang-undangan dan fatwa yang dikeluarkan oleh otoritas terkait. Positivisme menekankan bahwa selama sukuk hijau mengikuti regulasi formal, maka instrumen ini sah secara hukum.
Sedangkan dari perspektif sociological jurisprudence, penerbitan sukuk hijau lebih ditekankan pada manfaat sosial dan kesejahteraan masyarakat yang dihasilkan dari investasi tersebut. Pandangan ini melihat hukum tidak hanya sebagai peraturan tertulis, tetapi juga sebagai alat untuk mencapai keadilan sosial dan ekonomi, dengan mempertimbangkan dampak sosial dari penerapan hukum ekonomi syariah dalam masyarakat.
KesimpulanÂ
Kesimpulan mengenai Sukuk Hijau dalam konteks hukum ekonomi syariah menunjukkan potensi besar instrumen ini untuk mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Meskipun terdapat tantangan terkait transparansi dan kepatuhan pada prinsip syariah, sukuk hijau dapat memberikan manfaat sosial dan lingkungan yang signifikan. Perspektif hukum yang berbeda, seperti positivisme yang menekankan kepatuhan pada peraturan dan sociological jurisprudence yang fokus pada dampak sosial, menunjukkan pentingnya kolaborasi antara pemangku kepentingan dan regulasi yang jelas. Dengan pendekatan yang tepat, sukuk hijau dapat berhasil mencapai tujuan keberlanjutan dan keadilan sosial.
Artikel ini ditulis oleh Davilla Nasya Aulodia Ardhana untuk memenuhi tugas Sosiologi Hukum yang diberikan oleh Muhammad Julijanto, S.Ag., M.Ag. sebagai pengampu mata kuliah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H